Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika "Ban Kempes" Tak Lagi Menjadi Soal

28 Juni 2018   14:41 Diperbarui: 28 Juni 2018   14:54 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anda sekalian masih ingat tentang istilah "Memompa Ban Kempes" yang dicetuskan oleh alm. Nurholish Madjid dan dipopulerkan oleh Mahbub Djuanaedi dalam judul sebuah kolom "Sekitar Soal Kempes"? (Api Islam Nurcholish Madjid, Ahmad Gaus AF, 2010)

Sebuah istilah yang ditujukan Nurcholish pada keseimbangan politik sebagai prasyarat demokrasi yang sehat (hal. 141). Hal itu ia lakukan pada pemilu tahun 1977, ketika kebanyakan orang memilih Golkar tapi dirinya malah berseru untuk mendukung partai lain, yakni PPP, sebagai bentuk keseimbangan karena kekuatan politik Golkar sudah kuat dan perlunya penyeimbang agar demokrasi tak berat sebelah.

Hal ini tentunya agar segala keputusan atau kebijakan pemerintah dapat diambil setelah mengalami penyaringan, antara pro dan kontra, saran dan kritik. 

Demokrasi yang mengalami berat sebelah kemungkinan (atau dapat dipastikan) akan menjadi otokrasi, yakni kekuasan tunggal. Segala ambisi yang diinginkan oleh penguasa harus segera dilaksanakan dan tak menginginkan yang namanya kritikan karena hal itu berarti menghambat kemajuan, bagi dirinya.

Sebagai contoh, Perancis pada abad ke-17 bentuk pemerintahan ialah otokrasi dan sistem pemerintahannya ialah monarkhi absolute. Saat dipegang oleh raja Louis XVI, perancis hampir mengalami kebangkrutan. Dan semua kesalahan sistem kerajaan itu ditimpakan kepada rakyat dalam bentuk pajak yang tinggi sehingga membuatnya geram. Pada akhirnya kita tahu ada gerakan revolusi Perancis di penghujung abad itu, tepatnya 1789.

Dan di Indonesia, selepas pemilu 1977, dimana Nurcholish tak lagi menjadi simpatisan PPP, suasana pemilu telah terasa berbau orde baru sampai penghujung tahun 1998. DKI Jakarta yang pada tahun itu dikuasai oleh PPP runtuh sepenuhnya dan dipegang oleh Golkar pada pemilu tahun 1982. Ban kembali kempes.

Dan permasalahan sekarang bukanlah situasi soal memompa ban kempes dalam urusan partai politik, melainkan hilangnya integrasi dalam pemenuhan kritik. Apalagi urusannya lebih dari itu, menggoyang pemerintahan dengan kritik yang didalamnya terdapat unsur penggantian ideologi. Konstitusi Pancasila berharap diganti oleh konstitusi khilafah oleh beberapa golongan masyarakat.

Hal ini dikarenakan, permasalahan sosial, politik, terutama ekonomi menjadi penyebab tumbuh suburnya gerakan khilafah itu. Sekalipun, banyak tokoh nasional yang menentangnya, tetapi hal itu membuat risih dan rusuh di kalangan masyarakat bawah. Walaupun, pengaruh dari Hizbuh Tahrir Indonesia (HTI), sebuah organisasi islam telah dibekukan oleh pemerintah melalui perppu ormas, no. 2 tahun 2017.

Kempes disini tak lagi menjadi soal, karena begitu ban kembali dipompa, ban itu akan langsung dipasangkan ke sebuah mobil bermesin baru. Itulah masalahnya. 

Kritik yang diharapkan untuk membangun, dijadikan sebagai sebuah akomodasi mengganti konstitusi. Padahal kritik bukanlah bertujuan seperti itu. Dengan analogi sebuah mobil merupakan konstitusi, maka partai adalah ban. Dengan kembali memasangkan ban tidak pada mobil lama melainkan pada yang baru, maka rakyat belum tentu akan merasakan kenyamanan mengendarai sebuah mobil baru.

Belajar dan mengingat pada waktu itu, Nurcholish Madjid tak akan mengajak para pendukungnya untuk mengganti konstitusi karena kuatnya Orde Baru. Melainkan, memberikan sebuah pandangan baru, melihat ke samping sebuah kesempatan baru untuk dapat sejajar dengan pemerintah walau statusnya merupakan oposisi. Sekalipun tak memiliki kuasa untuk menentukan kebijakan, tapi turut aktif memberikan penilaian bagaimana kondisi sosial yang nantinya juga turut mewarnai kebijakan pemerintah ke depan. Itulah yang terpenting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun