Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengurai Rasa (Bagian Terakhir)

14 Mei 2020   08:37 Diperbarui: 14 Mei 2020   09:41 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harrisvotefrankharris.com

"Kamu sakit?" Sinta merasa mendapat jawaban atas semua perangai Dennis  yang mempunyai pola perasaan mudah berubah secara drastis. Suatu ketika bisa merasa sangat  antusias dan bersemangat namun  di waktu mood-nya berubah buruk dia menjadi sangat depresi, pesimis dan putus asa.

"Bipolar disorder. Kamu tahu itu? Kamu harus tahu karena kamu akan tinggal bersamaku untuk waktu yang sangat lama."

Kalau saja ada lubang di atap apartemen atau di lantai yang dipijaknya sekalipun, dia ingin bisa menghilang saat itu juga. Tetapi dia terpaku di kursi ruang tengah berdampingan dengan Dennis. Tubuhnya gemetar meredam ketakutan yang disembunyikan dari pandangan Dennis. Sudah terlambat untuk mengakhiri hubungan ini. Dia tak bisa berharap datangnya pangeran berkuda putih yang akan menyelamatkannya dari situasi yang tengah dihadapinya.

"Kalau aku tidak mau bersamamu lagi?" entah kenapa Sinta justru ingin menguji emosi Dennis.

"Lebih baik aku bunuh diri di jalan raya. Aku pasti akan terkenal karena menjadi headline semua surat kabar di Connecticut," kata-kata itu diucapkan dengan menggebu-gebu seperti sedang memainkan sandiwara di atas panggung Broadway di New York.

Bisikan hatinya menuntunnya untuk memenuhi keinginan Dennis. Bukan untuk membebaskan Dennis  dari depresi jika tak kesampaian keinginannya. Sinta merasa ingin menolongnya. Sebuah pertimbangan yang barangkali akan menyulitkannya di kemudian hari.

Selama tiga bulan pertama setelah mereka memutuskan tinggal bersama semuanya baik-baik saja. Sinta leih sering mengalah untuk menjaga suasana hati Dennis tetap stabil. Kegembiraan yang meluap-luap tidak begitu mengganggu Sinta tetapi jika lelaki bermata biru itu menangis berkepanjangan lalu mengancam akan bunuh diri barulah membuatnya kewalahan untuk menenangkannya kembali. Obat-obat yang diberikan dokter tak boleh dihentikan kalau ingin bisa hidup nyaman bersamanya. 

Memasuki bulan keempat  Dennis mulai  menunjukkan kegairahan yang luar biasa  ketika berada di tempat tidur.  Sinta tak menyangka jika seseorang yang mengaku dirinya gay ternyata mempunyai hasrat yang sangat tinggi kepada perempuan. Berkali-kali dia memuji Dennis sebagai benar-benar lelaki. Pujian itu membuatnya semakin percaya diri untuk memposisikan dirinya sebagai lelaki sejati. Dorongan-dorongan untuk kembali menemui lelaki gay berhasil dikendalikan meskipun tak bisa padam sepenuhnya.

"Dennis, kita harus menikah. Aku tidak ingin belumuran dosa.," ujar Sinta setelah genap delapan bulan mereka bersama. Artinya sudah selama itu pula mereka mengumpulkan dosa-dosa dari setiap penyatuan diri yang membawanya melayang-layang di  taman surgawi.

"Menikah itu cuma legalitas ," balas Dennis tak  merasa perlu membahasnya lebih dalam lagi.

"Aku tidak bisa tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun