Mohon tunggu...
Titik Yulianti
Titik Yulianti Mohon Tunggu... -

Asli ngapak

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KKN di Desa "Celana Dalam"

13 November 2012   06:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:30 22385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanyakan mereka akan bertanya-tanya seperti ini, "Pemalang itu masih suku Jawa kan? Masa ada desa dikasih nama cawet.  Apa di sana cawet artinya beda sama di sini?"  Bukan hanya teman-teman, bahkan para dosen pun ikut penasaran.  Akhirnya mereka ngasih sebuah misi selama KKN.  Tolong selidiki asal-usul nama desa ajaib itu!

Hari KKN tiba, dalam perjalanan saya dan teman-teman terus menebak seperti apa desa yang akan kami tempati nanti.  Beberapa memang sudah survey lokasi, tapi kami yang tidak ikut hanya bisa membayangkan saja.  Sepanjang perjalanan kami terpesona dengan indahnya alam di Pemalang.  Apalagi desa yang akan kami tuju ternyata nun jauh di pelosok pegunungan.  Saya sampai tidak berkedip ketika bisa melihat air terjun dari jalan yang kami lewati.

Untuk menuju Desa Cawet, kita harus melewati jalan naik turun dan berkelok. Desa ini dipagari oleh pegunungan.  Udaranya cukup sejuk, tapi tidak dingin seperti di pegunungan pada umumnya.  Padahal saya sudah membawa perlengkapan untuk menghangatkan diri.  Dosen pembimbing bilang kecamatan yang akan kami tuju akan sangat dingin.  Memang di perjalanan terasa dingin, terutama di Kecamatan Belik.  Tapi makin naik ke pegunungan, udaranya justru semakin hangat. Katanya itu karena desa kami dikelilingi gunung.

Baiklah, sekarang saatnya menjawab misteri penamaan Desa Cawet.  Di hari pertama kedatangan kami, saya langsung mengajukan pertanyaan itu pada Pak Kades. Kebetulan kami tinggal di rumah Kepala Desa.  Satu desa hanya ada satu posko, dan berisi lima orang.  Kelompok saya terdiri dari tiga perempuan dan dua laki-laki.  Sebenarnya ada seorang gadis lagi di posko, putrinya Pak Kades.  Makannya kedua pria di kelompok saya jadi betah tinggal bareng kembang desa.  Udah cantik, alim pula.

Menurut orang-orang di sana, nama cawet di ambil dari nama nenek moyang mereka.  Namanya Cawing Tali.  Untuk mempermudah akhirnya disingkat menjadi Cawet.  Kalau menurut saya sebenarnya singkatan itu masih kurang pas. Cawing Tali seharusnya disingkat Catali, Wingli, atau Cawit, bukannya Cawet.  Tapi yah, anggap saja penduduk desa itu memang punya selera humor yang bagus.  Mengenai Eyang Cawing Tali sang leluhur, beliau dimakamkan di desa itu.  Makamnya pun masih diziarahi sampai sekarang.

Para penghuni Cawet sama sekali tidak bangga dengan nama nyentrik desanya.  Salah satu pejabat desa pernah berkata, "Orang sini kalau lagi di perantauan sering malu kalau menyebut nama desa sendiri.  Misal mereka ketemu sama orang yang sama-sama dari Watukumpul.  Nanti kalau ditanya dari desa mana, mending menyebut nama desa tetangga.  Mereka malu."

Mungkin anda bertanya-tanya, kalau malu dengan nama desa sendiri, kenapa tidak diganti saja nama desanya? Saya dan teman-teman juga seringkali bertanya-tanya seperti itu.  Mungkin mereka enggan mengganti nama yang telah begitu melekat sekian lama.  Atau mungkin juga nama itu bawa hoki. Hehewww...

Banyak hal yang membuat ingatan saya tidak mudah luntur mengenai KKN yang bersejarah.  Jalanan di Desa Cawet naik turun.  Melewatinya akan serasa naik roller coaster.   Jadi jarang sekali ada orang bersepeda, dan tidak satupun orang naik becak.  Bisa-bisa betis tukang becaknya mbeleduk waktu menggenjot. Transportasi umum di desa itu adalah mobil pick up. Sudah pemandangan biasa jika melihat anak-anak sekolah berhimpitan di mobil pick up waktu berangkat sekolah.  Terus uniknya lagi, tukang bakso di desa itu cuma beroperasi dua kali seminggu.  Yah, dua kali seminggu juga si Abang Bakso pasti pegel-pegel tuh, dorong gerobak naik turun.

Pemandangan di desa itu cukup mengagumkan.  Kami berlima berasa lagi liburan.  Bangun tidur saya senang duduk di teras rumah sambil menikmati pemandangan.  Dari teras rumah tampak pegunungan hijau.  Kabut menutupi badan gunung dan menyisakan puncaknya.  Tampak seperti pulau yang mengapung di atas awan. Ditambah secangkir teh di tangan, lengkap sudah surga kecil saya.

Pada masa awal KKN, hampir tiap hari mati listrik. Jadi tiap malam kami semua berkumpul di ruang tamu dengan diterangi lilin. Selain itu di sana hanya sinyal dari satu operator telepon selular yang berfungsi. Saya yang beda operator terpaksa harus berganti.  Itupun kami tidak benar-benar leluasa memakainya.  Jika ingin bertelepon, kami akan pergi ke halaman.

Untuk melaksanakan program, hampir setiap hari kami harus datang ke balai desa.  Perjalanan posko - balai desa selalu terasa seru.  Kami harus bersepeda motor karena jarak yang jauh.  Dari posko, kami akan melewati rumah-rumah penduduk.  Rasanya seperti seleb dadakan.  Dengan mengenakan jas almamater, helm dibuka, terus cengar-cengir pada orang-orang yang kami lewati.  Kadang juga melambaikan tangan bak miss universe.  Anak-anak kecil yang kami lewati biasanya akan menyoraki kami dan memanggil-manggil, "Kakak KKN!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun