Mohon tunggu...
Yushardani Rohmah
Yushardani Rohmah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

berusaha menjadi lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Konstitusi di Indonesia sudah memberikan perlindungan terhadap HAM?

2 Desember 2021   21:55 Diperbarui: 8 Desember 2021   17:34 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembahasan terkait hak asasi manusia merupakan sebuah permasalahan yang menjadi perhatian global. Dalam kata lain, hak asasi manusia bukan hanya menjadi syarat atau keperluan penduduk dan warga negara di wilayah tertentu saja, melainkan oleh setiap manusia di seluruh dunia. Meskipun begitu, peran negara dalam menentukan regulasi HAM ini juga masih diperlukan. Seperti misalnya Indonesia yang merupakan negara hukum sehingga memberikan bentuk supremasi hukum melalui berbagai peraturan yang berlaku. Dan yang paling penting, bentuk perlindungan hukum melalui konstitusi nasional yaitu “Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.”

UUD 1945 sebagai konstitusi nasional merupakan sumber hukum tertinggi yang menjadi patokan dan pedoman bagi peraturan hukum lainnya. UUD 1945 menuangkan mengenai penjaminan HAM pada pasal 28A hingga 28J dengan jelas dan mendeskripsikan mengenai HAM yang dimiliki oleh manusia tanpa adanya pembagian berdasarkan jenis kelamin, jabatan, dan status sosial. Dalam kata lain,  konstitusi ini secara struktural telah mengatur mengenai HAM yang juga mencakup pembagian hak warga negara sebagai seorang manusia tanpa adanya embel-embel tertentu untuk dipenuhi terlebih dahulu (Kharlie, 2013). Hal ini tentunya sesuai dengan konsep hak asasi manusia sendiri yang merupakan sebuah hak yang sudah melekat di diri manusia sejak ia lahir. Yang berarti, manusia tidak perlu menjadi bagian dari kelompok tertentu terlebih dahulu untuk dapat memiliki hak asasi ini.

Beberapa hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi antara lain adalah hak untuk hidup, hak pendidikan, hak memeluk keyakinan, hak ekonomi, hak sosial budaya, dan masih banyak lagi. Dimana selanjutnya tugas negara dalam menjamin diberlakukannya HAM tersebut dengan sebaik mungkin yang juga diiringi dengan penyediaan sarana dan prasarana penjaminan hak asasi manusia (Muni, 2020). Konstitusi saat ini sudah dengan baik melingkupi pemuatan hak asasi manusia namun hanya sebatas struktural. Maksudnya adalah secara konsep tidak ditemukan kesalahan ataupun kekurangan dalam pemuatannya. Meskipun tidak menutup kemungkinan akan selalu disempurnakan melalui peraturan lainnya.

Namun di sisi lain secara praktis, implementasi penjaminan hak asasi manusia yang diatur oleh konstitusional seringkali belum mengarah pada cara yang tepat. Dalam beberapa kasus, permasalahan hak asasi manusia yang ditegakkan dapat mengalami overlapping dengan peraturan lain atau keputusan lain. Salah satu contoh adalah praktik mengenai hak asasi manusia mengenai partisipasi warga negara dalam politik. konstitusi menjelaskan mengenai bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk berpartisipasi dalam politik seperti ikut serta dalam pemerintahan, hak memilih, hak mendirikan partai politik, dan lain sebagainya. Namun beberapa tahun lalu sempat ada peraturan mengenai pembatasan hak asasi manusia hak politik ini terkait pencalonan pemimpin daerah (Tanjung, 2015).

Peraturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada khususnya butir r, yang mengatur tentang tidak diperbolehkannya calon pemimpin kepala daerah memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan petahana (pemimpin yang sedang menjabat), kecuali terdapat jeda satu masa kepemimpinan. Namun sekarang setelah menuai berbagai macam tanggapan khususnya terkait demokrasi dan HAM, undang-undang tersebut telah dihapuskan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi setelah adanya uji materi. MK menganggap bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga Negara memiliki hak yang sama dalam pemerintahan. MK juga menganggap bahwa jika undang-undang tersebut tetap diterapkan, maka akan terjadi inkonstitutional didalam pemerintahan. Sehingga MK menganggap bahwa politik dinasti di pemerintahan sah-sah saja dan menjadi bagian dari hak asasi manusia dalam berpolitik di Indonesia.

Contoh penyimpangan dalam praktik penjaminan dan perlindungan hak asasi manusia lainnya merupakan peristiwa yang terjadi pada 2020 lalu dan berkaitan dengan hak pribadi yaitu pada kasus proyek Mandalika. Kasus proyek Mandalika merupakan kasus yang disebabkan karena penolakan warga setempat mengenai pembangunan proyek pariwisata Mandalika, Nusa Tenggara Barat yang dianggap melanggar hak asasi masyarakat setempat (CNNIndonesia, 2021). Pembangunan pariwisata Mandalika sendiri merupakan pembangunan untuk sirkuit balap motor Grand Prix 2022 yang akan dilaksanakan di Indonesia. Pelanggaran HAM ini diklaim masyarakat setempat karena adanya penggusuran lahan masyarakat yang telah mereka miliki dan kelola sejak 1973.

Dari sudut pandang hak asasi manusia, penggusuran lahan secara paksa melanggar hak asasi manusia yang bertentangan dengan hukum internasional maupun hukum nasional, termasuk peraturan perundang-undangan dan UUD 1945. Dalam "Resolution on Forced Evictions", Komisi Hak Asasi Manusia PBB menegaskan bahwa penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia (Januardy et al., 2015). Terlebih lagi, bentuk penggusuran paksa ini juga diiringi dengan tidak diberikannya ganti rugi yang sesuai sebagai upaya pemenuhan hak asasi manusia terkait tempat tinggal. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 28H menyebutkan tentang hak asasi warga Negara yaitu berupa hak untuk mendapat hidup sejahtera termasuk lingkungan. Selanjutnya konstitusi ini didukung oleh UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman, serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Penggusuran lahan secara paksa guna kepentingan Negara tanpa mempertimbangkan hak warga Negara dianggap merupakan langkah mundur dari kewajiban negara. Penggusuran lahan secara paksa tanpa ada kompensasi atau tanggung jawab yang mengikuti tidak hanya melanggar hak atas perumahan yang layak, tetapi juga dapat mengakibatkan pelanggaran hak-hak perlindungan lainnya yang dilindungi oleh hukum Indonesia dan internasional. Misalnya, penggusuran melanggar hak kebebasan bergerak dan kebebasan memilih tempat tinggal, hak atas keamanan seseorang, atau apabila penggusuran lahan yang dimaksud melibatkan gedung penting seperti sekolah, maka juga merupakan pelanggaran hak atas pendidikan.

Dari berbagai contoh penyimpangan perlindungan HAM tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konstitusi memang telah menjamin perlindungan HAM secara sistematis dan struktural dengan menjamin keterikatan hukum akan peraturan-peraturan yang ada (Tibaka & Rosdian, 2018). Sehingga dalam hal konsep tidak ditemukan masalah terkait pemuatan HAM didalam konstitusi. Namun dalam hal praktis, ditemukan masih banyak sekali kekurangan. Dalam hal praktis pula, terdapat berbagai inkonsistensi yang mengambil peran dalam pendapat mengenai HAM ini. Inkonsistensi undang-undang diwakili dengan banyak pasal dalam undang-undang overlapping satu sama lain atau bahkan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi. Sehingga beberapa hal dirasa perlu dikaji ulang untuk menimbulkan sebuah konsistensi perlindungan hukum dan HAM yang ada di pemerintahan baik pusat maupun daerah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun