Mudik Lebaran bagi perantau Minang bukan sekadar perjalanan pulang, tetapi juga perjalanan batin yang penuh makna. Setiap tahunnya, ribuan perantau meninggalkan kesibukan kota dan menempuh ribuan kilometer demi satu tujuan: kembali ke kampung halaman. Namun, perjalanan ini tidak selalu mudah. Kemacetan panjang, harga tiket yang melambung, hingga padatnya kendaraan di jalur utama menjadi keluhan yang kerap muncul. Meski begitu, tak ada yang bisa menghalangi langkah mereka untuk kembali menjejak tanah kelahiran, bertemu sanak saudara, dan merasakan kembali kehangatan kampung halaman yang tak tergantikan.
Sesampainya di kampung, perantau Minang disambut dengan pemandangan yang begitu dirindukan. Rumah gadang yang berdiri megah, surau kecil tempat mereka dulu belajar mengaji, hingga aroma masakan ibu yang selalu menggugah selera. Masakan khas seperti rendang, gulai ayam, dan lado mudo memiliki cita rasa yang tak pernah bisa ditemukan di perantauan. Meski rumah makan Padang bertebaran di berbagai kota, tetap saja, kelezatan masakan rumah yang dibuat dengan penuh cinta selalu terasa lebih istimewa.
Lebaran di kampung bukan hanya tentang berkumpul dengan keluarga, tetapi juga ajang untuk menghidupkan kembali kenangan lama. Silaturahmi dengan kerabat, sahabat, hingga tetangga lama menjadi agenda wajib. Tradisi manjalang mamak, di mana keluarga mengunjungi saudara dari garis keturunan ibu, masih dilakukan, meski kini mulai berkurang. Beberapa tradisi lain bahkan perlahan menghilang, seperti malamang, gotong royong memasak lamang dalam bambu dan marandang bersama, zaman dahulunya menjadi kegiatan rutin sebelum Lebaran.
Di masa dahulu, takbiran keliling dengan obor, menjadi aktifitas yang begitu meriah, apalagi di iringi dengan suara takbir yang menggema di seluruh kampung, kini lebih banyak digantikan dengan takbiran di masjid menggunakan pengeras suara. Anak-anak yang dulu berlomba-lomba ikut serta, kini lebih sibuk dengan gawai mereka. Begitu pula dengan permainan tradisional yang biasa digelar setelah Lebaran, seperti pacu upiah (balap tempurung kelapa) atau panjat pinang, yang kini semakin jarang terlihat.
Selain merayakan kebahagiaan, pulang kampung juga menjadi waktu untuk menenangkan diri. Jauh dari hiruk-pikuk kota, suasana kampung yang damai memberikan ketenangan batin bagi perantau. Suara azan dari surau kecil, udara pagi yang segar, hingga kesempatan berziarah ke makam keluarga menjadi momen refleksi yang sangat berharga. Di tengah tantangan hidup di perantauan, momen bersama keluarga memberikan semangat baru untuk kembali menghadapi realitas kehidupan yang keras.
Namun, di balik kebahagiaan mudik, ada pula keresahan yang dirasakan para perantau. Perubahan ekonomi yang terjadi di awal tahun 2025 menunjukkan melemahnya daya beli masyarakat, sebagaimana tercermin dari penurunan impor barang konsumsi dan perlambatan indeks keyakinan konsumen. Bahkan, penerimaan negara yang menurun mempersempit ruang gerak pemerintah dalam menstimulasi perekonomian. Dampaknya, banyak perantau yang merasa khawatir dengan kondisi keuangan mereka, terutama dalam menghadapi biaya perjalanan mudik yang semakin mahal.
Meski begitu, bagi perantau Minang, pulang kampung tetap menjadi hal yang tak tergantikan. Jauh di mata, tetapi dekat di hati itulah yang selalu dirasakan. Setiap kepulangan adalah pengingat akan akar dan jati diri mereka. Tradisi boleh berubah, kondisi ekonomi boleh berfluktuasi, tetapi semangat untuk kembali ke kampung halaman akan selalu ada. Karena bagi perantau Minang, kampung halaman bukan sekadar tempat lahir, tetapi juga tempat di mana hati selalu ingin kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI