Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sewindu RIP Gus Dur, Buku "Mati Ketawa"

3 Januari 2018   19:52 Diperbarui: 3 Januari 2018   20:03 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan Desember 2017 kemarin menandai sewindu atau 8 (delapan) tahun berpulangnya Gus Dur. Saya punya tulisan tentang GD yang usinya sewindu juga. Judulnya (kuupload di FB zaman old) adalah: IN MEMORIAM GUS "Presiden" DUR. Cekidot guys

Nama lengkap Gus Dur beserta gelarnya apabila ditulis adalah Kyai Haji Dr (HC) Abdurrahman Ad-dakhil Wahid. Wahid adalah namanya bapaknya (Wahid Hasyim, anak dari Hasyim Asyhari), sedangkan Abdurrahman Ad-dakhil adalah nama kecil --yang berarti Abdurrahman sang pemberontak. Gelar penghargaan doktornya didapat dari Soka University, Jepang, bidang perdamaian tahun 2000 (honoris causa). Dan beberapa doctor honoris causa lainnya, salahsatunya dari Thammasat University, Bangkok, pada tahun yang sama.

Bagi banyak orang sepak terjang Gus Dur sangat bermanfaat. Kalau kata Moh. Mahfud MD (dulu Menteri Pertahanan, sekarang Ketua Mahkamah Konstitusi) yang mengatakan kurang lebih bahwa dinamika politik tanah air semakin bergairah saat GD jadi Presiden. Ini mungkin berkaitan dengan pernyataan kontroversial GD yang membuat media massa setiap harinya terasa baru --bahkan setiap setengah hari (sehingga koran sore juga laku). Demikian pula menurut Wahyu Muryadi di Koran Tempo (31 Desember 2009) halaman A6 --dia mantan protokol era GD jadi presiden- wartawan di Istana mencapai 800, yang di era Orba cuma sampai 100. Itu dari segi kuantitasnya.

Bagi saya GD juga sumber tulisan mengomentari tingkah polahnya. Dulu tahun 1999/ 2000, BEM Fakultas Ekonomi UGM menyediakan honor bagi tulisan yang dimuat di majalah dinding. Lumayan saat itu dapat Rp 25 ribu per tulisan (dibandingkan dengan makan harian mahasiswa Yogya yang cukup 3.000,00 dengan daging ayam dan segelas es teh. Belum lagi kalau makannya di bunderan UGM tempat ibu-ibu Kagama menggelar edisi nasi krismon yang cukup 1.000 rupiah dapat telur dan kerupuk). Ada satu tulisan saya saat itu yang dimuat membahas tentang Presiden RI dari Presiden pertama sampai keempat. Judulnya "Siapa Sekarang Common Enemy Kita".

**

SAYA kemukakan di mading fakultas, sembilan tahun yang lalu, bahwa dalam menggalang kebersamaan sering para Kepala Negara RI memakai terminologi "common enemy" atau musuh bersama untuk mempersatukan rakyatnya. Presiden pertama, Ir Sukarno, cenderung memakai pihak luar negeri sebagai musuh bersama. Beliau memakai istilah "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika, Jepang kita tepang". Kemudian kata-kata beliau dengan "Go to hell with your aids" yang menolak bantuan hutang luar negeri, dengan alasan kemandirian. 

Selain itu Bung Karno juga menyuarakan Ganyang Malaysia karena dianggap Malay antek kolonialisme. Itu semua menyiratkan bahwa Presiden Sukarno memakai pihak luar negeri sebagai musuh bangsa.

Presiden kedua, Haji Muhammad Soeharto, berkebalikan 180 derajat dengan pendahulunya. Beliau cenderung memakai pihak dalam negeri sebagai musuh. Cap komunis dan pki sering ditempelkan bagi mereka yang berseberangan dengannya. Lawan-lawan politik, bahkan dulunya teman, disingkirkan dengan isu "golongan kiri". Sampai muncul Petisi 50 sebagai kumpulan orang-orang yang berbeda politik, yang kemudian dicekal (cegah tangkal) dengan asumsi akan menjelek-jelekkan RI di luar negeri --yang membahayakan iklim investasi di republik ini. pak Harto memakai dalam negeri sebagai musuh.

Presiden ketiga, Prof. BJ Habibie, mungkin masih terlalu singkat untuk dirumuskan perspektifnya. Tetapi beliau pernah menggunakan cap "OTB" atau organisasi tanpa bentuk bagi mereka --terutama mahasiswa- yang berusaha demo dan mengkritik kebijakannya. Habibie sama dengan presiden pendahulunya, memakai pihak dalam negeri sebagai musuh. Menurut tabloid Detik waktu itu, Habibie memang sangat mengidolakan pak Harto dengan menyebut, "Dalam bidang politik, guru saya adalah 'profesor' Soeharto".

Presiden keempat, Gus Dur, menjadi pertanyaan: kira-kira musuh macam mana yang dipilihnya. Ketika berhadapan dengan anggota legislatif menganalogikan " DPR seperti taman kanak-kanak". Kemudian memecat para anggota kabinet yang dianggap berseberangan, dan dapat diibaratkan mengacak-acak militer. Perilaku Gus "presiden" Dur --panggilan versi pak Kiki a.k.a Dr Hermawan Sulistyo dari LIPI- bisa dianggap bahwa ...beliau memakai dirinya sendiri sebagai musuh. Seorang demokrat sejati, merelakan pribadinya untuk menjadi musuh bersama, demi persatuan bangsa. So presiden pertama memakai luar negeri sebagai musuh bangsa, presiden kedua memakai dalam negeri sebagai common enemy, demikian pula presiden ketiga. Sedang presiden keempat memakai dirinya sendiri sebagai musuh bersama.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun