Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berpetualang di Raja Ampat ala Dokter ‘Nggembel’ Yohanes

17 Mei 2014   17:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Wuih, kuereen Raja Ampat, berapa ongkos kesana pulang pergi mas?. Pasti mahal banget ya?”

Komentar itu muncul di kumpulan foto yang saya upload ke facebook setelah berhasil memperoleh koneksi internet di Bandara Hasanuddin Makassar. Raja Ampat memang keren dan cantik, namun perjalanan kesana identik dengan pengeluaran yang besar. Dana memang begitu adanya, apalagi kalau kita mengikuti paket tour yang dijual dengan standard euro atau dollar amerika, nilainya bisa sama dengan perjalanan keliling Eropa selama satu minggu.

Pengeluaran terbesar adalah untuk transportasi yang harus ditempuh dengan memakai speed boat. Speed boat digerakkan dengan mesin berbahan bakar bensin dan harga bensin di Raja Ampat berkisar antara 12 – 15 ribu per liter. Dan untuk mencari bensin dalam jumlah yang banyak tidaklah mudah. Om Nyong, salah satu pemilik homestay di pantai Cemara, Saleo harus menyeberang ke Saonek untuk membeli 100 liter bensin yang akan dipakai untuk mengantar tamu keliling Teluk Kabui.

Untuk menikmati pemandangan kumpulan pulau-pulau karang di Wayag, harus mengeluarkan ongkos speed boat sekitar Rp. 11.000.000. Untuk menikmati pemandangan yang hampir sama sebenarnya bisa pergi ke Pianemo, namun itupun masih harus mengeluarkan ongkos sekitar Rp. 7.000.000. Ongkos sewa speed yang paling murah adalah Rp.3.000.000 apabila kita mau melihat pemandangan yang hampir sama dengan Wayag dan Pianemo disepanjang teluk Kabui, salah satu dari tiga teluk terbesar di Raja Ampat. Hanya saja di bandingkan dengan Wayag dan Pianemo, di teluk Kabui belum ada lokasi untuk mengambil gambar kumpulan pulau-pulau kecil dari atas bukit.

“Waduh, kapan ya bisa kesana .... bakal lama nabungnya!” begitu komentar lanjut dari kawan di halaman facebook saya.

Sebenarnya untuk mereka yang berjiwa petualang, selalu ada cara untuk bisa menikmati keindahan Raja Ampat dengan ongkos yang relatif murah. Sore hari ketika air laut naik, saya menikmati pantai Cemara, Saleo dengan memakai kano. Setelah capai mengayuh dayung, saya menepi dan kemudian pergi ke pondok tempat tamu-tamu homestay makan, minum dan menonton televisi. Saya melihat seseorang membawa tas carrier besar tengah berbincang-bincang dengan beberapa orang, salah satunya adalah pemilik homestay.

Saya ikut nimbrung dan berkenalan, seseorang itu ternyata bernama dr. Yohannes, seorang dokter PTT di kabupaten Bukit Bintang, Papua. Dokter Yohannes semenjak masa mahasiswa gemar berpetualang, berwisata ala backpacker. Dari cerita dan perlengkapan yang dibawanya, dr. Yohannes bisa disebut sebagai master backpacker. Namun dia lebih senang menamakan modus perjalanan wisatanya dengan sebutan ‘Nggembel’.

Cerita pertama dr. Yohannes adalah perjalanan dari pelabuhan Raja Ampat ke homestay Cemara di Saleo. Jika memakai mobil sewaan yang kini mulai banyak di Raja Ampat, sekurangnya dibutuhkan ongkos Rp. 250.000. Begitu sampai di pelabuhan, dr. Yohannes mulai berbincang-bincang dengan orang-orang di pelabuhan dari bincang-bincang itu alhasil dia bisa bertemu dengan seseorang yang bersedia memboncengnya dengan gratis menuju homestay Cemara.

Setelah bincang-bincang dengan pemilik homestay, dr. Yohannes diijinkan untuk mendirikan tenda di sisi depan pondok makan dengan pemandangan ke arah pantai. Dengan mendirikan tenda maka dr. Yohannes tak perlu mengeluarkan uang Rp. 300.000 semalam untuk menginap di pondok beratap daun rumbia dan dinding pelepah pohon. Sebagai balas jasa atas kebaikan pemilik homestay, dr. Yohannes mengatakan akan membantu bersih-bersih dan hal-hal lain di lingkungan homestay itu. Dan benar ketika para tamu selesai makan, dr. Yohannes segera mengemasi peralatan makan untuk dibawa ke tempat cuci. Hal itu membuat pemilik homestay menjadi kikuk namun tak mampu mencegah kekukuhan dr. Yohannes untuk mencuci peralatan makan dan minum para tamu.

Pagi-pagi buta, saya segera bangun untuk berburu gambar suana pantai Cemara Saleo di pagi hari. Ketika keluar dari pondok terlihat dr. Yohannes telah selesai bersih-bersih lingkungan sekitar homestay. Sampah dedaunan dan lainnya telah dikumpulkan, pinggiran pantai telah bersih dari sampah yang dibawa ombak malam dan dibuang oleh pengunjung pantai seharian kemarin. Pantai Cemara Saleo, meski dipinggirannya berderet homestay, tetap dipertahankan sebagai tempat wisata untuk masyarakat umum.

Setelah selesai bersih-bersih, dr. Yohannes mengeluarkan peralatan masak portabel dengan kompor berbahan bakar spiritus. Dan tidak butuh waktu lama bagi dr. Yohannes untuk menyelesaikan makan paginya. Dengan diiringi deburan ombak dan semilir angin pantai, dr. Yohannes menikmati sarapan paginya sambil duduk di batang kayu besar yang banyak berserak di pinggir pantai.

Pemilik homestaypun telah menyelesaikan persiapan sarapan untuk tamu-tamunya. Nasi goreng dengan telur mata sapi disajikan untuk para tamunya. Semua disiapkan dalam piring masing-masing termasuk untuk dr. Yohannes. Dr. Yohannes yang telah menyantap sarapan paginya, kembali ‘dipaksa’ untuk menghabiskan nasi goreng yang disiapkan oleh juru masak homestay.

Pagi itu saya dan teman seperjalanan telah bersepakat dengan Om Nyong untuk menikmati pemandangan di Teluk Kabui. Ketika air pasang sudah cukup tinggi Om Nyong memberi kode kepada kita untuk siap berangkat. Satu speed bisa diisi oleh 7 – 10 orang, sementara saya hanya bertiga, ditambah Om Nyong dan dua asisten, jadi masih banyak ruang kosong di speed boat. Pak Ahmad, bapak Om Nyong, menyuruh dr. Yohannes untuk ikut serta, sambil mengingatkan untuk tidak lupa membawa peralatan snorkel. Dengan restu dan perintah Pak Ahmad, sama artinya perjalanan dr. Yohannes menikmati teluk Kabui adalah gratis.

Jelas sekali rona wajah dr. Yohannes ingin berteriak dan berjingkrak senang. Namun tampak ditahan dan dengan segera bergerak untuk membantu mengangkat berbagai peralatan ke atas speed boat. Dan setelah itu dr. Yohannes berdiri di samping belakang speed boat untuk membantu saya dan teman seperjalanan menaiki speed boat.

Jadi dengan semangat petualangan yang sejati dan menyediakan diri berlaku bak ‘gembel’ perjalanan wisata di Raja Ampat tetap bisa dinikmati tanpa harus mengeluarkan ongkos yang besar. Dan ini bukan cerita omong kosong belaka, karena saya melihat dengan mata kepala sendiri. Sayang siang hari setelah mampir, menginjakkan kaki di pasir timbul depan pulau Mansuar, saya dan teman seperjalanan harus segera meninggalkan Raja Ampat menuju Sorong. Maka saya tak bisa lagi memperpanjang kisah dan cerita dr. Yohannes yang menamai perjalanan ke Raja Ampat dengan sebutan ‘Nggembel’ itu.

Pondok Wiraguna, 17 Mei 2014

@yustinus_esha

14002985981920354631
14002985981920354631

14002986501500493327
14002986501500493327

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun