Mohon tunggu...
Yusanta Avi
Yusanta Avi Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis....\r\nSaya suka memotret...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Darahku Terhempas Karena Dia

30 Juni 2010   18:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:10 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku kembali terhempas. Terhempas karena dia, dengan orang yang sama. Mungkin kalian akan berkata bahwa aku sangat bodoh. Mereke bilang aku adalah sempurna. Mereka bilang aku tak pernah padam oleh apapun. Namun kali ini aku terpaksa menyerah pada dia. Aku rela menyerahkan segala yang tersisa untuknya. Aku sendiri tidak pernah tahu mengapa dia bagaikan sesuatu yang lebih berharga daripada diriku sendiri. Pernah suatu kali temanku mengelus dada saat dia tahu aku terlalu mencintai dia. Katanya aku begitu dungu. Aku ingin tak peduli. Aku ingin berlalu tanpa memalingkan wajahku ke arahnya saat dia mengatakan hal itu. Tapi aku tak pernah bisa karena aku lebih lama berteman dengannya. Aku terpaksa menyembunyikan semua kisah ini darinya. Dia, lelaki yang selalu ada di otakku, tahu tentang hal ini namun dia juga sama sepertiku, berfikir untuk lebih baik menyimpan rapat-rapat semuanya di dalam otak kami. Dia bilang, jangan sampai aroma ini tercium oleh batang hidung temanku. Aku mengikuti saja semua yang dia katakana padaku walaupun sebenarnya aku ingin tak peduli lagi pada apapun dan siapapun karena aku ingin mereka tahu sekarang aku sudah punya priaku. Ingin aku menunjukkan pada duniaku bahwa dialah pria yang aku pilih. Dialah yang paling sempurna untukku. Ya, untukku, bukan untuk orang lain. Maka tak seorangpun berhakmemiringkan mulutnya atau memicingkan matanya untuk priaku. Aku benci bila mereka melakukannya. Aku begitu ingin menghabiskan umurku yang tersisa bersama dia, yang menurutku sempurna. Namun lagi-lagi aku tak pernah tahu apa yang ada dalam otak priaku. Mungkin benar apa yang dikatakan beberapa peramal beberapa waktu lalu tentang aku. Aku terlalu naïf. Dulu aku menolaknya habis-habisan saat mereka mengatakan hal itu.

Aku banyak berbicara tentang dia di dalam otakku. Aku banyak bercerita tentang dia dalam setiap kisah yang aku tulis dalam kertas putihku. Aku banyak berkisah tentang di dalam setiap cerita yang aku buat. Namun aku tak pernah tahu kisah yang akan dia tulis untukku. Aku tak begitu mengerti itu.

Berkali-kali aku terhempas karena dia dan berkali-kali aku dapat kembali berdiri karena dia juga. Entah, setiap kali aku terjatuh, begitu perih rasanya. Namun beberapa saat kemudian dia datang dan membuatku menjadi berdiri kembali. Sakit yang kemarin datang sudah tak terasa lagi. Selalu begitu sampai berkali-kali. Dan akupun tak pernah tahu apa yang membuatku bertahan, selain dia. Ya, dia bagaikan doping yang selalu menyuntikkan tenaga buatan untuk setiap aliran hidupku.

Namun kali ini aku terhempas begitu jauh. Aku sendiri tak mampu mengukur berapa jauhnya. Aku menunggu dia yang membuatku kembali terbangun seperti biasa. Satu putaran waktu, dia tak ada. Dua putaran waktu, dia tak datang. Hingga aku tahu waktu sudah enggan berputar untukku lagi. Dia tidak pernah datang lagi seperti dulu. Tak ada lagi uluran tangannya yang mampu kembali membuatku berdiri dengan kokoh. Aku hanya ingat, beberapa putaran waktu yang lalu dia mengatakan padaku bahwa dia ingin mendapat tangan lain yang dapat mengiringi setiap jengkallangkah kakinya. Ya, bukan tanganku lagi rupanya. Mungkin tangan ini terlalu biasa untukknya, tidak begitu istimewa, sehingga dia tak ingin memegang pergelangan ini lagi. Kali ini aku tak kuasa berdiri. Kadang aku melihat dia melintas di tempat aku tersungkur. Sesekali dia melihatku dengan iba, namun dia tetap melanjutkan langkahnya dengan tangan lain yang menari-nari disampingnya. Menari dengan lincah untuknya, namun tarian itu bagaikan setumpuk belati yang siap terlempar di depanku kapan saja dan bersiap membuatku darahku mengalir. Ya, mengalir pelan namun tak ada yang mampu menghentikan alirannya yang mengucur perlahan hingga darah ini tak bersisa lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun