Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Joko 'Yang Tidak' Susilo

18 Maret 2013   13:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:33 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Jawa Timur dan Jawa Tengah banyak orang tua menamai anak laki-laki dengan nama Joko (Jaka).Joko atau Jaka sendiri artinya adalah lelaki dewasa yang belum menikah (Lajang atau perjaka). Barangkali kegemaran memberi nama Joko ini erat kaitannya dengan catatan sejarah maupun legenda di tanah Jawa yang banyak dihiasi oleh tokoh bernama atau disebut sebagai Joko.

Sebut saja nama Joko Tingkir atau kemudian dikenal sebagai Mas Karebet, yang adalah pendiri dan sekaligus Raja dari Kerajaan Pajang dengan nama Hadiwijaya. Joko Tingkir digambarkan sebagai lelaki muda yang perkasa sehingga mampu menahklukkan buaya, sehingga buaya itu mendorong ‘gethek’-nya hingga sampai tujuan.

Lalu ada juga cerita legenda tentang Joko Tarub. Lelaki yang gemar berburu dan suatu saat menemukan bidadari yang mandi di sendang. Joko Tarub menyembunyikan selendang salah satu bidadari itu, sehingga tidak bisa kembali ke khayangan. Bidadari yang tertinggal dan bernama Nawangwulan kemudian dikawini oleh Joko Tarub. Dari perkawinan itu lahirlah Nawangsih, gadis campuran antara manusia dan bidadari yang kelak anak salah satu anak keturunannya bergelar Ki Ageng Sela, kakek buyut dari Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram.

Di Madura juga ada cerita Joko Tole, seorang prajurit yang gagah perkasa sehingga kerap dimintai tolong oleh Raja Majapahit jika ada pemberontakan yang bertujuan merongrong kekuasaan Majapahit. Joko Tole menjadi spesialis untuk memadamkan gerakan makar terhadap Majapahit.

Dalam dunia komik pernah dikenal nama Joko Sembung. Kisah seorang pendekar silat yang kemudian berguru ke Gunung Sembung, hingga kemudian dikenal dengan nama Joko Sembung. Cerita komik seilat dengan latar belakang Jawa Barat ini ditulis oleh Djair Warni sekitar tahun 1960-an. Komik ini merupakan salah satu komik pertama yang memperkenalkan silat nusantara dalam jagad komik Indonesia. Karena begitu ternama maka diadaptasi dalam sebuah film berjudul “Jaka Sembung Sang Penahkluk” yang dibintangi oleh aktor Barry Prima di tahun 1981. Film aksi laga ini kemudian mempopulerkan Barry Prima sebagai aktor ternama di Indonesia.

Nama Joko banyak juga dipakai oleh paranormal. Salah satu yang terkenal adalah Ki Joko Bodo yang mempunyai padepokan besar. Perawakannya yang kecil dan wajah yang cenderung lucu membuat banyak orang tak menyangka kalau Ki Joko Bodo adalah ahli mistik yang banyak kliennya. Dan tidak seperti dukun-dukun pada umumnya, lelaki yang mengoleksi banyak benda pusaka ini gemar menaiki mobil mewah.

Namun yang paling fenomenal adalah cerita seorang Joko yang ngeluruk dari Solo dan kemudian menahklukkan Jakarta. Itulah Joko Widodo, walikota Solo yang kemudian berhasil memenangkan pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Dan setelah itu si Joko terus menghiasi pemberitaan media massa karena aksinya sebagai pemimpin yang lain dari pemimpin-pemimpin kebanyakan. Joko yang Widodo dengan kesederhanaan membuat warga Jakarta terpukau. Tak butuh waktu lama penampilan ndesonya terus diburu oleh media, kemanapun Joko Widodo melangkah, sorot kamera selalu mengikutinya.

Joko Widodo memang fenomenal, tapi masih ada lagi Joko yang lebih spektakuler, namanya Joko Susilo. Nama yang dianugerahkan oleh orang tuanya agar anaknya menjadi Laki-laki yang gagah namun tahu tata krama atau tata susila yang baik. Dan konon Irjen Polisi Joko Susilo dikalangan koleganya dikenal sebagai orang yang baik, pintar mengumpulkan dana untuk membantu pengadaan sarana maupun prasarana penunjang kerja kepolisian. Di kalangan awak media, Irjenpol Joko Susilo juga dikenal ramah dan tidak membeda-bedakan.

Sayang kemudian Joko Susilo tersangkut kasus yang membuat namanya tak lagi mencerminkan tingkat kesusilaan yang tinggi. Joko dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus simulator SIM. Dan dari situ mulailah satu persatu kelakuan Joko yang melanggar kesusilaan terbongkar. Joko ternyata mempunyai dua istri yang dikawini meski ‘sah’ namun terindikasi tidak halal. Istri yang dikawini dengan dokumen yang tidak jujur soal status perkawinannya terdahulu. Joko mengawini istri ke dua dan ke tiga tanpa ijin dari atasannya, padahal sebagai seorang polisi harusnya prosedur itu dilakukan.

Dan KPK terus menelisik, ternyata perilaku Joko yang nggak Susilo bertambah banyak. Joko ternyata menyimpan kekayaan yang maha dahsyat dibandingkan dengan kedudukan, pangkat dan jabatannya di Kepolisian Republik Indonesia. Bukan hanya banyak istri, melainkan juga rumah mewah yang berderet dari Jakarta hingga Bali, sawah membentang luas, punya pompa bensin, mobil dari yang kecil hingga bus besar. Hitung-hitungan kasar dari beberapa asset yang disita oleh KPK berjumlah lebih dari 60 milyard rupiah. Bayangkan andai Joko Widodo bergaji 100 juta per bulan, dengan masa kerjanya sampai saat ini angka sejumlah itu pasti belum akan tercapai. Dan jumlah itu baru perkiraan kasar mengingat tidak semua hartanya dicatatkan atas nama diri dan istri-istrinya.

Begitulah kisah para Joko mulai dari jaman bahuela hingga sampai jaman ini yang membawa kisahnya sendiri-sendiri. Bahwa ketika orang tua memberi nama kepada anaknya tentu ada filosofi, doa atau harapan yang bisa saja tersirat maupun tersurat dalam nama yang diberikannya. Hanya saja nama memang kerap tinggal nama karena tak sedikit kisah maupun cerita yang menunjukkan orang berlaku yang sebaliknya dari apa yang didoakan atau diharapkan oleh orang tuanya. Maka untuk para calon orang tua pikirkan baik-baik sebelum memberi nama anak, jangan memberi beban terlalu besar yang membuat namanya malah jadi olok-olokkan di kelak kemudian hari.

Pondok Wiraguna, 18 Maret 2013

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun