Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tirai

11 Mei 2020   10:06 Diperbarui: 12 Mei 2020   16:00 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perempuan bercadar. (sumber: pixabay.com/moshypelusha)

Aroma bunga melingkupi tirai Ani .Wewangian itu membuatnya damai. Sesekali dia bisa bermeditasi diiringi alunan musik lembut yang menenangkan. Bila nada itu menjalari simpul-simpul syarafnya maka goresan-goresan luka di hatinya menjadi samar-samar. 

Jika waktu berpihak padanya maka luka itu akan lenyap secara ajaib. Dia sungguh bahagia dengan lingkungan barunya di balik tirai berwarna hijau.

Tak ada sepasang mata murka yang menyambut kata-katanya. Sungguh hanya rasa syukur yang bisa dipanjatkan ketika hidupnya terbebas dari luka.

Embun bersembunyi di balik tirai merah muda yang beraroma cendana. Tak banyak yang bisa dilakukan di balik tirainya. Hanya sekali-sekali dia bernaung di sana. Selebihnya dia menghabiskan sisa waktu di luar. 

Mengikuti kata hatinya yang berubah-ubah tak menentu. Kadang terbawa arus turun ke jalan sekedar mengekspresikan kemerdekaannya sebagai manusia.

Duduk bersandar pada dinding jembatan di tengah kota kala tak banyak lagi bising suara kendaraan. Menatap bintang-bintang kecil yang bertebaran di langit dengan takjub. Tuhan memberikan segalanya kepada umatNya tanpa pilih kasih. Sayangnya dia tak mampu menangkap kasih-Nya dalam keseharian hidupnya.

"Hidup itu indah, ya?" gumam seorang teman yang tengah menikmati malam bersamanya. Jari-jemarinya mempermainkan tali-tali gitarnya mengiringi angin malam. Lirih-lirih saja mulutnya mendendangkan lagu cinta. Entah lelaki itu sedang jatuh cinta atau malah mendambakan cinta. 

Embun tak pernah mengenal lelaki itu lebih dari sekedar teman pemburu kebebasan di alam raya. Bersamanya pula Embun menapaki bukit dan gunung-gunung hampir di seluruh Jawa.

Menantang derasnya arus sungai melakukan arung jeram beramai-ramai. Menyusuri gua yang gelapnya begitu pekat untuk menundukkan ketakutannya sendiri. Petualangan seperti itu membuatnya bergairah menjalani hidupnya.

Rumah membuatnya gerah. Setiap langkah mendapat arahan dari Ibunya. Seolah-olah dia masih anak ingusan yang harus selalu dibimbing. Padahal dia selalu berpamitan setiap kali meninggalkan rumah. Dengan maupun tanpa ijin Ibu, dia tetap pergi karena yakin apa yang dilakukan sesuai untuknya. Teman-teman melakukan hal yang sama tanpa kekhawatiran orang tua. 

Sementara Embun perlu tenaga ekstra untuk meyakinkan Ibunya agar mengijinkannya pergi. Karena itu dia tak perlu ijin. Cukup memberitahu ke mana dia pergi dan dengan siapa saja. Bagaimana pun reaksi Ibunya tak harus dipertimbangkan. Berjalanlah sesuai kata hatimu sendiri. Begitu yang selalu ditanamkan temna-temannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun