Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menuju Generasi Milenial Hebat Bermoral

9 Februari 2019   14:07 Diperbarui: 9 Februari 2019   14:23 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I. Etika dan Moral

Pada umumnya kita masih rancu apa yang dimaksud dengan moral dan apa hubungannya dengan etika.

Pernyataan berikut mungkin lebih mengacaukan arti kedua kata tersebut: "Sebagai refleksi atas moralitas perilaku manusia, etika memliki tradisi yang panjang."

Di bulan Februari, 2019 diviralkan puisi "Doa yang ditukar" meramaikan Tahun Politik; yang dikomentari oleh berbagai pihak dengan ucapan melalui TV dan tulisan di media sosial bahwa isi puisi itu tidak bermoral, tidak beretika.

Risiko moralitas beretika menjadi tantangan yang harus kita hadapi. Mari kita berusaha memaknai sesungguhnya apa yang dimaksud etika dan apapula moral itu.

Di era industri 4.0 menuju 5.0, minat atas etika tidaklah boleh berkurang, karena justru timbul masalah-masalah baru akibat era digital. Kita berkewajiban menumbuhkan moraralitas dalam pesatnya perubahan perkembangan industri dan pola hidup individual.

Moralitas dimulai dari sikap beretika. Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno: ethos, dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal biasa, padang rumput, kandang habitat, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir.

Dalam bentuk jamak artinya: adat kebiasaan. Istilah dan pengertian etika ini sudah digunakan oleh filsuf besar Yunani Aristoteles (384 - 322 s.M) sudah dipakai untuk menunjuk filsafat moral.

Kata etika kemudian menjadi ilmu tentang apa yang boleh dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan Dengan memakai istilah moderen dapat dikatakan juga bahwa etika membahas "konvensi-konvensi sosial" yang ditemukan dalam masyarakat; K.Bertens (2011; cover belakang dan halaman  4), buku terbitan Gramedia Pustaka Utama: Etika.

Dalam buku Etika, K. Bertens (2011; 229 - 231) lebih lanjut meguraikan manusia yang baik memiliki keutamaan sebagai watak moral:

  1. Keutamaan mempunyai hubungan eksklusif dengan moral
  2. Keutamanan berkaitan dengan kehendak
  3. Keutamaan diperoleh melalui jalan membiasakan diri
  4. Keutamaan beda dengan keterampilan

Dalam bahasa Inggris keutamanan adalah virtue (Latin: virtus), sedang lawan kata dalam bahasa Inggris: vice, yang dalam bahasa Indonesia artinya keburukan.

Etika sering disebut filsafat moral; berbicara tentang tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya.

Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dalam tindakan manusia sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak. Etika lebih dimengerti sebgai ilmu tentang baik-buruk.

Dalam pelaksanaannya juga dikenal kode etik, yaitu ketentuan boleh dan tidaknya melakukan sesuatu agar baik (dan bila melanggar ketentuan tidak seharusnya disebut melanggar kode etik).

II. Hasil Riset : Milenial dan Moral
Hingga kini di Indonesia belum diketahui adanya penelitian seberapa banyak generasi milenial (Mileneal adalah generasi yang lahir tahun 1985 -- 2003) mengikuti agama atau tidak; namun dari pergaulan dan mengikuti budaya masyarakat tampaknya bahwa generasi muda Indonesia  mengikuti agama karena terbentuk dari rumah/keluarga dan pendidikan sekolah dimana di segala macam sekolah diwajibkan semuanya mengajarkan mata pelajaran agama.

Di Amerika Serikat hasil penelitian dari Pew Research Center tahun 2005 menunjukan bahwa dari sejak tahun 1940 orang Amerika semakin tidak beragama.

Generasi milenial yang diteliti dari sebanyak 1.385 orang umur 18 25 tahun; menjawab 50% berdoa sebelum makan. Sepertiga dari responden berdiskusi mengenai agama dengan teman-teman, menghadiri tempat ibadah, dan membaca publikasi relegius. Dua puluh tiga persen dari para responden  tidak mau disebut bahwa mereka mempraktekan agama.

Di United Kingdom (Britania Raya) lebih dari separuh responden ketika diadakan penelitian di tahun 2013, menyatakan bahwa mereka tidak memeluk agama dan tidak pernah pergi ke tempat ibadah, kecuali jika diundang dalam upacara pernikahan atau menghadiri doa penguburan.

25%, Duapuluhlima persen mempercayai adanya Tuhan, tapi 19% percaya pada kekuatan spiritual lain. Polling menghasilkan 41% menyebutkan bahwa agama menjadi penyebab kejahatan daripada membina kebaikan.

Sedang The British Social Attitudes Survey menemukan bahwa 71% pemuda di Inggris berumur 18-24 tahun tidak merasa beragama, sedang hanya 3% yang mengikuti gereja Church of England, yang dimasa silam merupakan gereja yang paling banyak pengikutnya.

Demikian jika kita buka Google Search tentang generasi mileneal.  Dari Internet atau Google Search banyak sekali hasil penelitian yang dilakukan di Amereika Serikat dan Inggris dipublikasikannya.

Jika ingin mengetahuinya mudah membuka internet atau aplikasi lain. Sedang artikel ini ingin mengajak generasi mileneal dan pendidik di Indonesia lebih memahami tentang bagaimana bermoral dan beretika serta acuan agar generasi milenial Indonesia bertindak positif menjadi lebih pandai, canggih dan tangguh menghadapi tantangan era industri 4.0 menuju 5.0.

III. Generasi Milenial Bermoral
Pertumbuhan usia pemuda/di milenial bersamaan dengan perkembangan entertainment melalui internet, gawai dan sekarang sangat maju melalui berbagai aplikasi digital.

Dari pengamatan banyak ahli di negara maju menyebutkan generasi milenial diperkirakan bahwa diantara mereka terjadi banyak perbedaan faham tentang makna etika dan faham rasial.

Karena generasi milenial mau lebih berpikir dengan menunjukkan bahwa kaum mileneal lebih banyak yang bersekolah daripada golongan muda zaman sebelum mereka. Yang menonjol adalah sikap keterbukaan generasi mileneal dibandingkan dengan generasi tua. Mereka disebut generasi liberal progresif.

Howard Gardner pencetus Teori Multiple Intelligence dalam bukunya Five Minds for The Future, Harvard Business School Press (2007), merenungkan bahwa pikiran etis (ethical mind) adalah sifat dari pekerjaan seseorang dan kebutuhan serta keinginan masyarakat di mana seseorang tinggal. 

Pikiran ini mengkonsepkan bagaimana pekerja bisa mengerjakan tujuan yang berada di luar kepentingan pribadinya dan bagaimana warga bisa bekerja tanpa mementingkan diri guna meningkatkan kesejahteraan bersama. Pikiran etis kemudian bertindak berdasarkan analisis-analisis itu.

Di abad ke-21 pikiran etis berlanjut ke kecerdasan teknologi dan kecerdasan digital, kemudian pemikiran kearah Neuro Linguistic Psychology (NLP), pikiran tentang pasar dan tentang berdemokrasi, pikiran strategis hingga yang tidak bisa ditinggalkan adalah pikiran rohani. 

Sedang pendapat Gardner tentang kecerdasan majemuk (multiple intellenge) terungkap bahwa semua manusia memiliki sejumlah kemampuan kognitif yang relatif independen yang masing-masing dibedakannya sebagai kecerdasan tersendiri.

Karena beragam alasan, orang berbeda satu sama lain dalam hal profil kecerdasan dan fakta ini sangat mempengaruhi sekolah dan tempat kerja.

Dalam bukunya Five Minds for the Future (2007), Howard Gardner membahas lima tingkatan pemikiran, yaitu: Pikiran Terdisiplin, Pikiran Menyintesis, Pikiran Mencipta, Pikiran Merespect dan Pikiran Etis. Kali ini hanya satu tingkatan yang paling atas, yaitu disiplin secara singkat dikurip disisni:

Baik manajemen maupun kepemimpinan adalah suatu disiplin - meskipun keduanya lebih baik dipandang sebagai keterampilan. Demikian pula semua profesional -- entah pengacara, arsitek, ahli mesin - harus mengetahui jenis-jenis pengetahuan dan prosedur-prosedur kunci yang membuat mereka layak menjadi bagian dari profesi mereka.

Dan semua -- cendikiawan, pemimpin perusahaan, serta profesional apapun - harus tetap mengasah ketrampilan masing-masing. Disinilah peningkatan disiplin ilmu untuk masa depan harus terus ditingkatkan.

Sayang tidak dituliskan oleh penulis-penulis ahli diatas adalah acuan agar manusia selain beretika, bermoral, berdisiplin, juga seharusnya bijaksana.

Berikut kutipan berita dari Harian Kompas, 7 Februari, 2019 (halaman 2) tentang  pentingnya berpikir dan bertindak bijaksana:

...dalam pidato pengukuhan Cornelis Lay sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada,  menyatakan antara lain: "Kaum intelektual di Indonesia diminta tidak alergi dengan dunia politik dan kekuasaan. Demi kepentingan kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan atau berkolaborasi dengan kekuasaan. Namun, hubungan dengan kekuasaan itu tidak boleh membuat seorang intelektual kehilangan karakter dasarnya, yakni berpikir bebas dan bertindak bijak!"

Definisi bertindak bijak: sikap positif dimana seseorang berlaku adil dan melakukan sesuatu dengan tujuan jelas. Silahkan menambahkan pengertian mengenai berpikir dan bertindak bijaksana.

Dengan pemikiran singkat ini diharapkan mereka yang lebih senior dari generasi milenial dapat memberi arahan. Demikian pula mungkin lebih banyak generasi milenial dari pada  mereka yang senior membaca tulisan dalam bentuk digital ini semoga dapat memanfaatkan makna artikel ini.

Artikel kiriman dari seorang sahabat Ludwig Suparmo, seorang Pelatih Manajemen Krisis, Manajemen Konflik, Manajemen Kepatuhan, Manajemen TidakStres dan Manajemen Milenial.

YupG. 9 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun