Sekitar lima bulan lalu saya pindah rumah. Data kependudukan saya pun pindah dari Kota Bandung ke Kabupaten Sumedang, keduanya di Jawa Barat. Setelah surat-surat dari Kota Bandung diurus, lalu di Sumedang mendapat surat dari RT, RW, Desa, Kecamatan, akhirnya ke Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Kependekan dinas ini sempat membuat saya tersenyum, entah karena apa.
Sebagai warga negara yang baik dan ingin selalu merasakan bagaimana menjadi masyarakat yang paling bawah, saya mengambil nomor antrian dan menunggu. Ternyata dari pagi (sekitar pukul sembilan saat mengambil nomor antrian) sampai sore baru kebagian diurus. Dan nyatanya baru Kartu Keluarga yang selesai. Untuk KTP besoknya harus datang lagi. Saya rela dan menikmatinya.
Besoknya mengantri lagi dari pagi sampai sore. Dan setelah dipanggil, ternyata yang disebut KTP itu adalah Surat Sementara. Ya, karena blangko KTP elektronik belum ada.Â
Bila dalam waktu 6 bulan blangko e-KTP itu belum ada juga, KTP Sementara itu harus diperpanjang. Pasti dengan cara mengantri dari pagi sampai sore lagi. Itu pun bila nomor antrian belum mencapat 250. Bila lebih dari angka itu, hari itu tidak bisa dilayani.
Saat pulang, saya baru merasakan begitu "menyedihkannya" jadi rakyat Indonesia. Apakah ini ada hubungannya dengan korupsi? Pasti banyak yang masih ingat, kasus korupsi e-KTP yang berjamaah dan menyeret Tuan-Tuan Yang Terhormat ditandai hilangnya triliunan rupiah untuk dana e-KTP.Â
Dan sepertinya mereka merasa tidak bersalah. Drama-drama penyeretan para koruptor e-KTP masih dikenang rakyat Indonesia. Ya, karena lebih heboh dan trending dibanding drakor, apalagi sinetron tanah air.
Sementara kabar terakhir Tuan-Tuan Yang Koruptor itu hidup sehat jiwa-raga. Ya, karena makanan mereka "empat sehat lima sempurna". Jiwa mereka jadi agamis dengan belajar baca Qur'an, memanjangkan jenggot, dan bicara kata-kata Arab yang fasih. Sementara saya sebagai rakyat mesti rela mengantri seharian dan enam bulan kemudian mengerjakan sesuatu yang semestinya tidak perlu.
Kisah ini sebenarnya untuk dibaca siapa saja. Tapi Pak Presiden wajib tahu kisah seperti ini. Versi yang manapun. Ya, agar tidak ragu-ragu untuk membatasi gerak koruptor.
21-10-2019