Mohon tunggu...
Yusmar Yusuf
Yusmar Yusuf Mohon Tunggu... Dosen - Budayawan

Guru Besar Kajian Melayu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mendaki

2 Agustus 2012   01:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jiwa yang mendaki langit. Sekecil apapun pendakian itu, dia menjurus pada titik vertikal. Di sini terhidang garis naik dan turun. Al Furqan diturunkan, sekaligus gambaran simbolis tentang gerak titik yang vertikal dari atas ke bawah. Dalam persepsi segenap kebudayaan manusia, sesuatu yang berada di atas, mewakili kenyataan dan fenomena tinggi, bercahaya, surgawi, alam malaikat, atau sesuatu yang mewakili arasy supra human (mengatasi manusia). Sepanjang sirah penurunan wahyu Allah itu, maka dia dira’i atau dimajeliskan pada sebuah bulan yang memuliakan gerak vertikal atas-bawah ini dengan cara berpuasa; alias jatuh pada bulan Ramadan. Dan bulan ini menjadi sesuatu yang ‘dipilih’ atau pun ‘memilih’.

Mendaki ialah sebuah pilihan dari sekian jamak keputusan, sepanjang persuaanmanusia dengan segenap gempita kehendak dan dorongan pribadi. Dorongan pribadi, secara ranah pengetahuan dikaji oleh rumpun ilmu Psikologi yang secara suka tak suka adalah penjumlahan dari sekian banyak faktor-faktor bawaan-instinktif dan faktor situasional. Tradisi Leipzig dan Boston dalam mazhab Psikologi menghasilkan istilah Psikologi sosial dengan P besar, dan psikologi Sosial dengan S besar, menggambarkan bancuhan itu. Dua kenyataan ini berbancuh hebat pada sebatang instansi tubuh manusia, termasuk ihwal demi dan untuk menjelaskan fenomena pendakian jiwa. Gempita pendakian itu, berdimensi sukacita. Dan manusia tak tahan menikmati sukacita itu secara bersendirian, maka manusia ingin berbagi; kisah, cerita, rasa, pengalaman, sehingga menjadi serangkaian narasi yang mengikat sejumlah individu dalam sekelompok orang.

Dan manusia pun selanjutnya dalam pembagian itu membagi-bagi lagi kisah pendakian itu menjadi gerakan kelompok, gerakan komunitas, kaum dan jamaah. Suara-suara melantun dari pucuk menara masjid sejak subuh hingga menusuk subuh berikutnya, ialah pendakian bebunyian yang memanjat langit; apakah itu tadarus secara berkelompok, atau pun dzikir secara perorangan. Lalu, kesatuan ‘diam’ dalam iktikaf di masjid, di rumah Allah menjadi simbol pendakian eskatologis secara pribadi, tentang panjatan, gerak psikis secara vertikal. Doa yang terlihat pasif itu juga sebuah ‘kenyataan aktif’ secara emosional dan psikis tentang peristiwa mendakian dan memanjat; maka disebutkan peristiwa itu sebagai ‘memanjat doa’, atau memohon doa. Kata ‘memohon’ ialah garis maya yang vertikal, tegak lurus. Sesuatu yang tegak lurus, dia berada di bawah suluh benderang. Sesuatu yang berada di bawah benderang, ialah sesuatu yang kecil dan kehilangan bayang-bayang; inilah masa-masa jahar (terang dan jelas adanya). Matahari yang tegak lurus di siang hari, inilah kenyataan mengenai pendakian tegak lurus yang disebut sebagai dzuhur (tegak lurus); azhar, jahar. Di masa-masa begini segala makhluk kehilangan gagah berdepan dengan garis tegak lurus yang dihidangkan oleh kehadiran matahari tepat di atas ubun-ubun. Dan bayang-bayang mengurai, menghilang. Manusia tanpa bayang-bayang mengalami gayang, gamang dan kehilangan aku, kehilangan gagah, kehilangan sombong.

Ketika sujud, manusia juga menghilangkan bayang-bayang dirinya. Membentuk formasi dan bersatu dalam setumpuk busut (lempung) yang hina dan lemah. Pada ketika itu pula manusia sedang menjalani ‘peristiwa pendakian’. Kening atau kepala yang jatuh pada titik terendah muka bumi dari sebuah sujud, ialah simbol balikan tentang capaian arasy langit nan tinggi menjulang. Di dalam peristiwa sujud; antara ‘terendah’ dan ‘tertinggi’ menyatu dalam satu titik yang tergenggam dalam pasrah. Dan bayang-bayang pun tak terhindar lagi untuk ditebas, dihilangkan demi pendakian yang memucuk.

Maka, ketika bergairah hendak menjadi itu dan menjadi ini, ukurlah bayang-bayang. Agar manusia memiliki rasa segan atas diri. Ketika diri yang segan, dia akan menjadi dacing penimbang yang paling elok untuk berinteraksi dengan orang-orang lain. Bayang-bayang itu bisa berbentuk kata-kata yang diucap dari lidah, bisa pula tulisan, pengetahuan yang tak seberapa, tapi ingin menduga dalamnya samudera. Bisa pula penampilan dan gaya hidup, bisa berbentuk sejumlah status yang senantiasa berubah-ubah di media sosial, sampai bentuk-bentuk kicaua, cacian dan makian di media sosial yang sejatinya mempertontonkan kedangkalan akhlak dan capaian pengetahuan. Di sini kita mempertontonkan bayang-bayang itu, dan ketika kita sibuk dengan sejumlah eksibisi, kita lupa dengan peristiwa mendaki, kita tak hendak lagi meneruskan peristiwa memanjat yang telah menjadi inayah dalam upaya pesucian itu. Sebab, manusia rindu dan bangga menyandang kata suci dan ‘kesucian’.

Hari suci, tanah suci adalah sejumlah alamat yang dirindukan untuk didatangi. Sesuatu yang suci, berada di ‘atas’. Dia tak terserbuk oleh perihal noda, debu, jauh dari ihwal stigma kelam. Suci, fitri itu ialah peristiwa yang diangkat ‘maqam’nya. Di sinilah mendaki jadi saki-baki sekaligus kata kunci untuk mencapainya. Doa, tadarus, lantunan dan dzikir yang beralun dan bergelombang, termasuk sejumlah peristiwa mendaki yang diformasi oleh manusia dalam konstruksi ‘bahasa manusia’ sebagai terjemahan dari bahasa langit yang terhidang dalam ‘tablet’ di Lauh Mahfuz sana.

Berbahagialah kepada jiwa-jiwa yang mendaki dan senantiasa mendaki. Di pertengahan bulan yang ‘mendaki’ ini manusia melepas dan melempar jauh-jauh bayang-bayang ke lembah-lembah. Di lembah-lembah tempat segala bayang-bayang itu berkumpul dalam kesebuan arah dan tanpa hala tuju. Gerak berputar bak gasing dari sebuah tarian darwisy (darvish dance) yang begitu ligat dan linyak, ialah sebuah gerakan berputar dalam ‘kesatuan’ demi memusnahkan bayang-bayang dalam gerak memanjat ke arasy langit. Putaran di atas titik as yang laju dan kencang ini, menghablurkan bayang-bayang, menghancurkan bayang-bayang. Bahwa bayang-bayang senantiasa menjadi sumber angkuh dan sombongnya manusia muka bumi. Pada ketika sibuk dan dihanyutkan dalam peristiwa ‘melata’ terestrial, manusia pun merindukan perbuatan yang melayani wilayah vertikal-transendetal. Ya, dengan memanjat dan mendaki…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun