Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Mentang-mentang Sama Realitas

1 Juni 2020   10:11 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:37 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya ilustrasi, sumber gambar kompas.com

Di acara seminar tentang perekonomian Indonesia, yang diselenggarakan oleh Himiespa (Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan) Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1999, bertempat di UC UGM kampus bulaksumur, doktor Anggito Abimanyu mengatakan tentang istilah "masyarakat mentang mentang". Suatu analogi untuk menyebut masyarakat pasca reformasi saat itu, masyarakat yang mempunyai modal mayoritas, memakai bendera demokrasi, kemudian bertindak memakai kekerasan untuk menekan pihak lain.

Bayangkan masyarakat yang mendadak kaget, setelah 32 tahun Negara demikian kuat, lalu salah satu representasi Negara itu runtuh. Masyarakat menjadi agak sewenang sewenang. Misalnya mengambil contoh di kabupaten Rembang, terjadi penjarahan terhadap pohon yang berkayu tebal di pinggir jalan. Pohon pohon pada ditebangi, katanya di hutan milik Perhutani demikian juga kayu kayu pada diambili masyarakat sekitar.

Contoh lain misalnya sekelompok masyarakat lain atas nama golongan mayoritas menekan kepada minoritas. Misalnya di era reformasi, presidennya dari organisasi masyarakat tertentu, maka ormas tersebut merasa mendapat angin untuk menguasai keamanan di akar rumput. Presiden berikutnya dari partai tertentu, maka partai X itu yang menjadi dominan menguasai panggung politik.

Setelah era sebelumnya kata "mentang-mentang" disematkan ke pejabat, lalu Orba runtuh, masyarakat mayoritas yang kemudian memegang predikat mentang-mentang. Kalau dulu sebutan untuk mentang mentang berkuasa, kemudian berubah menjadi mentang mentang orang banyak. 

Suatu saat ada kisah ketika Gus Dur berusaha meredakan ketegangan para pengikutnya, agar tidak marah terhadap profesor Amien Rais. Sebelum mereka saling dukung untuk menjegal Megawati menuju tampuk kepemimpinan RI 1 tahun 1999, keduanya memang dikenal tidak begitu akur. GD di tahun 2000 tampaknya menenangkan anggota kelompoknya yang mentang-mentang, yang saat itu menjadi judul di harian Kompas, tulisnya "Jangan Marah kepada Amien Rais".

Atau kisah lain, saat itu muncul banyak kelompok pasukan sipil, yang mirip sama  tentara, tapi galaknya melebihi tentara betulan. Segelintir pemuda yang diberi seragam, pentungan, sepatu laras panjang, menjadi semacam rakyat terlatih. Itulah secuil contoh anggota masyarakat yang mentang mentang.

Pernah Cak Nun atau Emha Ainun Najib memakai kalimat, "Akademisi jangan mentang mentang sama realitas" di buku kumpulan tulisan "Mencari Ideologi Alternatif" (1994). Beliau mengarahkan tujuan kata tersebut terhadap Arief Budiman, saat diskusi melalui tulisan untuk menjawab pertanyaan: kira kira ideologi apa pasca keruntuhan Uni Soviet dan Negara komunis Eropa di tahun 1989. 

Selain pengantar dari Arief Budiman, di dalam buku itu ada tulisan juga dari Amien Rais, Kuntowidjojo, YB Mangunwijaya, dan moderatornya adalah Maksum wartawan Jawa Pos. 

Dalam diskusi tertulis tersebut, Arief Budiman (almarhum) mengetangahkan pemikiran bahwa sosialisme demokrat merupakan isme yang akan muncul menggantikan komunis, karena agama tidak begitu siap. Sedangkan penulis lainnya menyatakan bahwa agama merupakan ideologi yang akan tampil pasca keruntuhan komunisme. Emha menanggapi dengan, " .... jangan mentang mentang sama realitas". Kurang lebih demikian.

Jangan mentang mentang terhadap realitas. Mungkin itu juga yang patut dilayangkan kepada para tokoh, yang kebanyakan menyandang predikat intelektual Islam, untuk membahas impeachment di tengah wabah corona ini. Alih-alih diskusi yang membahas bagaimana mencari vaksin, atau menggalang persatuan untuk menghadapi pandemi ini, kok malah manas manasi masyarakat.  

Mereka berlindung di balik kebebasan akademis. Cuma kok rasanya tidak etis kalau dipertunjukkan ke khalayak umum. Atau memang itulah kondisi pasar yang sesungguhnya. Katakanlah bila webinar kemarin yang membahas impeachment tersebut laku keras, maka memang demikianlah situasi masyarakat kita, mencari hal hal yang heboh, di tengah musibah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun