Hujan belum turun dari langit. Saat sepasang mata ini menangkap satu sosok yang tak asing di ujung jalan sebelah sana. Kaos oblong, celana jeans kumal miliknya, menjadi andalan kece yang sering ia kenakanan. Namanya Riyaldi. Seorang lelaki berusia dua puluh enam tahun yang sangat mencintaiku dulu--katanya.
"Aku sangat menyayangimu, Lin. Please jangan tinggalin aku!" ucapnya setengah penuh dusta.
Aku hanya diam tertunduk. Memandang wajahnya, sama dengan memunculkan kembali kenangan buruk. Dan itu bukan sesuatu hal yang selama ini aku inginkan.
"Untuk apa kamu ke sini?" tanyaku mencoba berani.
"Nggak untuk apa-apa. Hanya saja, bolehkah aku besok ke sini untuk khusus menjumpaimu?" katanya sambil memamerkan deret giginya yang rapi dan putih.
"Kamu WA saja, nanti kalau sempat aky balas," jawabku sambil berlalu pergi.
Terlalu lama dengannya, dadaku rasanya sesak. Entah mengapa, semenjak hari itu ....
"Aku akan selalu menyayangimu, Lin. Meski aku tahu, susah untuk bisa dapatkan kembali kesempatan itu," katanya dengan nada menyesal di bawah pohon beringin yang berdaun lebat.
"Tapi aku masih mencintaimu. Kalau kamu inginkan kesempatan itu, akan kuberi," kataku dengan gagah berani. Menampilkan senyum terbaik yang bila kuingat sungguh memalukan diri sendiri.
Hujan sudah luruh ke bumi. Tepat setelah taksi membawa sosok Riyaldi yang sakin menjauh. Jauh, dan terus jauh tak lagi mampu aku gapai, meski dalam mimpi.
***