Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pengaruh Hoaks Ratna Sarumpaet terhadap Elektabilitas Capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto

8 Oktober 2018   13:59 Diperbarui: 9 Oktober 2018   14:46 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://simomot.com/2014/07/01/elektabilitas-terbaru-prabowo-dan-jokowi-pertarugan-makin-sengit/


Ditengah-tengah panasnya kasus hoaks yang dilakoni langsung oleh Ratna Sarumpaet dengan melibatkan petinggi partai dan kandidat Presiden Republik Indonesia 2019, diikuti dengan penahanan Ratna Sarumpaet untuk 20 hari kedepan oleh Polisi sejak hari Kamis yang lalu, pertanyaan panas yang perlu dijawab adalah "adakah pengaruh kasus hoaks Ratna Sarumpaet terhadap elektabilitas Capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto?"

Ketika pertanyaan ini saya ajukan kepada sejumlah mahasiswa di kelas mata kuliah metodologi penelitian, mereka serentak menjawab ada pengaruh yang signfikan! 

Waow, bagaimana kalian bisa sampai kepada kesimpulan seperti itu, apakah kalian memiliki data yang akurat dan telah teruji data itu dengan alat-alat statistik yang valid dan reliable? 

Kepada mahasiswa, saya menjelaskan bahwa jawaban kalian benar adanya, tetapi sebagai hipotesis saja. Artinya, jawaban kalian hanya sebagai "jaawaban sementara yang masih harus dibuktikan kebenarannya secara empirik melalui alat uji statistik yang valid".

Merekapun mengerti bahwa butuh waktu mengumpulkan data dari responden yang jelas dan representative untuk itu. Sayapun menyarankan bahwa mahasiswa boleh memanfaatkan data-data atau hasil-hasil survey yang dilakukan secara rutin oleh lembaga-lembaga survey yang kredibel untuk diikui dan dianalis lebih lanjut, sambil mengamati terus perkembangan yang akan terus terjadi hingga 6,5 bulan kedepan saat Pemilu diselenggarakan tahun 2019.

Jawaban spontanitas yang diberikan oleh mahasiswa dikelas saya itu, sesungguhnya juga merupakan spontanitas publik negeri ini bila diikuti apa yang sedang terjadi selama dua pekan terakhir ini. Yaitu kasus hoaks yang dilakukan oleh seorang tokoh bernama Ratna Sarumpaet yang mengatakan bahwa dia mengalami penganiayaan sehingga menjadi korban yang sangat berat dan tidak manusiawi.

Namun beberapa hari kemudian, dia sendiri mengaku bahwa dia bohong tentang berita penganiayaan itu, dan meminta maaf kepada publik karena dia telah berbohong dan merasa kasihan dengan orang-orang yang terlibat untuk mendukung kebohongannya itu. 

Secara kasak-mata, siapapun orang yang normal di negeri ini pasti merasa "marah dan geram" dengan perilaku hoaks ini. Dan dianggap sudah berlebihan, bahkan tidak masuk akal sehat  bahwa seseorang yang sudah nenek-nenek melakukan hal itu. Mengingat RS penyebar hoaks ini sebagai tokoh dan tim sukses nasional dari capres PS, kisahnya menjadi lain dan sarat dengan kepentingan politik bahkan pelanggaran hukum.

Publik semakin berpikir "negatif" terhadap kelompok yang terkait langsung dengan RS, sehingga dipastikan elektabilitasnya akan berpengaruh. Sangat mungkin publik yang selama ini tidak berpihak kepada capres PS, semakin meneguhkan dirinya bahwa memang PS tidak bisa dipilih.

Atau yang selama ini menjadi kandidat pemilih capres PS semakin ragu-ragu dan akan berpindah pilihannya ke capres lainnya. Dengan demikian, apabila dilakuakn survey sangat mungkin elektabilitas capres akan menurun untuk PS dan akan menaik untuk Capres JW.

Elektabilitas Capres Menurun

Mari kita lihat hasil elektabilitas yang dilakukan oleh lembaga survey yang sudah merilis hasil penelitan mereka selama beberapa waktu terakhir ini.

Pada hari Minggu, 7 Oktober 2018, Lembaga Survey SMRC merilis hasil survey terakhirnya tentang elektabilitas kedua capres yang dikutip oleh hampir semua media yang ada di negeri ini, termasuk Harian Umum Kompas (Senin, 8 Oktober 2018, halaman 3). Hasilnya survey ini menunjukkan angka-angka elektabiliats yang menarik, yaitu:

  1. Joko Widodo -Ma'aruf Amin, 60,4%
  2. Prabowo Subianto - Sandi Uno, 29,8%

Secara sederhana atau dalam pikiran publik awam, elektabilitas diatas dapat diartikan bahwa kalau saat ini dilakukan pemilihan presiden dan wakil presiden maka pasangan Joko Widodo dan Ma'aruf Amin akan memenangkan persaingan dan Prabowo dan Sandi akan kalah.

Ini hasil survey yang dilakukan pada periode Agustus ke September awal 2018. Dan tentu akan bisa berubah hasilnya pada waktu sesudah itu, atau  berbeda hasilnya dibanding sebelum itu, karena memang sangat tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Untuk melengkapi informasi tentang perkembangan hasil survey ini, menarik untuk menyimak hasil dari LSI, Lembaga Survey Indonesia, yang dipimpin dan dimiliki oleh Denny JA, memperlihatkan elektabilitas dari pasangan capres Prabowo dan  Sandi selama setahun terakhir (http://www.tribunnews.com), yaitu:

  • Elektabilitas Prabowo-Sandi, September 2017, 31,8%
  • Elektabilitas Prabowo- Sandi, Desember 2017, 22,1%
  • Elektabilitas Prabowo-Sandi, Januari 2018, 24,8%
  • Elektabilitas Prabowo-Sandi, Mei 2018, 33,3%
  • Elektabilitas Prabowo-Sandi, September 2018, 28,7%

Angka-angka yang ditampilkan, bila dilihat secara cermat menunjukkan bahwa tertinggi di angka 33,3%-lah yang pernah dicapai oleh pasangan ini, sisanya bervariasa saja, mulai yang terendah 22,1%. 

Secara statistik, gapnya masih sangat jauh untuk bisa mencapai angka diatas 50% untuk bisa mengungguli pasangan Jokowi dan Amin. Gap itulah sebagai pekerjaan besar yang harus dilakukan oleh TimSes selama 6,5 bulan yang akan datang. Harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk mengerjakannya, bukan saja karena angkanya masih besar, tetapi juga karena pihak lawan akan melakukan berbagai upaya, strategis untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan angka elektabilitasnya. 

Belum lagi kalau ada masalah-masalah penting dan berat yang ikut memelorotkan elektabilitas pasangan, seperti kasus hoaksnya Ratna Sarumpaet yang langsung menohok habis jantung TimSes dari pasangan Prabowo-Sandi. Mengangkatnya kembali tidaklah mudah, karena dampaknya sangat besar dan luas bahkan dalam.

Faktor yang Mempengaruhi Eelektabilitas

Dalam sebuah "persaingan-pertandingan" apapun akan dilakukan oleh setiap kontestan untuk bisa menjadi pemenangnya, sejauh semua strategi, cara, taktik dan upaya-upaya tidak bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Selain faktor hoaks seperti yang dilakukan oleh RS, faktor-faktor apa saja lagikah yang mempengaruhi elektabiltas seorang kandidat Presiden dalam sebuah Pemilihan Umum? Lembaga SMCR mencatat ada beberapa faktor utama, yaitu faktor ekonomi, faktor politik, faktor hukum, dan keamanan.

Faktor-faktor ini tentu saja lebih cocok berpengaruh langsung kepada kandidat capres petahana, karena sedang berstatus sebagai Presiden aktif. SMRC mencatat faktor ekonomi paling dominan terhadap eletabilitas Jokowi, khususnya angka atau tingkat inflasi yang dicapai. Pada tataran inflasi ini, dapat diartikan bila inflasi semakin tinggi, artinya harga-harga akan semakin naik, maka elektabilitas Jokowi akan turun. Wajar sekali, karena harga barang kebutuhan pokok langsung dirasakan oleh publik atau rakyat.

Sangat wajar kalau pihak kontestan lainnya akan memanfaatkan masalah faktor ekonomi untuk menawarkan solusi mengatasinya bila mereka terpilih. Kritik keras dan pedas bahkan ekstrim akan dilakukan oleh pihak kontestan lawan untuk melemahkannya. Tidak hanya inflasi saja, tetapi juga ketika kurs rupiah terhadap dollar AS semakin menurun, itu menjadi indikasi tentang lemahnya kebijakan ekonomi pemerintah, capres petahana untuk dikritisi.

Hal lain yang dihasilkan dari survey SMRC adalah bahwa aspek kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sebagai Presiden menjadi faktor penentu mengapa elektabilitasnya terus tinggi. Bayangkan saja angkanya mencapai 73,4% responden merasa puas hasil kerja pembangunan dibawah kepemimpinan Jokowi. Dan hanya 25,4% yang merasa tidak puas. 

Angka ini, yaitu 73,4% menjadi indikator yang sangat kuat bahwa Jokowi sangat sukses dan berhasil memimpin Indonesia hingga saat ini. Dia memang berhasil dan sukses untuk membawa perubahan keadaan negeri yang sangat majemuk ini

Bagaimana Pengaruh Hoaks?

Secara umum harus diakui bahwa Jokowi selama ini lebih banyak menjadi korban hoaks ketimbang dia membuat atau menciptakan hoaks untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal yang berbeda dengan pihak lain, kasus hoaks RS misalnya. 

Lebih menarik lagi karena ketika hoaks-hoaks dilontarkan kepadanya, Jokowi nyaris tidak memberikan respons yang signifikan. Artinya, Jokowi terus saja bekerja, kerja dan bekerja. Orang sibuk berhoaks ria, sementara Sang Presiden sibuk untuk terus bekerja dan berada ditengah-tengah rakyatnya.

Itu sebabnya, publik melihat dan memahami Jokowi sebagai pribadi yang rendah hati, yang tidak rakus pada kekuasaan dan harta, walaupun kesempatan itu tersedia baginya untuk melakukannya. Ini difahami oleh publik bahwa Presiden RI ini betul-betul hati, pikiran, jiwaraganya untuk rakyat negeri ini, untuk membuat perubahan bagi masyarakat negeri ini, untuk mengejar ketertinggalan republik ini yang seakan terbiarkan sekian puluh tahun,

Pemahaman ini sangatlah kuat terasa ditengah-tengah rakyat. Bahkan nyaris tidak ada kelemahan Jokowi sebagai presiden republik ini. Seakan-akan dia hadir dimana-mana tempat di seantero wilayah bumi nusantara ini. Nyaris tidak lagi tidur lama-lama di istananya di Jakarta, karena lebih banyak berada ditengah-tengah rakyat. Lihat saja Gempa dan Tsunami di Palu, dalam seminggu Jokowi sudah beberapa kali disana, hanya untuk memastikan bahwa semua penanganan dilakukan dengan benar dan tuntas.

Perjalanan 6,5 bulan kedepan masih panjang sebagai sebuah perjuangan politik, terutama ketika banyak halangan, tantangan dan cobaan diperjalanan itu, seperti munculnya gempa bumi, tsunami, munculnya konflik politik ditengah-tengah masyarakat, dan masalah lainnya. Ini perlu dan dibutuhkan sebagai uji coba tentang kualitas para capres sebagai pemimpiin dan orang nomor satu di negeri ini. Indonesia membutuhkan seorang Presiden yang mampu membawa perubahan mendasar bagi kemajuan dan masa depan Indonesia. Yaitu, memasuki tahun 2030 saat bonus demografi mulai dirasakan oleh Indonesia, dan kedua, memasuki tahun 2045, yang diyakini menjadi tahun penting bagi Indonesia untuk menjadi salah negara besar yang ekonominya ikut mendominasi ekonomi global.

Tak ada pemimpin yang hebat, berkarakter kuat, berintegritas tinggi, dan memiliki kerendahan hati yang prima serta kemampuan manajerial yang kokoh tanpa melalui proses panjang dan penuh tantangan. Indonesia membutuhkan presiden yang hebat !

Yupiter Gulo, 8 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun