Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Daya Nalar dan Takhayul Masyarakat dari Fenomena Babi Ngepet

30 April 2021   12:19 Diperbarui: 30 April 2021   12:27 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"... Dari kemarin saya sudah pantau, Pak, orang ini. Ini dia berumah tangga dia nganggur tapi uangnya banyak. Saya sudah lewat rumahnya, udah saya lemparin sesuatu di depan rumah biar ketahuan..."

Sebagian besar di antara kita khususnya pengguna aktif sosial media tidak asing dengan kata-kata yang terkesan nyinyir tersebut, potongan kalimat tersebut dikeluarkan oleh Ibu Wati dalam sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang dimintai tanggapan mengenai penangkapan Babi Ngepet.

Akhir-akhir ini Perbincangan mengenai penangkapan Babi Ngepet di kota Depok, Jawa Barat tengah hangat dan cukup heboh di sosial media. Dilansir dari portal berita online, fenomena Babi ngepet yang menghebohkan warga RT 2/6, Kelurahan Bedahan, Kecamatan sawangan berawal dari kecurigaan sebab banyak warga yang mengalami kehilangan uang yang akhirnya di hubungkan dengan hal-hal berbau mistis yaitu Babi Ngepet. Singkatnya dengan didasari kecurigaan, warga berhasil melakukan penangkapan terhadap babi yang diyakini adalah jadi-jadian atau Babi Ngepet tersebut yang pada akhirnya babi tersebut dipotong dan dikubur yang juga tidak lepas dari hal-hal berbau mistis.

Dari salah satu kejadian tersebut yakni fenomena Babi ngepet di Depok (yang ternyata hoax) dan umumnya beberapa kejadian lain yang dapat dikategorikan dalam takhayu, mitos, hoax dan lain sebagainya ada banyak hal yang dapat di interpretasikan sehingga kemudian menjadi pelajaran. Meskipun beberapa atau sebagian besar hasil interpretasi dari kejadian tersebut merupakan "suatu permasalahan" atau bahkan bukti keterbelakangan masyarakat di sekitar kita sehingga harus diselesaikan.

Pertama, rendahnya daya nalar. Secara fitrahnya manusia dibandingkan dengan hewan atau tumbuhan memiliki kelebihan yang tidak diberikan kepada keduanya, yaitu penalaran. Sederhananya, penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan. Berbeda dengan hewan yang lebih mengedepankan insting untuk kelangsungan hidupnya (survival), hal ini dikarenakan manusia dikaruniakan Bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikirannya, serta manusia mampu mengembangkan pengetahuannya  menurut kerangka berpikir yang tidak ada pada hewan. Dari fenomena Babi ngepet tersebut kita dapat melihat bagaimana masyarakat dalam menarik kesimpulan yang minim akan bukti dan diperparah dengan hal-hal mistis. Rendahnya daya nalar masyarakat tersebut juga berkorelasi positif dengan rendahnya mutu pendidikan (IPM) dan literasi masyarakat Indonesia.

Kedua, kepercayaan takhayul yang tinggi. Hal semacam ini memang sangat sulit dipisahkan dengan masyarakat Indonesia sebab sudah menjadi satu-kesatuan bagian dari budaya. Bila merujuk kepada definisi yang diberikan Ashley Montagu dalam bukunya Man: His First Million, bahwa budaya merupakan cerminan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidup. Sehingga kuatlah sudah bila mitos takhayul yang merupakan bagian dari budaya sudah ada sejak lama dan akan sulit dipisahkan, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Memvonis benar atau salah mengenai kepercayaan takhayul yang tinggi tersebut akan membawa kita kepada perdebatan panjang sebab di satu sisi merupakan budaya sekaligus kearifan lokal namun disisi lain mencerminkan belum meleknya masyarakat terhadap ilmu pengetahuan.

Pernyataan lebih keras mengenai fenomena tersebut dapat dilihat dalam Massa Actie yang merupakan karya dari Tan Malaka. Dalam karyanya tersebut ia memandang berbagai macam takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat, serta sejenisnya  dengan sebutan "kotoran kesaktian" yang harus dihilangkan jika ingin merdeka (dalam artian luas termasuk berpikir). Bagi Tan Malaka dalam menilai Indonesia yang masih cukup kental dengan hal demikian sama artinya dengan bermain api. Tangan sendiri yang akan terbakar.

Ketiga, pergeseran logika. Salah satu fakta yang menurut saya menarik dari fenomena Babi ngepet di Depok beberapa hari yang lalu adalah penangkapan Adam Ibrahim yang tidak lain adalah ustaz atau tokoh masyarakat yang juga sekaligus dalang dibalik rekayasa fenomena tersebut. Salah satu motif atau yang paling mendasari Adam Ibrahim dalam merekayasa Babi ngepet tersebut adalah agar dirinya terpandang.

Pertanyaannya apakah motif dari Adam Ibrahim tersebut salah? Menurut saya pribadi bila merujuk kepada teori Moslow yaitu hierarki kebutuhan tidaklah salah. Sebab dalam salah satu tingkatannya setelah kebutuhan fisiologis, rasa aman dan kasih sayang, keinginan memiliki prestise dan atensi dari orang di sekitarnya masuk dalam kebutuhan akan penghargaan (esteem needs). Namun yang jadi permasalahan adalah cara Adam Ibrahim untuk mendapatkan dan menempatkan prioritas kebutuhan tersebut.

Motif agar menjadi terpandang seperti halnya Adam Ibrahim kian menjadi penting yang tidak lain ciri dari masyarakat yang telah memasuki era Post-modern. Menurut Nicholas Abercrombie,  dalam masyarakat post-modern identitas sosial merupakan salah satu prioritas utama. Dan saat ini banyak hal bahkan konsumsi tidak lagi terfokus pada pemanfaatan nilai guna melainkan penanda sosial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun