Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Kebelet" Menjadi Pemimpin, Jangan Mengambil Kekuasaan Secara Pribadi

10 Agustus 2021   07:39 Diperbarui: 14 Agustus 2021   19:23 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang CEO komunikasi via HP|Sumber:brinknews.com

Ini sangat berbahaya dan merusak, tidak saja untuk sekarang tetapi untuk jangka panjang karena efek kerusakan dari penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang leader berdampak multi dimensiaonal dan deret ukur. Yaitu, ketika orang lain, pesain-pesaing terus maju dan berkembang meninggalkan lawan-lawannya.

Memimpin, Bukan Urusan Pribadi

Kesalahan fatal para pemimpin maupun calon pemimpin adalah ketika mereka tidak paham bahawa memimpin itu bukan urusan pribadi tetapi beurusan dengan orang lain. Kepemimpinan hanya bisa dimengerti dalam relationship antara seorang leader dan banyak follower, antara organisasi dengan lingkungan masyarakat yang langsung atau tidak langsung.

Dan karenanya, sangat banyak pemimpin yang gagal dan tidak berhasil bahkan hancur karena merasa kepemimpinan itu urusan pribadinya sendiri. Sebaliknya, pemimpin yang berhasil, sukses dan diidolakan oleh publik bahkan ditahan menjadi pemimpin selamanya karena mengutamakan kepentingan pengikut ketimbang urusan pribadinya.

Hal ini tidak sulit dimengerti, karena ketika seseorang menjadi pemimpin, maka dia memiliki power, kekuasaan dan kekuatan serta semua sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya. Dan sesungguhnya sumber utama kekuasaan seorang pemimpin itu berasal dari pengikutnya, dari followernya dan dari stake holder organisasi yang dipimpinnya.

Artinya, ketika pengikutnya tidak percaya lagi kepada pemimpinnya maka sumber kekuasaan itu hilang, dan secara riil pemimpin tidak memiliki peran dan fungsi membuat perubahan. Dan karenanya lebih baik dia berhenti, turun dan mengundurkan diri saja dari takhta posisi leadernya.

Pemimpin Harus Etis

Pemimpin dan kekuasaan serta pengaruh merupakan sisi-sisi yang tidak terpisahkan dan menyatu sedemikian ketatnya sehingga sering kali susah memilah dan memisahkannya. Hanya para pemimpin hebat, bijaksana lah yang mampu tampil dengan tegas dan jelas memisahkan sisi-sisi itu dengan elegan. Dan publik menyadarinya, kendati tidak mudah mengungkapkannya.

Ketika pemimpin bermain-main dengan kekuasaan yang dimiliknya, akan nampak dua hal ektrim disana, yaitu :

  1. Personalized Leaders, yang mempertontonkan keegoisan serta kelakuan impulsif  seorang pemimpin yang menggunakan kekuasaaan untuk kepentingan diri sendiri.
  2. Socialized Leaders yang menjalankan semua fungsi dan peran kepemimpinannya untuk memberdayakan, mendukung dan menopang serta mengeksekusi semua power dan pengaruh yang dimilikinya hanya untuk kepentingan pengikutnya dan  organisasi secara menyeluruh.

Artinya pemimpin itu tidak bisa lepas dari etika, etis atau tidak etis dalam menjalankan kekuasaannya. Celaka-nya pula, bahwa justru aspek etika ini yang paling cepat dilihat, dirasakan oleh para pengikut dan orang lain. Dan dipastikan bahwa  respon pertama publik langsung menohok pada etis atau tidak etis si pemimpin ini.

Jangan kaget, kalau wilayah media sosial itu menjadi arena "penghakiman" publik kepada seorang pemimpin. Persoalan, benar atau salah, riil atau fitnah, itu menjadi urusan lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun