Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kiri Menjelang Pemilu Kepala Daerah

15 Juli 2013   09:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:32 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa bulan lalu ada mention di account twitter saya yang mengingatkan kalau avatar yang saya pakai adalah lambang partai terlarang di Indonesia. Saya kemudian membalas dengan pertanyaan “Partai apa?”, tidak ada jawaban. Dan beberapa hari lalu muncul balasan yang mengatakan “Partai Komunis Indonesia” sembari kembali mengulang agar saya tidak memakai avatar itu.

Seingat saya lambang Partai Komunis Indonesia adalah palu arit dan avatar yang saya pakai bergambar palu, bulan sabit dan bintang. Sekilas memang mirip tapi kalau diperhatikan dengan benar sejatinya jauh berbeda. Saya kemudian menganti avatar itu, bukan karena mengikuti himbauan seseorang itu melainkan ingin melakukan penyegaran dan menunjukkan wajah saya sebenarnya agar account twitter saya tidak dianggap anonim atau malah dibilang alter.

Saya yakin tidak banyak orang membaca tuntas buku yang berisi pemikiran Karl Heindrich Marx, pun demikian dengan sejarah dan sepak terjang Partai Komunis Indonesia. Kebanyakan orang jika terpaksa harus mengais-ngais ingatan maka hanya ingat kalau KHM yang lebih dikenal sebagai Karl Marx adalah bapak komunisme, itu saja. Jangankan memegang atau membaca, yang tahu bahwa pemikirannya terangkum dalam buku Das Kapital pastilah tidak banyak. Sebangun dengan itu, rata-rata pengetahuan kebanyakan orang tentang PKI hanyalah terpusat pada peristiwa yang dinamai dengan G30S/PKI. Peristiwa yang sangat tersohor karena difilmkan dan wajib ditonton oleh anak-anak sekolah waktu itu. Dan kemudian film ini diputar secara rutin di TVRI setiap tanggal 30 September selama bertahun-tahun di masa pemerintahan regim Suharto.

Aneh bin ajaib dengan pengetahuan yang secuil itu ternyata banyak orang menjadi gila urusan jika terkait dengan sosialis atau komunis. Sosialisme dan komunisme dianggap menjadi virus yang membahayakan, bahaya laten yang kalau dibiarkan akan kembali tumbuh dan bakal mengulang peristiwa G30S/PKI. Orang boleh bergurau soal apa saja, namun gurauan yang berkait dengan sosialisme atau komunisme bisa berakhir dengan ditangkap polisi.

Coba saja menjelang atau selama perhelatan piala dunia, polisi atau para penjaga keamanan mungkin membiarkan masyarakat memasang bendera negara-negara yang berlaga, bahkan andai Israel ikut lalu benderanya dikibarkan mungkin juga akan dibiarkan. Tapi coba saja selipkan kibaran bendera PKI, saya jamin akan berakhir di kantor polisi dan di bui.

Kesimpulannya kebanyakan warga masyarakat di berbagai level baik non pemerintah maupun pemerintah alergi atau bahkan paranoid terhadap segala hal yang berbau sosialisme maupun komunisme. Namun sebenarnya ada contadictio in actuterutama saat menjelang pemilu. Kebanyakan politikus atau kandidat-kandidat yang hendak bertarung dalam pemilu entah itu pemilu bupati/walikota, pemilu gubernur, pemilu legislatif dan presiden menjadi demam sosialis. Hal mana tercermin dalam slogan dan janji-janjinya untuk masyarakat kebanyakan atau biasa disebut kaum proletar. Petani dianggap pahlawan, kekuatan negara, garda terdepan dari kebangkitan bangsa.

Para kandidat biasanya mengobral janji soal pendidikan gratis, kesehatan gratis, subsidi untuk desa-desa, modal untuk kaum kecil dan lain sebagainya, janji-janji yang berbau dan berwatak sosialis. Tak lupa para kandidat yang kebanyakan adalah juragan juga tega berjanji untuk melakukan nasionalisasi asset-asset dari perusahaan trans nasional yang dikutuk karena telah mengeruk kekayaan negeri ini selama bertahun-tahun tanpa memakmurkan rakyat kebanyakan.

Saya semestinya bangga mempunyai banyak kandidat yang peduli pada rakyat, bercita-cita menuntaskan kemakmuran bersama, membagi kekayaan daerah secara merata hingga ke desa-desa, bukan menumpuk kekayaan di pusat-pusat ekonomi sebagaimana kebiasaan kaum kapitalis. Tapi rasa bangga itu urung berkembang, Bukan karena saya tertipu oleh janji mereka-mereka yang tiba-tiba ‘sok kiri’ melainkan karena saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri fakta-fakta yang menegasi pernyataan, slogan dan janji mereka.

Di propinsi dan kota yang pernah menyatakan masa depannya adalah sebagai daerah agro industri, agro bisnis atau bahkan agropolitan terhampar dengan jelas gambar daerah pertanian, penopang pangan yang didesak oleh rakusnya kerukan traktor pertambangan. Sawah dan lahan produktif lainnya sudah berada di bibir tambang dan tak lama lagi hilang tanpa bekas.

Petani, orang kecil yang dimasa kampanye dianggap sebagai pahlawan, pahlawan pemberi suara kemenangan begitu pemilihan umum usai dianggap menguap entah kemana. Teriakan dan keluh kesah petani hilang ditelan angin. Petani dibiarkan berhadapan dengan kekuatan modal, diiming-imingi untuk melepas lahan dengan menunjukkan segepok uang yang belum pernah mereka lihat seumur hidupnya.

Lama kelamaan bukan hanya ladang, sawah atau lahan penghidupan petani yang terancam. Ruang hidup petani dan keluarganya perlahan juga dicaplok. Pemukiman menjadi bising siang dan malam akibat bunyi traktor menegetuk-ngetuk bumi dan raung truk pengangkut menahan beban berat menaiki tanjakan dan menuruni bukit. Anak-anak kehilangan tempat bermain yang aman. Lubang bekas tambang yang menjadi genangan dianggap danau alam. Di kala libur dan lepas dari amatan orang tua atau guru mereka bermain di lubang bekas tambang, tempat yang sesungguhnya berbahaya karena bisa menelan nyawa mereka.

Pada akhirnya saya merasa perlu bagi sebagian besar warga masyarakat kita untuk disuntik serum anti paranoid terhadap sosialisme dan komunisme. Namun sebaliknya juga waspada pada ‘demam kiri’ sesaat yang kerap menjangkiti para kandidat menjelang pemilihan umum. Deman sesaat yang berupa kepedulian dan kecintaan pada orang kecil itu selama sejarah pemilu di Indonesia tak lebih dari aksi “mulut berbusa-busa” yang berisi seribu tipu daya dengan tujuan untuk merampok suara rakyat hingga dirinya bisa menduduki kursi kekuasaan. Dan kursi yang diduduki karena menipu tentu saja hanya akan membesarkan diri siapa yang mendudukinya dengan sederet prestasi-prestasi pribadi yang sama sekali tak terkait dengan kesejahteraan bersama rakyat atau masyarakatnya.

Pondok Wiraguna, 15 juli 2013

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun