Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Tanpa Rokok? Mengambang Tanpa Tujuan dan Kepastian

12 Desember 2021   17:12 Diperbarui: 12 Desember 2021   17:14 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan majalah AS dari sekitar tahun 1950. Kredit: Granger Historical Picture Archive/Alamy 

Dilansir dari World Economic Forum, pada Kamis 09 Desember 2021 Selandia Baru mengumumkan akan melarang kaum muda membeli rokok seumur hidup mereka. Tindakan tersebut dilakukan sebab upaya-upaya lain yang dilakukan untuk menghentikan konsumsi rokok memakan waktu terlalu lama.

Dalam proposal yang direncanakan menjadi undang-undang tersebut mengatakan, penduduk yang berusia di bawah 14 tahun pada tahun 2027 tidak akan pernah diizinkan untuk membeli rokok. Penetapan usia 14 tahun tersebut bukan tanpa alasan kuat. Otoritas kesehatan Selandia Baru mengatakan bahwa biasanya kebiasaan merokok dilakukan pada usia muda, dengan perbandingan empat dari lima warga Selandia Baru mulai merokok pada usia 18 tahun dan 96% pada usia 25 tahun.

Hasil yang diharapkan dari undang-undang yang akan disahkan akhir tahun depan ini di antaranya akan membatasi jumlah toko yang dapat menjual rokok mulai tahun 2024. Kemudian pada tahun 2025 akan menurunkan tingkat nikotin. Hingga akhirnya pada 2027 akan menghasilkan generasi "bebas asap rokok."

Mengikuti Selandia Baru, Inggris pada tahun 2030 akan menetapkan tujuan yang sama yaitu bebas rokok. Kemudian Kanada dan Swedia menargetkan turunnya kebiasaan merokok hingga kurang dari 5%.

Namun bagaimana dengan Indonesia?

Dari total keseluruhan penduduk Indonesia pada 2016, 34% atau 65,19 juta orang di antaranya adalah perokok. Dengan jumlah tersebut dalam laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) yang berjudul  The Tobacco Control Atlas menempatkan Indonesia dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN.

Fakta tersebut tentunya bukanlah sesuatu yang mengejutkan, apalagi jika di hubungkan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang berkenaan dengan rokok. Salah satunya yang tidak asing ditelinga adalah jargon, "Wis mangan ora udud paru paru ora smile."  Kebiasaan menghisap rokok setelah makan pada masyarakat seakan hukumnya adalah wajib sehingga tidak sulit untuk melihatnya. Kebiasaan tersebut pun dapat dilihat dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), yang melaporkan bahwa  rokok masih menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia. Rata-rata pengeluaran rokok dan tembakau sebesar Rp 76.583 per kapita per bulan pada Maret 2021. Dengan kata lain pengeluaran rokok merupakan yang kedua tertinggi di antara kelompok pengeluaran lainnya.

Lebih spesifik mengenai profil perokok Indonesia dapat dilihat dalam data lainnya yang dipublikasikan BPS. Dari 34 provinsi yang ada Indonesia rata-rata jumlah perokok yang berumur di atas 15 tahun mencapai 28,69%. Di antara provinsi-provinsi tersebut ada beberapa provinsi dengan jumlah perokok tertinggi atau melebihi jumlah rata-rata nasional. Di antaranya yaitu, Lampung (33,43%), Jawa Barat (32,55%), Bengkulu (32,31%), Banten (31,58%), Sulawesi Tengah (30,64%), Nusa Tenggara Barat (30,58%), Sumatera Selatan (30,56%), Gorontalo (30,3%), Sumatera Barat (30,08%), Maluku Utara (29,83%) dan Kalimantan Tengah (28,89%).

Dari total keseluruhan jumlah perokok tersebut terdapat beberapa hal yang menari. Pertama, jika dilihat berdasarkan kelompok umur, perokok yang berusia 15-19 tahun masih cukup besar yaitu mencapai 10,61%. Dari jumlah tersebut beberapa di antara kita mungkin tertarik mengajukan pertanyaan berapa usia minimal boleh merokok? Jawabannya suka-suka, tidak ada usia minimal. Peraturan yang berkaitan hanya mengatur mengenai penjualan, Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012, pasal 25 ayat b,  yang tegas menyebut dilarang menjual produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun.

Kedua, masyarakat yang digolongkan kelompok miskin atau 20 persen penduduk dengan pengeluaran terendah (kuintil 1) termasuk kelompok dengan persentase perokok cukup tinggi mencapai 27%. Tentu hal tersebut sangat paradox dengan kondisi perekonomian dan pendapat mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun