Seperti dejavu, setiap hari terus berulang, rutinitas yang cenderung monoton, dalam kereta yang sama, masih dengan teman yang kemarin, obrolan yang kembali tersambung, karena terjeda perpisahan sementara sebab harus turun di setasiun yang berbeda.
Tersadar setelah sekian tahun, terlihat kita sedikit menarik, ada uban di kepala, kerutan di kening, dan kacamata yang kian menebal. Benar kita semakin menua, terbangun dengan pembangunan yang perlahan tapi pasti, ketika kita menoleh ke luar jendela kereta ini, sudah bukan lagi tanaman padi tapi batubata yang tersusun rapi membentuk bangunan-bangunan.
Kita adalah tersangka, sekaligus saksi hidup, saksi kunci untuk sebuah kejadian dan kasus, dari perkara-perkara di dunia, pengacaranya adalah amal baik, jaksa penuntutnya adalah amal buruk, hakimnya adalah Tuhan.
Angin senja menerobos di sela bordes kereta tua ini, diatas bangku-bangku berkarat, disitulah kita selalu bercengkrama tentang masa depan, bertahun mengunci sejarah dalam gerbong yang berpindah-pindah, semakin hari, semakin sesak, anak muda mulai kuliah, anak kuliah mulai mendapat pekerjaan, dan tetap terjebak, terhimpit di kabin-kabin yang sempit.
Kita semua berjuang untuk hidup, dan terasing dari cahaya mentari pagi, bahkan kicau burung adalah langka, tergantikan suara jenset di ujung belakang gerbong kereta.
Waktu terus berjalan, kita tetap bertahan, tujuan kita masih wacana yang dirahasiakan Tuhan, hanya saja plotnya terus berjalan. Kita akan menemukan takdir masing-masing dalam cerita yang berbeda, kereta ini hanya kendaraan, suatu saat kita akan menepi di setasiun tujuan.
Satu demi satu kita akan turun, menemui mentari, menikmati kicau burung, menghirup udara kebebasan, satu persatu kita akan mengucapan sampai jumpa lagi di masa depan.