Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cinta Satu Hati atawa Aku Tak Ingin Jadi Socrates

9 Mei 2014   20:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:41 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dulu, beberapa tahun yang lalu dalam sebuah sessi kuliah etika perkawinan (Katolik) dosenku  menyatakan bahwa cinta itu eklusif. Monogamik atau hanya terjadi antara 2 pihak, dengan demikian cinta itu 100% antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu tidak ada ruang untuk pihak lain, cinta tidak bisa dibagi itu intinya dan tanpa syarat.

Jauh sesudah itu aku harus membuktikannya dalam sebuah ikatan perkawinan yang sakramental. Untung dalam rangkaian menuju kesana rasanya tidak ada pertanyaan ‘apakah aku mencintai calon istriku seratus persen”. Yang ada adalah apakah aku mau menerimanya sebagai calon istri, mencintai dalam suka dan duka, serta hanya maut yang memisahkan cinta itu. Ya, intinya mencintai dengan sungguh-sungguh, apa adanya dan tanpa syarat.

Keberuntungan kedua adalah calon istriku (yang kini sudah menjadi istriku dan ibu dari seorang putri) tidak pernah menanyakan ‘apakah aku mencintainya seratus persen’. Dan semoga dia tidak menanyakan itu, karena sulit buat aku untuk menjawabnya. Dan aku tidak ingin berbohong, menjawab dengan kalimat yang penuh rayu dan haru yang mendayu bak lagu-lagu pop kita, meniru lagak lagu adegan sinetron dan memperkuat dengan ayat-ayat Injili nan suci. Yang pasti jawabnya, aku mencintai dengan sungguh-sungguh, entah sebesar apa namun yang pasti akan cukup untuk membangun sebuah pondasi menjalani kehidupan bersama hingga saat akhir nanti.

Cintaku tak akan mati, karena cinta tak pernah meniadakan dirinya sendiri. Cinta akan mati andai salah satu diantara aku dan dia mematikannya. Dan tak pernah sekalipun aku ingin mematikan cinta, meski di hati masih ada sedikit ruang tersisa. Ruang sisa itu penting bagiku agar cinta terus bertumbuh dan berkembang, memberi  ruang pengembaraan untuk lebih memperkaya rasa serta pengalaman cinta itu sendiri.

Aku juga tidak pernah berharap dia mencintaiku seratus persen, sebab dalam diriku toh banyak hal yang ‘njelehi’ rasanya. Butuh waktu bagi seseorang untuk menerima orang lain seratus persen, sekalipun itu suami atau istri sendiri. Sebab jika cinta berawal dari puncak malah  akan cenderung menurun pada masa berikutnya, dengan ruang sisa kemungkinan untuk mekar mencapai puncaknya justru semakin terbuka. Pernikahan tidak menghilangkan kau dan aku, jika kemudian aku dan dia mengatakan kita itu bukan menandakan ketunggalan, melainkan komitmen dan keputusan untuk menjalankan kehidupan bersama, berdua.

Cinta yang diwujudkan dalam janji pernikahan sejatinya kita tengah mendirikan 3 bangunan. Pertama bangunan suami – istri, hubungan antara aku seorang laki-laki dan engkau seorang perempuan. Disini ada kisah-kisah emosional meski kadang berbalut rasionalitas. Romantika hubungan laki-laki dan perempuan banyak tercatat dalam sejarah, ada Rama dan Shinta, Romeo dan Juliet, Samson dan Delilah, Sam Pek dan Ing Tay, Marc Anthony dan Cleopatra bahkan diawal cerita dunia ada Adam dan Hawa.  Cinta dan getaran rasa, mampu membuat lahirnya beribu lagu, scenario/cerita film, cerpen, puisi, novel dan lain sebagainya. Maaf kalau sampai hari ini aku tak mampu menulis sebait puisipun tentang itu.  Dan terimakasih bahwa sampai hari ini kita bukanlah dua orang tuli dan buta. Kau tetap melihat banyak ulahku yang menjengkelkan (tak henti-henti kau mengingatkan aku soal rambut yang semakin panjang) dan aku juga tak lelah mendengar keluh kesah, juga omelan yang kadang tak jelas juntrungannya.

Semua orang tahu, cinta saja tak cukup. Maka ada bangunan kedua yang kita dirikan, yaitu rumah tangga atau bangunan ekonomi. Dalam bangunan ini ada peran dan aku jelas-jelas tidak bisa menjalankan peran yang secara tradisional dikenakan terhadap kaumku. Aku bukan pencari nafkah yang baik, perjalananan hidupku tidak diwarnai dengan catatan perjuangan untuk gigih mencari uang. Meski kadang kau gelisah, tetapi kau tetap mencari jalan serta tabah ketika lebih banyak menjadi tiang ekonomi keluarga. Aku terkadang belum mampu melepas diri dari kebiasaan panjang hidup seorang diri tanpa memikirkan jauh ke depan. Kau dengan telaten mengajariku untuk mempunyai nomor rekening dan polis asuransi.

Dan bangunan yang ketiga adalah Keluarga (ayah-ibu dan orangtua), setelah bertahun-tahun akhirnya biduk kita sampai pada lahirnya gadis mungil yang sejak awal aku tahu bahwa rambutnya bakal kriwil-kriwil. Kehadirannya sungguh membahagiakan, meski berat saat ketika kau harus menjaganya dalam kandungan. Masa-masa kehamilan adalah saat yang berat karena kita berdua pernah hidup sama-sama tanpa pekerjaan. Sesaat sesudah kelahirannya, aku menjadi percaya bahwa anak adalah anugrah sekaligus rejeki dari Sang Maha Kuasa.  Tak lebih dari sebulan menimangnya, aku meninggalkan untuk berbulan-bulan. Dan sekali lagi kau tetap sabar dan tegar mengasuhnya bahkan tak lama kemudian sambil bekerja.

Aku tahu meski tidak luar biasa, kita masih terus berjalan tegak di antara kerumunan wajah-wajah murung pasangan dalam perkawinan mereka. Kita tetap lurus meski disamping kanan kiri tempat tinggal kita banyak mahligai pernikahan berguguran. Jauh didalam diri kita masih tersimpan energy cinta yang berlapis, meski tak mudah bagi kita menarik keluar dalam berbagai ungkapan.  Kita adalah sepasang pencuri kebahagiaan di tengah banyaknya biduk rumah tangga yang cenderung semakin mengecewakan dalam perkawinannya. Sampai hari ini meski tidak banyak ungkapan cinta yang kita kobarkan, sesungguhnya kita masih mampu memelihara dan menumbuhkan bahwa cinta adalah sebuah upaya untuk melampaui kemauan  serta kemampuan  diri kita sendiri untuk merengkuh kebahagiaan jiwa.

Kau dan putri kita adalah matahari, bunga, cinta dan bahagiaku.  Meski hidup tak selalu enak, kadang tegur sapa juga hambar dan sesekali pertengkaran kecil pasti terjadi. Tapi itu tak membuat kita lari, pergi meningalkan ruang bersama kita. Bukankah kita sudah bersedia untuk menerima dalam suka dan duka. Lebih sering aku tidur di ruang terpisah, sendiri. Bukan karena tak suka tuk bersama, tetapi justru karena tak ingin menganggu dengan asap rokokku. Dan kau selalu mengingatkan, bukan karena ingin ditemani, tapi tak ingin tidurku larut mulai dari dini hari. Apa yang kau ingat adalah aku susah bangun pagi dan tak perlu ditawari sarapan pagi, cukup segelas kopi dingin sisa semalam menjadi pembuka hariku.

Kenapa aku menikahimu, ada banyak alasan tetapi sulit mencari mana yang sebenarnya. Rasanya ‘tekanan politik’ untuk menikah memang besar. Pernikahan menjadi sebuah keharusan, ketika bapakku bertanya ‘bagaimana dengan masa depanmu?’; itu tak ada kaitan dengan pekerjaan, karena sesungguhnya dia hanya ingin bertanya ‘kapan kamu menikah?’ itu saja. Toh, mereka nggak pusing dan terganggu aku hendak menjadi apa, yang penting jangan keluar masuk penjara. Setiap orang tua yang mempunyai putra atau putri yang telah dewasa tentu ingin menimang cucu, itu hukum alamnya. Tetapi yang pasti pernikahan kita tidak semata konstruk social kemasyarakatan dan religious. Kita menikah karena mau dan tahu atas apa yang kita putuskan dengan dan atas nama cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun