Suara teman-teman Panji yang berdatangan mulai meramaikan suasana rumah yang biasanya diwarnai alunan music tanpa banyak suara manusia. Larasati menikmati istirahatnya sedangkan perhatian Panji lebih sering tertuju pada layar monitor komputer. Dia sedang menyusun skripsi tetapi di sela-sela keseriusannya menulis skripsi itu dia seringpula main game atau menggambar sketsa wajah  di lembaran kertas manila menggunakan pensil 3B.
Sekitar setengah tujuh , Camia dan Emily  datang.  Benar  kata Panji, keduanya berhidung mancung  seperti  orang Eropa. Mata Camia memang agak sipit meskipun bola matanya berwarna coklat sedangkan Emily yang jauh lebih tinggi darinya menunjukkan  postur tubuh dan wajah Eropa. Meskipun demikian kesopanan orang Jepang  melekat kuat pada keduanya yang sering membungkukkan badan untuk menghormati Larasati yang dianggap orang tua.Â
Bahasa Inggris Camia juga masih kental dengan aksen Jepang sehingga terdengar lucu. Sementara Emily selalu menggunakan bahasa Indonesia. Sudah sangat lancar setelah belajar bahasa Indonesia selama enam bulan. Tetapi masih saja kesulitan mengucapkan beberapa kata.
"Kami tinggal di Nagoya," Emily  menjawab pertanyaan Larasati tentang tempat tinggal orangtuanya lalu mulai bercerita tentang kota Nagoya. Teman-teman Panji mendengarkan dengan antusias tetapi Larasati  tidak tertarik. Dia hanya ingin tahu apakah kedua gadis hasil perkawinan campuran ini memang anak-anak Daniel. Â
Apa saja bisa terjadi setelah bertahun-tahun. Mungkin mereka pindah ke kota lain dan Daniel tidak pernah tahu. Bukankah mereka telah putus kontak sekian lama? Sebenarnya mudah saja baginya untuk menyelidiki asal-usul kedua gadis itu kalau saja dia mau melakukannya. Cukup bertanya tentang Osaka lalu terungkaplah semuanya. Tetapi untuk apa melakukannya ? Daniel  sudah tidak lagi peduli pada masa lalunya dan bahkan tidak lagi berusaha menemukan anak-anaknya.
" Ayo kita makan sekarang!" ajak Panji yang segera disambut riang oleh teman-temannya. Dia membawa mereka ke ruang makan yang meja makannya hanya memiliki empat kursi.
"Kita makan di bawah saja!" Â Lukman mengusulkan.
"Bagaimana Camia?" Panji meminta persetujuan.
"Oke, tidak apa-apa. Orang Jepang suka duduk di bawah," sahut  Camia  sambil melihat lantai putih rumah Larasati.
"Sebentar, aku ambilkan tikar dulu!" seru Panji sebelum menghilang ke kamarnya. Tak lama kemudian dia kembali dengan gulungan tikar plastik warna biru lalu menggelarnya dibantu dua temannya.
Mereka semua duduk di bawah setelah mengambil makanan dari meja makan.  Sebenarnya Larasati  merasa canggung untuk bergabung dengan anak-anak muda itu tetapi Panji mengajaknya makan bersama.Â