Mohon tunggu...
Yuni Palupi
Yuni Palupi Mohon Tunggu... -

Seorang penikmat bacaan tentang perjalanan ke negeri asing dan selalu ingin menjelajahi tempat-tempat baru di penjuru dunia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Fly me to Nepal (4) - Selesai

5 November 2012   22:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:56 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum, makanan di Nepal sepertinya mirip dengan makanan khas India. Mungkin juga karena kami hanya makan di hotel yang biasanya menunya relatif menyesuaikan dengan selera internasional. Yang jelas, porsinya selalu besar dan selalu ada menu kari, tinggal pilih mau kari sapi atau kambing. Sayur juga dimasak kari. Kalau mau sayur segar, tinggal pesan salad saja. Masalahnya saya juga tidak begitu suka makan salad kecuali salad yang ada di warung pizza cepat saji di Indonesia :D Beruntung saat sarapan juga selalu tersedia menu buah dan yogurt segar. Kedua makanan itu yang jadi penyelamat pencernaan saya selama di Nepal sehingga saya terhindar dari sembelit.

Malam ketiga, bersama teman-teman, kami sepakat pergi ke daerah Thamel untuk beli oleh-oleh dan sekaligus makan malam bersama. Kami sengaja mencari taksi di luar hotel dengan harapan mendapatkan ongkos taksi yang lebih murah. Nampaknya agak susah menjadi pejalan kaki di kota ini. Jalannya sempit tetapi dilewati oleh kendaraan dari dua arah yang berlawanan dan ngebut pula! Berkali-kali kami diklakson dari belakang saat berjalan-jalan menyusuri daerah di sekitar hotel.

Semua taksi tidak ada yang menggunakan sistem argo sehingga kami harus tawar-menawar plus ngotot dengan sopir taksi. Mobil yang dijadikan taksi adalah mobil merk Suzuki keluaran tahun 90-an ke bawah yang antik dan dekil. Sepertinya semua sopir taksi tahu dengan Thamel tetapi sebaliknya, sopir taksi di Thamel banyak yang berlagak tidak tahu letak hotel kami.

Kawasan Thamel ternyata merupakan pusat penjualan barang-barang cinderamata. Lucunya, barang-barang yang dijual merupakan kerajinan khas Kashmir di India sana. Ada banyak orang Kashmir yang tinggal di Nepal dan membuka workshop kerajinan khas daerah mereka sehingga mereka tidak harus mengeluarkan biaya pengiriman dari India. Banyaknya toko yang harus dikunjungi menyadarkan saya untuk tidak mengunjungi Thamel di malam hari, disamping lokasinya yang cukup jauh dari hotel, waktunya juga tidak akan cukup. Apalagi waktu itu kami juga makan malam dulu sehingga praktis kami hanya sempat masuk ke satu dua toko saja.

Di sepanjang pertokoan kami disapa oleh para penjaga toko. Seorang penjaga yang agresif dengan gigih berteriak-teriak menawarkan barang dagangannya ke saya. Bukan hanya agresif tapi juga judes, saya yang iseng menyentuh sebuah tas dia komentari dengan kata-kata menyebalkan: jadi lo ga mau beli ya? Cuma mau ngelap tangan doang? #Sial!

Dua orang teman dari India sepakat untuk memisahkan diri dari rombongan akan bertemu lagi di depan sebuah toko. Melihat waktu  yang sudah menunjukkan pukul 9 malam, dengan terburu-buru kami menuju tempat pertemuan itu tapi mereka belum terlihat. Repotnya, tidak seorang pun dari kami yang bisa ditelepon. Kehidupan malam sudah mulai terlihat di sini. Suara musik dan nyanyian terdengar dari sebuah toko yang ternyata merupakan bar dan karaoke. Rasanya seperti sedang berada di lokasi dangdutan rakyat di Indonesia deh. Bukan hanya hiburan malam, seorang pengemis bocah laki-laki mendatangi kami satu persatu. Semuanya menolak termasuk saya karena kuatir kalau diberi satu nanti teman-temannya akan mendatangi kami juga. Sialnya begitu dia mendatangi saya, caranya mulai tidak sopan, dari yang Cuma berdiri sambil menadahkan tangan di depan kita, sekarang mulai pake colek-colek. Saya marah dan bilang, "nggak mau dan jangan colek-colek dong!". Seorang teman sudah membuka dompet tapi saya larang kuatir nanti dompetnya malah dicopet orang. Si pengemis cilik makin marah dengan saya karena dianggap membatalkan rejekinya. Saya dikejar-kejar dan mau ditonjok. Aduuuh serem banget. Nggak lagi-lagi deh ke tempat ini di malam hari.

Hari sabtu, setelah mendapat konfirmasi bahwa mogok masal dibatalkan, kami pergi ke Phatan dan Bakhtapur square. Ada beberapa lokasi di Nepal yang merupakan daerah UNCESCO heritage saking kuno dan bersejarahnya . Memasuki tempat tersebut kita seperti tersedot ke ruang waktu jaman dahulu kala. Bukan hanya turis asing yang mengunjungi tempat-tempat itu tapi juga rombongan anak sekolah Nepal. Saya juga melihat beberapa pendeta Tibet yang mudah dikenali karena seragamnya tidak berwarna oranye terang seperti umumnya para pendeta  Budha. Sebenarnya sih saya pengen foto bareng tapi kok ya gengsi karena takut dibilang norak. Tapi akibatnya, sampai sekarang saya tetap merasa menyesal kenapa waktu itu nggak minta foto bareng aja. Di Indonesia malah makin nggak jelas kapan bisa ketemu lagi dengan orang dari negeri atap dunia itu.

Nah, kalau ke Nepal tapi nggak ke Himalaya ya nggak keren dong. Semua teman yang tahu saya lagi di Nepal taunya juga cuma Himalaya dan puncak Everest. Saya pengennya ke Pokhara tapi jaraknya kejauhan. Yang dekat itu Nagarkot jadi lah dari Bakhtapur kami melaju ke Nagarkot untuk mengejar sunset. Biasanya kan ngejari sunset di pantai tapi kali ini kita mau liat sunset dari pegunungan. Saya sih ga peduli mau dapat sunset atau nggak, yang penting mampir di Himalaya.

Jalan ke sana seperti  jalan menuju danau Maninjau di Sumatra Barat yang terkenal dengan kelok 44-nya. Agak mabok juga rasanya karena kondisi jalan yang tidak mulus dan mobil yang sebentar-sebentar ngerem saat papasan dengan mobil lain.  Begitu sampai, ternyata kita malah lebih bisa melihat pemandangan ke Himalaya dari teras hotel di Lalitpur. Sunset juga ga dapat karena kita udh keburu capek dan takut kemalaman sampai di hotel. Memang hampir semua orang Nepal bilang kita salah waktu karena waktu yang baik untuk melihat Himalaya itu mulai di bulan Oktober, masih dua bulan lagi dong!

Akhirnya kita dapat juga semburat senja setelah memutuskan untuk duduk-duduk di pinggir jalan. Buat kita yang dari Indonesia sih biasa karena sehari-hari kita juga melihat pemandangan yang sama. Tapi tidak demikian halnya untuk teman dari Bangladesh. Dia sudah heboh aja nyuruh kita fotoin pemandangan itu. Dengan heran saya bilang, tapi kaya’nya ini masih biasa deh, mendingan tunggu sebentar lagi sampai benar-benar sunset. Spontan dia balas berkata, “ah, it’s because you are from Bali. That’s why it is not special for you.” Saya jadi ge er beneran dikomentari begitu.

Pemandangan sunset beneran kita lihat jelas dalam perjalanan pulang kembali ke hotel. Di sepanjang jalan saya memaksakan diri untuk tidur karena takut muntah di mobil. Sesekali saya melek sambil ngintipin suasana di jalan. Nepal kalau malam nyaris gelap gulita karena terbatasnya fasilitas penerangan meskipun di kota. Bahkan pasar tradisional di daerah Thamel juga remang-remang. Saya jadi merasa prihatin menyaksikan penduduk setempat terpaksa belanja dengan kondisi penerangan yang benar-benar seadanya.

Hari-hari terakhir di Nepal tetap diisi dengan meeting dan diskusi bersama teman-teman dari Asia Tengah dan Asia Selatan. Satu hari sebelum kembali ke Kuala Lumpur sebenarnya sudah kosong karena semua teman-teman sudah kembali ke negara masing-masing. Sialnya, rencana mogok masal seharian kembali terdengar. Terpaksa kita leyeh-leyeh di hotel saja sambil iseng ngecengin pelayan restoran yang cakep atau sesekali mengomentari tingkah laku turis-turis di hotel. Sebalnya, ternyata mogok masal  itu jadinya cuma sampai jam 10 pagi saja sementara kita sudah terlanjur keenakan ngendon di kamar. #duh#

Keesokan harinya, dalam perjalanan menuju ke bandara saya, Rajis dan Ayu berhasil merayu pak Sopir untuk lewat di daerah sekitar Pasupatinath Temple yang biasa dipakai untuk mengkremasi mayat  dan melarung abu hasil kremasi mayat umat Hindu di Nepal. Ternyata kita harus masuk ke dalam untuk bisa melihat dengan jelas. Karena waktu sudah sangat mepet, kita cuma bisa melihat dari jauh kuil itu dan melihat sungai tempat abu-abu dilarung. Teman yang sudah pernah masuk ke kuil itu bilang di areal kuil lumayan bau. Ya iya lah, itu kan tempat orang bakar mayat!

Keluar dari Nepal ternyata lebih ketat dari pada saat masuk. Dua ekor anjing pelacak milik petugas hilir mudik di dalam gedung terminal dan tercium bau khas minuman keras. Saya lihat di lantai ada ceceran air, mungkin dari situ asalnya bau tadi. Hujan deras seakan mengiringi kepergian kami hari itu. Bus bandara disediakan untuk mengantarkan seluruh penumpang hingga di depan pesawat. Kita memang jadi nggak kebasahan, tapi baunya itu loh. #you know what I mean#

Kejadian yang sama saat di Kuala Lumpur terjadi lagi, kali ini bahkan antrian toilet jadi lebih panjang lagi sehingga para cabin crew terpaksa melerai antrian dan memaksa mereka kembali duduk di tempat duduk masing-masing. Kami yang dipesankan tempat duduk di posisi yang sama seperti waktu berangkat jadi punya waktu untuk mengamati tingkah laku para penumpang. Mungkin karena mereka akan merantau, kebanyakan dari mereka pakai tanda merah atau oranye yang nyaris menutupi kening. Begitu di pesawat, kapurnya sudah mulai rontok dan mewarnai baju mereka.

Keputusan saya dan Ayu untuk berpuasa sepertinya keputusan yang bagus karena kami jadi nggak harus parno ikut antrian ke toilet. Tapi efeknya kami jadi kelaparan di jalan dan bolak balik liat jam yang udah nggak jelas lagi mesti pakai waktu negara mana. Ayu bilang mendingan kita lihat warna langit di angkasa saja. Kalau sudah gelap berarti sudah masuk waktu berbuka. Jadi lah kita bertiga heboh melongok ke jendela yang terletak tiga kursi lagi. Tapi kok orang-orang di sekitar kita juga pada ikut-ikutan berdiri?  Oalah, mungkin mereka pikir ada sesuatu di luar sana :D

Waktu 4 jam perjalanan mungkin dirasa membosankan kalau cuma diisi dengan duduk manis saja di pesawat. Karena kita naik budget airlines, sudah jelas fasilitas terbatas kalau kita nggak mau bayar lebih. Tapi para penumpang Nepal nggak kekurangan akal, mereka mulai memutar lagu-lagu dari ponsel. Sekarang saya jadi merasa seperti sedang nonton film jaman dulu dengan suasana warung remang-remang diiringi musik dangdut.

Saat pesawat terlihat sudah akan mendarat, para penumpang Nepal buru-buru berdiri untuk mengambil barang bawaan mereka di kabin. Mbak-mbak pramugari yang sudah duduk manis dengan sabuk pengaman terpasang rapi hanya bisa teriak-teriak meminta mereka untuk duduk kembali sampai pesawat mendarat sempurna. Ternyata kelakuan begitu bukan cuma terjadi di negara kita kan?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun