Mohon tunggu...
Yuni Miarsih
Yuni Miarsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Penyuluhan Pertanian Universitas Jenderal Soedirman

Ketika kita lebih berkomitmen pada 'mimpi' kita daripada berada pada zona nyaman, disitulah akan terjadi 'perubahan'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemberdayaan Wanita dan Pengarusutamaan Gender Melalui P2L

8 Oktober 2021   13:24 Diperbarui: 8 Oktober 2021   13:28 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wanita Tani / Dokpri

Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut di sudut kerling wanita

- Ismail Marzuki, Sabda Alam --

Syair lagu yang diciptakan komposer tersohor Indonesia, Ismail Marzuki, di medio tahun 50an (bila menurut beberapa artikel 1956) seakan menasbihkan, bahwa perempuan (wanita) senantiasa menjadi subordinat dari laki-laki (pria).  Meskipun di dua baris terakhir menyatakan, kadang kondisi berjalan sebaliknya.

Kondisi yang mendasari syair lagu tersebut tercipta adalah kondisi di pertengahan tahun 50an, beberapa saat setelah Indonesia merdeka.  (Mungkin) kondisi saat itu masih sangat kental dengan budaya patriarki, posisi laki-laki (dianggap) lebih tinggi dari perempuan.  Terus, bagaimana kondisi saat ini.  Apakah ide tersebut masih relevan dengan kondisi perempuan saat ini?  Mari kita telusuri satu per satu.

Kesetaraan Gender dan Pengarusutamaan Gender

Kesetaraan gender menjadi isu yang sangat penting.  Isu ini mengetengahkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.  Tidak ada lagi pembeda dalam hak dan kewajiban.  

Menurut (Haspels and Suriyasarn, 2005) kesetaraan gender merujuk pada kesamaan hak, tanggungjawab, kesempatan, perlakuan, dan penilaian bagi kaum lelaki dan perempuan, dalam hal pekerjaan, hubungan antara kerja dan kehidupan. 

Selain masalah kehidupan yang dianggap berbeda antara laki-laki dan perempuan.  Pembedaan sering terlihat pada pekerjaan khususnya masalah upah.  

Sebelum dikenal istilah penyamaan upah dalam bentuk HOK (hari orang kerja), banyak yang masih menggunakan HKSP (hari kerja setara pria) dan upah untuk wanita, biasanya hanya 0,65 -- 0,8 HKSP.  Meskipun pada yang dikerjakan dan jam kerjanya sama.

Para feminis melalui gerakan feminisme-nya jelas sangat menentang kesenjangan ini.  Apalagi ada anggapan, tenaga pria lebih besar daripada wanita.  Sebagian mungkin benar, tetapi tidak seluruhnya.  

Ada faktor lain dari wanita yang lebih daripada sekedar tenaga besar, yaitu fleksibilitas.  Untuk ruang-ruang kerja tertentu, fleksibilitas wanita jauh lebih bisa diandalkan daripada tenaga pria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun