Kondisi Politik dan pemerintahan dalam era pandemi
Pertama,Di tengah pandemi COVID-19, secara substansi demokrasi tidak banyak berubah. Pada dasarnya kita masih menghadapi masalah demokrasi yang sama. Beberapa fenomena terakhir cenderung mengkonfirmasi hal ini. Pertama, check and balances DPR yang masih lemah. Kondisi seperti ini sepertinya sudah menjadi sifat DPR di era Jokowi yang umumnya kurang kritis dan hanya sekedar pendukung otoritas.Hal ini diperkuat dengan sikap DPR yang terkesan tidak terlalu terganggu oleh lambannya respons pemerintah pusat sejak virus mulai menyebar. Begitu pula ketika muncul beberapa kali inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Kalaupun pemberian bansos tidak lancar dan ada citra penyaluran sembako, DPR seolah tak bergeming. Meski suara-suara kritis sudah mulai terdengar, secara umum rasa terlalu protektif parlemen terhadap pemerintah masih terasa.
Kedua, dengan sinergi dan koordinasi internal pemerintah yang tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini menyebabkan terjadinya persilangan di jajaran pemerintahan sendiri. Konsentrasi kekuasaan dan birokrasi dalam menentukan kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) merupakan imbas dari situasi yang tidak terkoordinasi dan tidak sinergis ini.Sentralisasi kebijakan ini kerap dipertanyakan, mengingat PSBB harus segera dilakukan oleh kepala daerah tanpa harus menunggu keputusan administratif yang memperpanjang rantai birokrasi. Apalagi faktanya kita sudah lamban dalam merespon pandemi ini.
Ketiga, Dalam beberapa hal lain yang turut andil dalam kehidupan politik ini adalah perlindungan citra pemerintah. Pemerintah seakan-akan melihat bahwa martabat di masa krisis harus dijaga, sayangnya ini berarti mengawasi masyarakat. Tak heran bila polisi diminta lebih intens dan proaktif dalam melindungi simbol negara, termasuk presiden.
Keempat, adanya kebijakan yang cenderung oligarki, yaitu Perppu No.1 / 2020. Beberapa kalangan mengkritisi kebijakan ini terutama karena memberikan peluang terjadinya maladministrasi yang tidak bisa diawasi bahkan dituntut oleh lembaga negara itu sendiri, apalagi oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk memanfaatkan keuangan negara hanya dengan itikad baik, yang secara riil berpotensi menyuburkan praktik kolusi. Kedua hal tersebut menjadi alasan yang cukup kuat untuk menolak kebijakan ini karena berpotensi untuk dimanfaatkan oleh oligarki.
Penulis: Yushril Ilham Roibafi (018), Mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang,Prodi/Jurusan: Ilmu Pemerintahan (A)
Link tautan:Â
https://instagram.com/ummcampus?igshid=1iqckwxve6jeh
https://twitter.com/ummcampus?s=21
https://instagram.com/prodiipumm?igshid=b8bvmsnk4pmc