Mohon tunggu...
Yuni Palupi
Yuni Palupi Mohon Tunggu... -

Seorang penikmat bacaan tentang perjalanan ke negeri asing dan selalu ingin menjelajahi tempat-tempat baru di penjuru dunia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Fly Me to Nepal (2)

19 Oktober 2012   15:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:38 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Butuh waktu beberapa menit untuk membujuk si pemuda misterius. Mbak-mbak pramugari yang bukan berasal dari Nepal pun kehabisan akal karena mereka hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan Melayu saja. Sebagai tanda solidaritas, beberapa orang mas-mas Nepal akhirnya turut membantu. Dengan menggunakan bahasa mereka, si pemuda misterius itu pun mau juga kembali ke tempat duduknya setelah berdiri menekur seperti sedang mengheningkan cipta di depan pintu darurat yang terletak di depan toilet. Hore, akhirnya kita terbang juga! :D

Antrian di depan toilet kembali mengular begitu lampu tanda boleh melepaskan sabuk pengaman dimatikan. Rajis yang cerdik menjadi orang pertama yang menggunakan toilet itu. Saya yang peminum air putih kelas berat lama-lama tidak tahan juga untuk tidak buang air kecil selama 4 jam di pesawat. Begitu berada di dalam toilet, aromanya langsung membuat saya pusing. Tissue bekas pakai berserakan di lantai dan sepertinya pengguna toilet sebelum saya lupa untuk menekan tombol “flush” kloset  #tutup hidung tutup mata mode on#

Pramugari pertama yang saya lihat setelah keluar dari toilet saya panggil dan bilang,”I think you need to clean the toilet.” Sebelumnya saya tidak pernah melihat pramugari/ pramugara harus membersihkan dan menyemprot toilet berulang-ulang dalam satu kali penerbangan. Penumpang silih berganti keluar masuk toilet bahkan sampai tanda sabuk pengaman harus dikenakan kembali menyala.

Beberapa saat sebelum mendarat, nampaknya pemandangan deretan pegunungan Himalaya sudah mulai kelihatan. Sayang sekali kami tidak bisa melihat kawasan pegunungan legendaris itu dari tempat duduk kami. Untuk berdiri mendekat ke sisi jendela pun tidak bisa karena awak kabin juga sudah menginstruksikan kepada semua penumpang untuk segera mengenakan sabuk pengaman kembali.  Namun tidak dengan beberapa penumpang di sekitar kami. Mereka justru berdiri dan sibuk mengomentari pemandangan yang sedang mereka saksikan dari dalam pesawat. Pramugari yang malang, alih-alih bisa duduk manis sampai mendarat, sekarang mereka malah harus berteriak-teriak untuk menyuruh para penumpang itu untuk kembali ke tempat duduk masing-masing. Menyaksikan peristiwa itu membuat saya di satu sisi merasa lucu, tetapi di sisi lain membuat saya miris ketika menyadari betapa beraninya mereka yang tidak memiliki pendidikan tinggi itu harus mengadu nasib di negeri orang.

Tidak seperti bandara internasional di Indonesia atau Kuala Lumpur yang berkilau dan semarak oleh ribuan watt cahaya lampu, Bandara Internasional Tribhuvan, Kathmandu nampak sederhana dan agak suram. Yang menarik adalah antrian imigrasi untuk penumpang berkewarganegaraan Nepal 3 kali lipat panjangnya dari pada antrian imigrasi untuk penumpang asing. Pemerintah Nepal sepertinya menyadari bahwa negara mereka miskin dengan sumber daya alam sehingga sektor pariwisata menjadi salah sektor andalan bagi perekonomian negara.  Banyak negara yang hanya perlu mendapatkan visa kedatangan (Visa on Arrival) untuk masuk ke Nepal. Namun demikian, diperlukan ijin khusus jika kita ingin melakukan trekking ke pegunungan Himalaya. Biaya untuk mendapatkan visa kedatangan adalan USD 25 dengan melampirkan satu lembar pas foto ukuran 4x6. Kalau kita tidak membawa foto dari negara asal, studio foto nan mungil juga tersedia di sana. Dengan membayar sebesar NRS (Nepali Rupees) 230 atau kurang lebih Rp 25,000 kita akan mendapatkan 2 lembar pas foto ukuran paspor.

Untuk mengusir kebosanan akibat lamanya proses untuk mendapatkan visa, saya mencoba menyapa sepasang turis asing yang berdiri di belakang saya. Sudah diduga, tujuan utama ke Nepal adalah untuk menjelajahi pegunungan Himalaya. Salah seorang dari mereka balik bertanya ke saya apakah saya ke Nepal juga untuk melakukan hal yang sama. Sambil tersenyum saya menjawab,”No, we are going to attend a training here.” Spontan dia berteriak,”what??” Saya jadi merasa geli sendiri, tampaknya jauh-jauh dari Indonesia demi mengikuti pelatihan di Nepal bukan merupakan hal yang populer di sini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun