Mohon tunggu...
Yustrini
Yustrini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis juga di www.catatanyustrini.com

Harapan yang tertunda menyedihkan hati, tetapi keinginan yang terpenuhi adalah pohon kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rainy

4 Januari 2020   10:08 Diperbarui: 4 Januari 2020   10:09 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Pixabay.com

Dia berparas lembut, bermata indah dengan rambut sebahu yang lurus. Namanya Rainy Anastasia. Senyum ceria senantiasa menghiasi bibirnya yang mungil namun senyum itu segera menghilang kala langit berubah menjadi gelap dan air turun membasahi bumi. 

"Aku tidak suka hujan," keluhnya untuk kesekian kali matanya terus memandang keluar rumah dengan gelisah. 

"Tapi namamu Rainy, semestinya kau menyukai hujan seperti ibu. Hujan membuat udara menjadi segar, daun-daun tumbuh dengan cepat. Saatnya kamu menabur benih, mereka akan cepat sekali bertunas dan menjadi besar. Itu kata ibu dulu," kataku. 

"Aku tidak suka dipanggil Rainy," sahutnya kesal. 

"Coba panggil aku dengan nama Ana, Tasia atau Reni saja," pintanya. 

"Tidak! Aku tetap panggil Rainy, Rainy, dan Rainy..." godaku. 

"Huuh! Kakak jelek!" Rainy menyambar bantal yang ada di dekatnya melemparkan ke arahku tapi tentu saja tidak kena karena aku sudah lari mengelak. 

Sejak ibu tiada, aku dan ayah sangat menyayanginya. Sebagai satu-satunya perempuan di rumah ini, Rainy pintar memasak seperti ibu. Tapi ia tidak suka dengan hujan seperti ibu. Menurutnya hujan selalu merenggut kebebasannya, ia tidak lagi bisa menikmati udara segar di luar rumah.

Dulu ketika ia masih kecil, ia akan menangis keras sambil melihat keluar saat hujan deras terus-menerus. Jika sudah seperti itu ia tidak akan bisa duduk di atas ayunan kayu yang dibuat oleh ayah mencoret-coret kertas dengan pensil warna. Entah apa saja yang dibuatnya aku selalu mengira dia menggambar semak yang terbakar. 

Aku menoleh ke arahnya, ia masih menatap keluar jendela bedanya kini ada selembar kertas dan pena di tangan. Ia sibuk mencoret-coret. "Kak, kira-kira kapan ayah akan pulang?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku. 

"Mungkin seminggu lagi," sahutku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun