Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Celoteh Politik, Politik Celoteh

12 Juni 2014   22:24 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:01 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Stop nonton TV,begitu status seorang teman. Teman lain lagi menuliskan “Kenapa pilpres tidak hari ini saja, bosan beritanya itu-itu saja”. Dan sebenarnya masih banyak lagi kicauan teman-teman di jejaring media social yang bosan dengan seliweran informasi terkait pemilu presiden 2014.

Tapi keluhan itu pasti tinggal akan jadi keluhan, karena pilpres 2014 baru akan dilaksanakan tanggal 9 Juli 2014. Dan sejatinya celoteh tentang kandidat, partai pendukung, penyokong, funding atau apapun yang terkait dengan pilpres 2014 memang tak bisa dihindari. Perbincangan bukan hanya terjadi di ruang media, melainkan juga di ruang public.

Pangkal persoalannya yang berkampanye, menjual kandidat bukan hanya partai pendukung, media penyokong dan tim kampanye melainkan juga banyak orang lain entah dibayar maupun tidak semua bersemangat jualan kandidat presiden.

Dalam dunia marketing, cara pemasaran yang paling jitu adalah peralihan informasi dari mulut ke mulut. Konsumen adalah pemasar yang terbaik, tak heran jika kemudian muncul komunitas-komunitas pemakai produk tertentu. Pun demikian dengan pilpres, kampanye yang paling kencang justru penyampaian tentang kandidat yang dilakukan dari mulut ke mulut, berantai, mengalir memasuki ruang-ruang yang sulit dijangkau oleh kampanye public.

Di pasar, di warung kopi, di terminal dan tempat-tempat lainnya segera dikenal orang yang ‘mulu-mulu’, demikian sebutan orang Manado untuk orang yang berceloteh kesana kemari. Tentu saja yang diceritakan adalah kehebatan calon yang didukungnya dan bahaya yang bakal dialami jika yang terpilih adalah calon sebaliknya.

Jika diamati ada pokok-pokok informasi tertentu yang sama dari antara para penceloteh itu. Sepertinya para penceloteh itu sudah diberi clue, kalimat kunci yang kemudian bunga-bunganya dikembangkan sendiri. Bunga-bunganya bisa saja sentiment etnik, kesukuan, agama dan latar belakang kepemimpinan.

Saya sendiri tidak tahu apakah para penceloteh ini memang diorganisir, sengaja diciptakan untuk melengkapi atau mengimbangi penceloteh lain yang bermain di ruang maya. Namun jika dilihat polahnya sepertinya memang ada yang mengorganisir, menyebar orang-orang ini untuk masuk ke kumpulan-kumpulan orang entah di warung kopi atau pos ojek dan lain sebagainya.

Di pemilu kepala daerah, saya pernah menemui pengalaman serupa, di mana ada orang tertentu disusupkan ke pemukiman. Menyewa kamar bangsalan dan kerjaannya berkicau tentang kebaikan kandidat tertentu dan resiko-resiko yang akan dihadapi oleh daerah jika kandidat itu tak terpilih. Dalam perbincangan orang itu begitu mendominasi dan agitatif. Ketika saya tanyakan ke warga yang sudah lama disitu, mereka mengatakan tidak mengenal orang itu, karena baru saja pindah ke pemukiman mereka.

Kisah ini menegaskan bahwa politik celoteh memang dikembangkan untuk meluaskan jangkauan informasi terkait dengan kandidat. Informasi ini disebarkan ke masyarakat melalui orang-orang yang dianggap punya ketrampilan berkicau.

Kicauan yang disampaikan secara meyakinkan tentu saja bisa menyihir mereka-mereka yang belum punya pilihan, kurang informasi dan tidak kritis. Sebab jika dicermati apa yang dikicaukan terlalu mudah dibantah atau difalsifikasi.

Sayangnya kebanyakan masyarakat kita adalah masyarakat gossip, yang cenderung bersemangat membahas dan menjadikan informasi yang tidak jelas ujung pangkalnya sebagai sebuah kebenaran. Siapa yang paling kuat mengklaim, menyakinkan dengan bicara bersemangat dan berapi-api seolah-olah sebagai paling benar.

Banyak yang mengatakan bahwa pemilih saat ini adalah pemilih yang cerdas, yang tak akan begitu saja menelan informasi secara mentah-mentah. Namun saya tak sepenuhnya yakin dengan hal itu. Sebab beberapa kali saya menyaksikan sendiri masyarakat diguncang atau terpengaruh dengan kabar berita yang tidak terverifikasi.

Pertanyaannya siapa yang mampu menghentikan aliran politik celoteh itu, cerita yang menarik karena sudah dibumbui karangan, duga-duga, gothak-gathuk meski miskin kebenaran. Sebab informasi yang miskin kebenaranlah yang biasanya membuka ruang diskusi, obrol-obrol dari ruang publik hingga ke ruang privat.

Yang bisa menghentikan tentu saja kita, sendiri maupun bersama. Dengan sedikit kesadaran tentu saja kita bisa mulai menyaring informasi. Menentukan apakah informasi itu bisa dipercaya atau patut dicurigai kebenarannya. Saya dan anda tentu mampu berpikiir dengan jernih dalam mengunyah informasi terkait pilpres, membedakan mana yang substansi dan mana yang hanya sekedar bumbu penyedap karena diolah oleh politik celoteh.

Pondok Wiraguna, 11 Juni 2014

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun