Mohon tunggu...
Yusfida AwaliaRohma
Yusfida AwaliaRohma Mohon Tunggu... Lainnya - @yusfidaar

Masih tahap belajar!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masih Meragukan Perempuan Menjadi Seorang Pemimpin? (Pendekatan Kontekstual Abdullah Saeed)

21 Januari 2021   19:00 Diperbarui: 21 Januari 2021   19:06 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perempuan saat ini semakin eksis di area publik, dengan kemampuan yang sangat berkompeten. Mudah dijumpai perempuan-perempuan kuat yang mampu melakukan pekerjaan berat, menempuh pendidikan yang tinggi, menjabat, hingga mampu melakukan beban ganda dengan berkarier sambil mengurus rumah tangga, dan lain sebagainya. Namun, keberadaan perempuan ini seringkali dianggap remeh hingga sering mendapati tindakan stereotipe terhadap mereka, dengan menganggap bahwa mereka lemah, tidak berdaya, tidak dapat mengungguli laki-laki, dan lain sebagainya. Perlu diingat bahwa Allah swt menciptakan laki-laki dan perempuan dengan sebaik-baiknya dan tanpa sebab. Selain itu, Allah swt juga tidak membenarkan perbuatan merendahkan sesama manusia atau diskriminasi, karena semua manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki kekurangan serta kelebihannya masing-masing.

Posisi perempuan ialah sama dan setara dengan laki-laki. Peran perempuan Indonesia di dunia politik terbilang masih berkontribusi secara masif, karena suatu hambatan. Hambatan tersebut dikarenakan minimnya pendidikan wanita di bidang politik, kaderisasi partai politik, persoalan izin dari pasangan, modal finansial, keturunan tokoh politik, kepercayaan, serta budaya patriarki yang masih kental (Saputra, Herdin Arie, Diyah Mutiarin, dan Achmad Nurmandi, 2020). Artikel tersebut menunjukkan bahwa perempuan masih terbilang kurang dalam partisipasi yang setara dengan laki-laki di ranah politik. Akan tetapi, sudah ada banyak tokoh perempuan yang pernah dan masih eksis di ranah politik dan menjadi pemimpin, seperti Megawati Soekarnoputri, Khofifah Indar Parawansa, Susi Pujiastuti, Tri Rismaharini, dan masih banyak lagi.

Ada kalangan yang memandang kehadiran wanita menjadi pemimpin, akan menimbulkan masalah dan masih terjadi stereotipe bahwa wanita akan mengungguli laki-laki. Namun, bukan berarti kesetaraan yang dimaksud ialah melebihi derajat laki-laki hingga menimbulkan dampak buruk bagi mereka (Alimatul Qibtiyah Ph.D, 2016). Ia menyatakan bahwa perempuan tidak ada salahnya memposisikan dirinya menjadi pemimpin, karena mereka juga memiliki kapasitas dan kompetensi yang sama seperti halnya laki-laki. Akan tetapi, konstruk sosial yang menjadi penghambat mereka untuk membuktikan kemampuan mereka.

 

Ayat Al-Qur'an yang sering menjadi landasan terkait dengan kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan, dalam QS An-Nisa ayat 34 yang berbunyi:

Artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka"

Secara historis, menurut para tekstualis sebab turunnya ayat di atas bahwa ada seorang laki-laki dari kaum Ansar yaitu Sa'ad bin Al-Rabi' telah menampar istrinya Habibah. Kemudian istrinya datang kepada Rasulullah dan mengizinkan wanita tersebut memukulnya sebagai hukuman baginya. Rasulpun memanggil suami tersebut untuk membacakan ayat kepadanya, ia bersabda: "Aku menghendaki sesuatu, namun Allah menghendaki yang lain". Timbul perdebatan dari para ulama, menurut Ibnu Katsir bahwa ayat tersebut mengandung makna bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan yang bertugas untuk mengurus, memimpin, menguasai, dan mendidik perempuan. Selain itu, laki-laki lebih afdal menjadi pemimpin daripada perempuan (Sofia Rosdanila Andri, 2014).

Akan tetapi, pandangan dari ulama tradisional tidak sesuai dengan fenomena sosial saat ini yang sudah banyak dijumpai para perempuan mulai menunjukkan bahwa mereka mampu dalam segala hal yang biasa dilakukan oleh laki-laki, yaitu menjadi pemimpin. Seperti yang saja sebutkan sebelumnya, di Indonesia sudah terlihat banyak perempuan-perempuan tangguh bisa menjadi seorang pemimpin serta memiliki kecerdasan yang luar biasa. Hal tersebut juga didukung dengan ketersediaan dan peluang yang besar bagi perempuan dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Perempuan ialah makhluk ciptaan Allah yang istimewa, karena dalam Al-Qur'an banyak menyebutkan persoalan perempuan. Namun, masih dijumpai penafsirannya terhadap perempuan yang dianggap sebagai makhluk kedua, sistem hierarki antara laki-laki dan perempuan, serta stereotipe (H. Hanafi, 2016). Fatima Mernissi juga mencoba merepresentasikan kasus pada pembacaan ulang dan dalam pengembangan pendekatan secara kritis terhadap tradisi Islam. ia juga meneliti teks Al-Qur'an dari sudut pandang hadits yang masih bias terhadap perempuan. Selain itu, Amina Wadud juga tertarik terhadap pendekatan yang digunakan oleh Fazlur Rahman mengenai penafsiran ulang AL-Qur'an, agar menghasilkan sebuah tafsiran yang lebih seimbang dan dinamis bagi perempuan (Abdullah Saeed, 2006). Oleh karena itu, perlunya penafsiran ulang pada teks Al-Qur'an mengenai perempuan, agar menghasilkan tafsiran yang lebih berimbang dan sesuai dengan konteks masa kini.

Pada penafsiran ulama kontemporer yang menganut tafsiran secara kontekstual, seperti Jawad Mughniyyah bahwa pada QS An-Nisa ayat 34 memiliki makna bahwa perbedaan antara perempuan dengan laki-laki ialah menunjukkan bahwa pada kedudukan laki-laki yang sebagai suami sekaligus pemimpin bagi keluarganya dan perempuan yang sebagai istri bukan menjadi penguasa. Maksud dari dari ayat tersebut bukan berarti bahwa kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, namun kedudukan mereka sebagai makhluk ciptaan Allah tetaplah sama. Kiai Husei Muhammad yang merupakan kiai feminis Indonesia yang berjuang keras dalam membela perempuan, dan ia menggunakan pendekatan sosiologis dan kontekstual dalam memahami wacana fiqh (Sofia Rosdanila Andri, 2014). Dari penafsiran ulama kontemporer, dapat diambil kesimpulan bahwa maksud dari Surah An-Nisa ayat 34 ialah kedudukan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga bagi istrinya. Bukan berarti bahwa kedudukan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki dan tidak afdal untuk menjabat sebagai seorang pemimpin di bidang politik.

 Banyak dari berbagai kalangan yang mengakui atas kemampuan kepemimpinan seorang perempuan, seperti Khofifah Indar Parawansa yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Ia sempat dianugerahi sebagai Pemimpin Tanggap-Trengginas oleh salah satu harian lokal di Jawa Timur (Merdeka, 2020). Hal tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinannya yang sebagai perempuan, bukanlah sebuah kegagalan dan ketidakmampuan, namun menjadi sebuah bukti bahwa ia mampu menjadi seorang pemimpin hingga penghargaanpun ia dapatkan atas hasil kerja kerasnya. Bukti tersebut juga selaras dengan pandangan yang diupayakan oleh Kiai Husei Muhammad bahwa perempuan tidak ada batasan untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan hal tersebut, apakah anda masih meragukan perempuan menjadi seorang pemimpin? Masih banyak bukti lain selain dari representasi Khofifah Indar Parawansa yang dapat menunjukkan kemampuannya menjadi seorang pemimpin. Kita juga dapat belajar untuk bisa saling menghargai satu sama lain, tanpa bersikap merendahkan sesama terutama kepada perempuan yang seringkali dianggap remeh dan tidak mampu. Semoga dengan melihat tokoh-tokoh perempuan yang luar biasa ini, kita dapat belajar bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama dan masing-masing memiliki kemampuan yang luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun