Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seks Jawa Vs Seks Bugis (2)

26 Mei 2010   22:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:56 7807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_150857" align="alignleft" width="295" caption="salah satu tarian Jawa (www.jatengprov.go.id)"][/caption]

SETIAP kali melihat tarian Jawa, saya selalu terkesiap menyaksikan kelembutan dan kesantunan gerak tari. Saya selalu mengagumi pakaian penari berupa kemben dengan bahu terbuka. Bagi saya, pakaian itu lahir dari dialog-dialog kebudayaan antara tradisi Jawa dan Islam. Saya juga mengagumi gerakan tari yang gemulai itu. Amat lembut, namun sesekali menghentak. Saat beberapa waktu lalu menyaksikan tari Bedhaya Ketawang di Surakarta, saya selalu menikmati saat-saat ketika sang penari melirik ke arah penonton.

Pada mulanya, saya memperhatikan gadis yang berkulit putih bersih dan menawan. Namun ketika seorang penari -yang justru tidak begitu cantik-melirik ke arahku, saya langsung berdebar-debar. Sungguh, saya sangat menikmati lirikan-lirikan tersebut. Saya jadi fokus memperhatikannya. Ketika mata saya bertemu dengan mata penari itu, ia tiba-tiba menunduk. Duh.... Saya seolah tersengat listrik. Saya langsung jatuh cinta.

Saya lalu ke balik panggung dan menemui penari itu. Ia menatap saya dengan malu-malu. Suaranya pelan. Kultur Sulawesi saya seakan berontak. Saya ingin berbicara tergesa-gesa. Kalau perlu langsung menyatakan cinta dan ngajak pacaran. Namun menyaksikan wajah yang manis, sorot mata yang lembut namun tajam, tutur kata yang terjaga, serta senyum tertahan, membuat saya kehilangan kata-kata. Ketika gadis itu menyapa dengan pelan, kaki saya gemetaran. Saya takluk pada semua pesona yang dipancarkannya.

Saya memahami bahwa kebudayaan adalah medan pertarungan makna. Dalam hal Jawa, kebudayaan terletak pada tindakan-tindakan bermakna yang lahir dari proses sejarah serta ditransmisikan dari generasi ke generasi. Kebudayaan Jawa dicirikan oleh identitas manusia-manusia Jawa yang lahir melalui interaksi dalam kehidupan sehari-hari (everyday life). Identitas kejawaan adalah sesuatu yang dipilih manusia Jawa kemudian dipahami dalam relasinya dengan manusia lain dalam satu semesta.

[caption id="attachment_150858" align="aligncenter" width="500" caption="devieriana.wordpress.com"][/caption]

Pada hari ketika saya bersua perempuan Jawa itu, saya tiba-tiba mengamini pendapat sastrawan Seno Gumira Adjidarma bahwa identitas seksi perempuan Jawa tidak terletak pada tubuh yang bersih serta pinggul yang aduhai. Keseksian perempuan Jawa justru terletak pada tutur kata yang lembut, mata yang melirik penuh makna, serta gerak-gerik yang menunjukkan prilaku yang priyayi dan terpelajar.  Inilah yang disebut kebudayaan.

Namun, sebagai seorang luar Jawa, saya kadang bertanya-tanya. Jika seorang perempuan yang dibesarkan dalam kultur Jawa bertutur dengan demikian lembut dan terjaga, bagaimanakah sikap mereka ketika membahas seksualitas? Apakah mereka akan bersikap malu dan membicarakannya dengan kalimat yang juga terjaga?

Kitab Seks Jawa

Hingga beberapa waktu, saya banyak menanyakan pertanyaan di atas. Namun setelah membaca beberapa bagian dari naskah Serat Centhini, saya harus menyusun ulang semua konsep yang saya bangun tentang Jawa. Saya terkagum-kagum dengan Serat Centhini. Ini adalah kitab seks yang luar biasa dan menunjukkan sejauh mana pengetahuan dan pendalaman tentang seks. Membaca kitab ini, saya jadi mengagumi karya emas bangsa sendiri pada masa silam. Selama ini kita selalu mendewa-dewakan kitab seks dari luar. Padahal di negeri kita sendiri justru terdapat sebuah kitab seks yang tidak saja berisi petunjuk tentang tipe perempuan, pesona seorang perempuan, posisi-posisi hubungan seks, hingga rahasia-rahasia dan misteri hubungan seksual.

Serat Centhini adalah kitab seks yang setara dengan Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM-17 M) atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India. Serat Centhini yang nama rresminya Suluk Tembangraras digubah pada abad ke-19, tepatnya tahun 1815 oleh tiga pujangga Istana Keraton Surakarta. Serat ini terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) yang membahas masalah seks dan seksualitas. Sedemikian masyhurnya kitab seks ini sehingga seorang warga Perancis, Elizabeth D Inandiak, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Perancis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun