Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Adakah Capres 2019 yang Machiavelis?

17 Januari 2019   12:55 Diperbarui: 21 Januari 2019   17:54 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://koran.tempo.co/read/439144/dimulai-dari-sekarang

Artikel saya berjudul "Pilih Pemimpin Transformasional, Karismatik, Koalisional, atau Machiavelis", tanggal 13 Januari 2019 yang lalu, mendapat response yang sangat ramai di sejumlah group WA yang saya ikutin.

Perdebatan begitu ramai dan cenderung menjadi sengit bahkan debat kusir, terutama ketika artikel itu dipakai untuk menilai capres 2019 yang sedang dan akan berkontestasi pada 17 April 2019 yang akan datang. Artinya, dalam berbagai group WA memiliki pengikuti yang sangat fanatik terhadap dua capres 2019. Saking fanatiknya sehingga tidak mau capresnya dianggap jelek, dan tetap mempertahankan bahwa capresnya yang terbaik.

Bagi saya ini menarik, karena memperlihatkan kepedulian politik yang sangat tinggi diantara publik, walaupun terbatas pada GWA tertentu yang jumlahnya bergerak antara 80an orang hingga 350 orang. Ini penting, karena memperlihatkan keterwakilan publik sebagai indikasi kuat bahwa dalam kenyataan juga itu tercermin.

Tulisan saya tentang 4 macam gaya kepemimpinan yang tersedia, yaitu Transformasional, Karismatik, Koalisional dan Machiavelis, sama sekali tidak menyinggung gaya kepemimpinan dua kubu Capres 2019 yang sedang berlaga. Artikel tersebut betul-betul murni menyajikan teori secara sederhana dan garis besar tentang 4 gaya kepemimpinan yang ada dilapangan, baik didalam perusahaan, organisasi sosial maupun politik bahkan sebuah negara.

Baca: Pilih Pemimpin Transformasional, Karismatik, Koalisional, atau Machiavelis

Saya tulis untuk memenuhi permintaan sejumlah teman sejawat dosen yang minta disajikan perbedaan simpel keempat gaya kepemimpinan itu. Dan lebih penting lagi disadari bahwa keempat gaya kepemimpinan tersebut, dipilah dan dipilih dengan dasar utama "penggunaan pengaruh oleh sang leader". 

Artinya, bila dicermati apa gaya kepemimpinan seseorang, bisa diamati dari sisi bagaimana dia menggunakan dan mengelola pengaruh terhadap followernya. Sebab, ada banyak style kepemimpinan dengan penekanan dasar lainnya, misalnya komunikasi, pengambilan keputusan, partisipasi atau yang lain.

Dalam debat kusir yang terjadi disejumlah GWA itu, berhenti pada pertanyaan mereka , sesungguhnya dari dua Capres RI 2019, siapa diantara mereka yang termasuk Machiavelis? Ini pertanyaan yang sangat menggoda sekaligus menantang untuk diamati. Ada kecenderungan yang sangat kuat ditengah publik bahwa Pemimpin yang tergolong Machiavelis itu tidak baik, dan harus dihindari, dan karenanya tidak mau Capres jagoannya di-cap sebagai Machiavelis.

Sangat bisa dimengerti mengapa orang tidak senang bila pemimpinnya adalah seorang Machivelis, karena selain bukan dan tidak cocok dengan zaman sekarang, tetapi karena gaya ini sangat berbahaya bagi kehidupan komunitas yang demokratis.

Machiavellian-Style Leadership

Nama lengkapnya Niccol Machiavelli yang lahir di Italia tanggal 3 Mei 1469 dan meninggal pada 21 Juni 1527. Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, yang menghalalkan segala macam cara untuk mewujudkan dan berusaha mencapai tujuan. Itu sebabnya orang-orang yang memimpin sebuah organisasi atau komunitas dan meniru cara dan gaya dari Machiaveli ini, mereka disebut sebagai makiavelis.

Istilah Machiavellian menjadi sebuah ikon yang memberikan gambaran seorang pemimpin yang tidak baik dan buruk cara dia memimpin pengikutnya. Tidak saja saat memimpin, tetapi dalam caranya memenangkan sebuah persaingan memperebutkan jabatan pimpinan melakukan hal-hal yang buruk.

Dengan begitu, dikaitkan dengan perilaku yang tidak bermoral dan bahkan kejam yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatannya dari keuntungan pribadi. Para penganut dan pengikut gaya ini, pemimpin tersebut bersedia menggunakan cara apapun yang diperlukan untuk mempertahankan kesejahteraan organisasi.

Richard Daft, penulis buku teks tentang Leadership, dalam salah satu cahepternya membahas dengan baik tentang gaya kepemimpinan Machiavelis ini. Antara lain menyebutkan 4 faktor yang menjelaskan perilaku seorang pemimpin yang bergaya machiavelis ini, yaitu :

1. They are always on guard for risks and threats to their power. Mereka selalu waspada terhadap risiko dan ancaman terhadap kekuatan mereka. Pemimpin bergaya Machiavellian berasumsi bahwa orang pada dasarnya berubah-ubah, serakah, dan penipu, sehingga pemimpin waspada terhadap kesetiaan yang bergeser dan tidak menggunakan manipulasi untuk mencapai tujuan.

2. They don't mind being feared. Mereka senang kalau ditakuti. Pemimpin bergaya Machiavellian mengingatkan bahwa berusaha menjadi pemimpin yang paling disukai bisa menjadi bumerang saat masa sulit yang menuntut tindakan keras.

3. They will use deception if necessary. Bila perlu mereka menipu. Pemimpin bergaya Machiavillian tidak memiliki masalah dalam mempertahankan atau menggunakan kekuasaan dengan cara menipu untuk menjamin keamanan organisasi.

4. They use rewards and punishments to shape behavior. Membentuk perilaku pengikutnya dengan hadian atau sanksi. Pemimpin bergaya Machiavellian tidak keberatan mengeksploitasi ketakutan dan keinginan orang agar bisa mengikuti aturan dan melakukan apa yang diperlukan untuk kebaikan secara keseluruhan.

Machiavelis: Menghalalkan Cara

Mendengar dan memahami gaya kepemimpinan seorang yang disebut Machiavelis, memang tidak terlalu sulit, karena ciri utamanya adalah dalam cara dia mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.

Secara substantive, maka yang mejadi key word dari gaya kepemimpinan Machiavelis adalah menghalalkan segala cara demi mewujudkan keinginan pribadi seorang pemimpin. Dengan demikian, dia akan memperlakukan semua pengikutnya dengan cara yang sangat tidak manusia, kejam dan memaksakan dengan segala cara. Targetnya adalah bahwa semua pengikutnya mengikuti apa yang dia mau dilakukan dan dituju.

Konsekuensinya sangat buruk, yaitu apabila pengikutnya tidak mau mengikutinya maka dia akan memaksanakan, dan kalau tetap tidak mengikutinya maka dia akan mememberikan sanksi.

Seorang Machiavelis diyakini tidak segan-segan menyakiti, menyiksa bahkan lebih fatal dari itu agar keinginannya dituruti oleh pengikutnya.

Nampak bahwa seorang Machiavelis, juga seorang yang tergolong "raja tega" yang nyaris tidak memiliki perasaan kemanusiaan pengikutnya.

Pertanyaan yang menarik adalah mengapa seorang Machiavelis itu bisa berperilaku seperti itu?

Jawaban sederhana tentang ini adalah karena dia mempunyai asumsi yang sangat kuat tentang dirinya dan pengikutnya. Misalnya, pemimpin machiavelis memiliki asumsi tentang pengikutnya, bahwa dengan mengeksploitasi ketakutan dari pengikutnya maka itu memberikan jaminan baginya bahwa apapun yang diperintahkannya akan diikuti dan dilakukan oleh pengikutnya.

Ya, dia berasumsi bahwa memang pengikutnya suka ditakutin, diancam dan diberi sanksi bila tidak mau melakukan kehendak pemimpinnya. Dengan asumsi demikian maka dia akan tampil sebagai seorang"pemimpin yang raja tega".

Menghalalkan Cara: Demagog, Hoaks

Untuk menilai apakah seseorang yang berusaha memperoleh kekuasaan sebagai seorang pemimpin dalam suatu organisasi atau suatu negara, dapat dicermati dari proses yang dilakukan untuk mempengaruhi followernya agar memilihnya.

Salah satu bentuk yang sangat popular saat saat ini dengan maraknya media sosial dan kemajuan teknologi komunikasi yang mudah dijangkau dan murah, serta tidak ribet, yaitu hoaks, atau menyebarkan kabar bohong dan fitnah kepada publik sehingga publik akan mempercayai apa yang disebarkannya.

Dalam sejumlah GWA (group whatsaps) menjadi viral tentang hoaks ini dan sekaligus apa yang dikenal dengan demagog yang merangkum sebuah pendekatan atau cara dan strategi untuk memenangkan sebuah kontestasi politik. Berikut saya coba sajikan secara sederhana.

Demagog adalah penggerak rakyat yang bertujuan meraih kekuasaan dengan cara mengeksploitasi prasangka atau menghasut dan memanfaatkan ketidaktahuan orang banyak sehingga memicu amarah atau kebencian, sehingga membuat orang banyak tersebut tidak bisa lagi menerima masukan pendapat dari orang lain.

Demagog merupakan istilah politik yang berasal dari dari bahasa Yunani 'demos' yang bermakna rakyat dan 'agogos' yang bermakna pimpinan dalam arti 'negatif.' Dengan kata lain, demagog itu "pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya"

Memahami pengertian demogog seperti ini, nampak bahwa tidak bisa dipungkiri lagi bahwa demagog merupakan salah bentuk menghalakan cara untuk meraih keuntungan pribadi karena kecenderungan yang sangat kuat untuk memanipulasi orang lain. Ini tentu metode yang sangat membahayakan.

Mahfud MD pernah menuliskan pengertian Demagog di Majalah Gatra tahun 2007 silam, demagog adalah agitator, penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tetapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat, bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Dilihat dari sejarahnya, sesungguhny bukanlah sesuatu yang baru, mungkin saja baru popular saat ini, bahwa demagog telah muncul sejak zaman Yunani kuno sampai hari ini. Meskipun sebagian besar para demagog ini memiliki kepribadian yang berbeda-beda tetapi taktik yang mereka gunakan tetap sama sepanjang masa.

Dikisahkan bahwa sejumlah tokoh dunia dimasanya termasuk yang dalam kelompok demagog ini, yaitu Cleon of Athens, Adolf Hitler, Benito Mussolini, Huey Long, Father Coughlin, dan Joseph McCarthy.

Berdasarkan sejarah panjang yang dilewati, perilaku para demagog ini bisa muncul dalam sejumlah bentuk atau metode yang juga terus berkembang dari waktu ke waktu. Paling tidak diyakini ada 11 metode yang digunakan yaitu :

  1. Mengkambing Hitamkan. Menyalahkan suatu masalah pada satu kelompok tertentu, yang biasanya berujung kepada etnis, agama, atau kelas sosial yang berbeda.
  2. Fearmongering/Scaremongering. Penyebaran desas-desus yang menakutkan dan berlebihan yang secara sengaja untuk membangkitkan rasa ketakutan publik tentang suatu masalah.
  3. Berbohong. Memilih kata-kata yang menimbulkan efek pada emosi audiens atau publik tanpa memperhatikan kebenaran faktual atau data yang akurat.
  4. Orasi yang menggugah hati dan pribadi yang berkarisma. Menunjukkan keahlian luar biasa dalam menggerakkan dan menggugah hati publik ke kedalaman emosional yang besar saat berpidato.
  5. Menuduh lawan terlalu lemah dan tidak loyal. Terus-menerus menganjurkan kebrutalan untuk menunjukkan kekuatan dan berpendapat bahwa belas kasihan adalah tanda kelemahan yang hanya akan dieksploitasi oleh musuh.
  6. Menjanjikan ssuatu yang mustahil. Membuat janji-janji hanya untuk efek emosional pada para penontonnya tanpa peduli cara mewujudkannya.
  7. Kekerasan dan intimidasi fisik. Sering mendorong pendukungnya untuk mengintimidasi lawan, baik untuk memperkuat kesetiaan di antara pendukungnya
  8. Penghinaan dan ejekan pribadi.  Banyak demagog telah menemukan bahwa dengan menghina lawan adalah cara sederhana untuk menutup pertimbangan pemikiran dari ide-ide yang bersaing.
  9. Perilaku vulgar dan keterlaluan. Orang-orang mungkin menemukan demagog melakukan sesuatu yang vulgar atau keterlaluan diluar norma-norma kehidupan akan merasa jijik melihat tingkahnya.
  10. Penyederhanaan yang berlebihan. Mengkambing hitamkan adalah salah satu bentuk penyederhanaan yang berlebihan: menangani masalah yang sebenarnya rumit, yang membutuhkan penalaran dan analisis yang dalam, seolah-olah solusi dari permasalahannya sangat sederhana.
  11. Menyerang media massa. Karena informasi dari media massa dapat menggerogoti "mantra" para demagog atas pengikutnya, sering menyerang media massa yang menentang mereka secara gencar, mengklaim bahwa media massa secara diam-diam telah melayani kepentingan suatu kelompok.

Machiavelis: Capres#01 atau Capres02?

Kembali pada topik artikel kali ini, yaitu siapa Calon Presiden RI 2019, yang termasuk Machiavelis?

Dalam debut kusir yang sangat ramai di GWA, saya menjelaskan bahwa untuk menemukan seseorang yang menganut atau pengikuti salah satu gaya kepemimpinan yang tidak mudah lagi secara 100%. Tidak ada lagi yang murni sebagai pengikut salah satu gaya kepemimpinan.

Yang ada adalah kecenderungan yang terdapat dalam diri setiap calon pemimpin itu sendiri. Dengan melihat berbagai ciri atau karakteristiknya, maka setiap pemimpin mempunyai kadar yang berbeda-beda dalam memimpin sebuah organisasi.

Kita ambil contoh misalnya, hoaks atau berbohong. Mari melihat apakah ada capres RI 2019 yang ber-hoaks atau berbohong dan memfitnah? Mungkinkah keduanya sama sekali tidak melakukannya, atau keduanya melakukan hoaks dan berbohong? 

Bila dicermati, maka kedua capres RI 2019 ini melakukan kedua-duanya, hanya saja kencenderungannya yang berbeda. Yang satu sangat kuat melakukan hoaks misalnya, sementara yang lain tidak. Atau capres yang satu terang-terangan, sementara capres lainnya tidak nampak atau tersamar.

Jadi, untuk sampai pada kesimpulan apakah termasuk machiavelis atau bukan perlu kajian yang mendalam dengan semua ciri dan karakteristik dasar yang menjadi acuan seseorang disebut machiavelis.

Nampaknya, yang perlu dicermati adalah "dampak pengaruhnya pada followernya yang menjadi target". Sebab gaya kepemimpinan apapun yang dianut, ujungnya atau hasil akhirnya adalah mereka diikuti, mereka dipilih, dan mereka akan dijadikan pimpinan mereka.

Publik negeri ini, yang berjumlah 260 jutaan, dan mempunyai pemilih ratusan juta, akan memiliki kesempatan mulai malam hari ini, Kamis 17 Januri 2019, menilai, melihat dan menyimpulkan apakah sudah sesuai dengan harapan untuk menjadi pemimpin RI selama 5 tahun kedepan.

Masyarakat Indonesia memiliki waktu hingga 17 April 2019 untuk menentukan pilihan yang tepat bagi Indonesia. Hilangkan dalam pikiran untuk kepentingan pribadi, sebab itu mustahil adanya, tetapi demi kepentingan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang diprediksi akan menjadi sebuah negara besar pada tahun 2045 kedepan.

Mari memilih yang terbak buat negeri ini. Pemimpin yang mampu memberikan kehidupan dan harapan yang kuat agar 260-jutaan masyarakat bisa bersatu membangun, memelihara, menjaga dan membuat Indonesia besar dan kuat dikalangan bangsa-bangsa dunia.

Yupiter Gulo, 17 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun