Mohon tunggu...
Yusticia Arif
Yusticia Arif Mohon Tunggu... Administrasi - Lembaga Ombudsman DIY

I Q R O '

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Darurat Penanganan Sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta

15 Oktober 2018   13:27 Diperbarui: 21 Juni 2019   03:49 5135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung sampah di TPST Piyungan, Bantul | dokpri

Pengelolaan sampah adalah suatu bidang yang berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan (sementara), pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip faktor kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik (engineering), perlindungan alam (conservation), keindahan dan pertimbangan lingkungan lainnya termasuk sikap masyarakat.

Keberhasilan sistem manajemen yang baik dalam pengelolaan sampah dari pemerintah dan masyarakat dapat terwujud karena adanya organisasi yang bertanggung jawab dengan struktur organisasi yang jelas (Mulasari, 2007). Pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik seringkali mengalami kendala, oleh karena itu dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk menyelesaikannya. 

Kendala bagi penyediaan layanan publik di antaranya adalah infrastruktur, sumber daya, dan kerangka kelembagaan pelayanan publik. Meningkatkan pelayanan publik seringkali merupakan permasalahan manajemen dibandingkan dengan masalah teknis atau masalah keuangan (Galileo, 2012).

Pemda DIY, meski sudah memiliki Perda No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, namun masih dihadapkan pada situasi yang kompleks terkait masalah pengelolaan sampah di wilayahnya. 

Apalagi saat ini, Tempat Pembuangan Sampah Terakhir (TPST) di Piyungan mengalami overload. TPST Piyungan yang dibangun sejak tahun 1996 masih menggunakan konsep Sanitary Landfill untuk pemrosesan sampahnya. 

Sanitary Landfill adalah sistem pengolahan sampah dengan menumpuk di lokasi cekung, memadatkannya kemudian ditimbun dengan tanah. Sistem ini, meski hemat secara biaya operasional, tetapi memiliki beberapa konsekuensi terutama isu pencemaran tanah atau munculnya gas metana.

Saat ini, tiap hari ada sejumlah 150 hingga 170 truk yang membuang sampah di TPST Piyungan. Jika diakumulasi, total sampah yang dibuang mencapai 500 ton atau setara dengan 750 meter kubik. 

Fakta ini masih ditambah dengan rusaknya beberapa unit alat berat yang beroperasi di TPST Piyungan beberapa waktu yang lalu, sehingga proses pengolahan sampah terhambat. Perlu diketahui bahwa alat-alat berat ini bekerja sejak jam 08.00 pagi hingga jam 22.00 malam.

Profil Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta Tahun 2013 menyebutkan bahwa sampah yang terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah paling banyak adalah dari Kota Yogyakarta (34,89%), kemudian Sleman (13,17%), Kulon Progo (7,20%), Gunung Kidul (5,37%), dan terakhir Bantul (1,91%). 

Kota Yogyakarta menghasilkan 900 gram per hari per orang. Per hari dalam satu keluarga dengan lima orang anggota keluarga menghasilkan 4.500 gram sampah dan dalam satu tahun menghasilkan 1.620 kg per hari. 

Pemulung mengais sampah | dokpri
Pemulung mengais sampah | dokpri
DLH Kota Yogyakarta telah melakukan evaluasi bahwa setelah perumahan, transportasi, dan komersial, ternyata sampah menduduki urutan keempat sebagai produsen emisi masyarakat dengan kapasitas 158.692 ton ekuivalen CO2 atau CO2e.

Bahkan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ikut serta menangani manajemen pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta bersama dengan Sekretariat Bersama Yogyakarta, Sleman, dan Bantul (Sekber Kartamantul) yaitu satuan kerja yang bertugas mengawasi pengelolaan sampah di tingkat provinsi untuk bekerja sama dengan BLH di kabupaten/kota. 

Pengawasan yang dilakukan mulai dari penarikan retribusi, pengumpulan dari sumber untuk dibawa ke TPS sampah, pengangkutan sampah dari TPS ke TPST Piyungan oleh puluhan truk atau kendaraan pengangkut sampah lain yang beroperasi di tiga daerah (Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) sampai dengan pengoperasian TPST Piyungan. 

Hal tersebut menunjukkan manajemen sampah terpadu yang memungkinkan rawan konflik, karena adanya perbedaan kepentingan pada otonomi daerah. Permasalahan yang lain adalah campur tangan pemerintah provinsi ternyata tidak begitu saja menyelesaikan berbagai permasalahan persampahan di DIY, seperti penegakan regulasi, pendanaan, dan pemberdayaan masyarakat.

"TPST Piyungan yang dibangun sejak tahun 1996 masih menggunakan konsep Sanitary Landfill untuk pemrosesan sampahnya."

DIY sendiri juga menghadapi persoalan sampah sebagai dampak dari banyaknya destinasi wisata di DIY. Kedatangan para pelancong turut berkontribusi pada meningkatnya jumlah volume sampah yang harus ditangani Pemda DIY. 

Sekber Kartamantul pada saat koordinasi dengan Lembaga Ombudsman DIY beberapa hari lalu membenarkan informasi ini. Bahwa grafik volume sampah terbaca naik selama musim liburan.

Dengan demikian diperlukan suatu terobosan dalam pengelolaan dan penanganan persoalan sampah di DIY. Salah satu tagline yang kemarin diwacanakan Lembaga Ombudsman DIY adalah "Sampahmu Urusanmu, Sampahku Urusanku". 

Dalam hal ini, bahwa pengelolaan sampah "dikembalikan" kepada masing-masing wilayah dengan memanfaatkan Bumdes (apabila wilayah tersebut merupakan pedesaan) dan sebagainya. 

Tiap individu warga mestinya juga dibekali dengan edukasi terkait tanggungjawab bahwa sampah yang dihasilkannya merupakan tanggungjawab individu tersebut, sehingga proses penanganan persoalan sampah bisa selesai di hilirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun