Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Menjelang Pencoblosan 01: Unique Selling Point

7 April 2014   14:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jangan pilih caleg yang menyakiti pohon.

Jangan pilih, caleg yang belum-belum sudah mengotori kota.

Caleg penunggu pohon dan tiang listrik.

Menteri kehutanan kok menyakiti pohon.

Begitu kicauan yang berseliweran di timeline perihal alat peraga kampanye dari calon legislatif yang dipasang di berbagai tempat dalam beberapa bulan terakhir ini. Penyelenggara pemilu sendiri telah menetapkan peraturan terkait dengan pemasangan algaka termasuk jenis-jenisnya. Dan berdasarkan aturan itu, seorang yang sama sekali tidak ahlipun bisa membuat kesimpulan bahwa apa yang dilarang hampir semuanya dilanggar.

Pelanggaran terkait algaka terjadi telanjang di depan mata. Salah satu yang umum adalah pemasangan algaka di pepohonan. Selain itu banyak juga algaka dipasang di dekat sekolah, rumah ibadah dan tempat layanan kesehatan. Pun begitu dengan baliho, yang seharusnya hanya untuk mengkampanyekan partai, ternyata sebagian besar menyertakan wajah kandidat legislatif. Yang dilanggar bukan hanya soal materi melainkan juga jumlahnya per lokasi.

Seorang kawan menyebutkan bahwa menjelang pemilu banyak bertebaran sampah visual di seluruh penjuru kota, mulai dari pinggiran jalan besar hingga ke dalam-dalam gang. Yang dimaksud dengan sampah visual tentu saja alat peraga kampanye para kandidat legislatif yang bukan hanya menulis nama dan nomor urut melainkan juga memajang wajah dan senyum terbaiknya.

Padahal untuk apa memajang wajah, toh dalam kertas suara pada saat pemunggutan suara nanti tak menyertakan foto kandidat. Kalau wajah dimaksudkan agar orang mengenal, tentu saja juga tidak efektif karena foto wajah tak mengatakan apa-apa tentang diri seseorang. Apakah foto seseorang yang memakai kaca mata akan menandakan dirinya pintar?. Tidak juga. Apakah foto seseorang dengan memakai kopiah atau kerudung akan menjadi penanda bahwa dirinya saleh? Tidak juga.

Dan terbukti di tengah tebaran ribuan wajah di pinggiran jalan, masih banyak pemilih yang mengeluh bahwa menjelang hari pemunggutan suara belum mempunyai pilihan, bukan karena tidak mau memilih melainkan belum tahu siapa yang akan dipilih karena tidak ada yang dikenalnya.

Jadi alangkah sia-sianya wajah penunggu pohon, tiang listrik, tiang telepon, gapura dan dinding-dinding kosong itu memajang senyumnya. Bisa dikatakan upaya pemasaran diri para calon legislatif dianggap gagal, gagal menarik perhatian publik untuk tahu lebih jauh dengan pancingan alat peraga kampanye.

Tidak sedikit masyarakat yang mengatakan bosan atau bahkan muak dengan alat peraga kampanye yang bertebaran di sepanjang jalan yang dilaluinya. Meski beda partai, beda orang toh hampir semuanya dikatakan seragam dipandang dari materi dan substansinya. Ada yang mencoba tampil dengan gaya lain, misalnya dengan memasang wajah orang terkenal, baik yang rekaan maupun tokoh yang sebenarnya. Mulai dari super hero sampai super-super lain seperti pesepakbola super macam Messi dan Ronaldo, presiden super seperti Obama. Tapi tetap saja gagal menjadi faktor penarik bagi yang melihatnya. Selain itu ada juga yang menulis pilih yang cantik atau pilih yang ganteng, dan tentu saja hasilnya malah sebuah olok-olokkan.

Dalam dunia periklanan dikenal istilah unique selling point, sebuah faktor yang akan membedakan sebuah iklan dengan iklan lainnya yang sejenis sehingga akan tampil menarik dibanding yang lainnya saat ditampilkan berdekatan. Unique selling point tentu saja bukan sekedar tampilan namun membawa filosofi, jatidiri atau identitas dari yang diiklankan.

Saya yakin bahwa para caleg dan para pembuat atau perancang algakanya sadar akan hal ini dan berusaha menampilkan unique selling point dari sang caleg pada alat peraga kampanyenya. Namun pada umumnya para caleg beserta timnya merancang itu semua untuk diri mereka sendiri, jika sesuatu dianggap bagus oleh mereka maka segera naik cetak. Mereka tidak sadar bahwa semua materi kampanye itu ditujukan untuk menarik atau memuaskan yang melihatnya bukan yang membuatnya. Maka jadilah apa yang dianggap unik dan menarik oleh kandidat dan timnya justru menjadi bahan olok-olok oleh yang melihatnya.

Saya ingat persis ketika seseorang menyingkat namanya dalam inisial, seperti Susilo Bambang Yudhoyono menjadi SBY, maka seseorang dengan nama Halimun Putra kemudian menyingkat namanya menjadi HP, maka anak-anak yang lewat di bawah baliho itu berteriak Habis Pulsa, dan banci-banci salon yang melintas didepannya berkata Handuk Putih.

Atas semua kisah dan cerita itu maka saya jadi paham kalau kemudian kawan saya menyebut deretan alat peraga kampanye itu disebut sebagai sampah visual.

Pondok Wiraguna, 5 April 2014

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun