Mohon tunggu...
Yunas Windra
Yunas Windra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir di Bukittinggi, SD pindah ke Banten, SMP Muhammadiyah Pontang, Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Serang Banten, IKIP Jakarta Adm.Perencanaan Pendidikan, Aktivitas sekarang di Lembaga Pendidikan Nurul Fikri sejak tahun 1988

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Amankah Pesawat Kepresidenan

12 Mei 2014   21:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Suatu kebanggaan tentunya buat republik ini saat pemerintah mampu memiliki sebuah pesawat kepresidenan yang ‘super canggih’ dalam mendukung tugas kepala pemerintahan. Selain mempercepat urusan karena jarak jauh dapat ditempuh dengan waktu yang relative singkat sekaligus juga dapat memangkas ‘biaya perjalanan’ yang biasanya per tahun dapat mencapai puluhan dan mungkin melebihi angka ratus milyar. Sehingga pengeluaran dana pembelian yang mencapai Rp 850 M tentunya tidak menjadi persoalan bagi Negara. Namun tidak ada salahnya kita berhati-hati, karena bukan tidak mungkin ‘ada titipan’ di pesawat itu untuk memantau ‘gerak kebijakan’ pemerintah, atau panas dinginnya suhu perpolitikan di negeri kita. Tidak jauh berbeda halnya dengan kepemilikan satelit. Karena yang meluncurkan adalah bangsa yang memiliki teknologi canggih, bukan tidak mungkin ada titipan alat di satelit itu untuk kepentingan Negara bersangkutan. Sudahkah kita memiliki piranti cegah agar kekhawatiran itu menjadi tidak perlu?. Tentunya yang dapat menjawab itu adalah para pakar teknologi informasi di negeri ini. Saya yakin kita punya orang-orangnya.

Meski agak sedikit ‘lebay’ atau berlebihan penulis mencoba menuangkan beberapa pemikiran untuk mengingatkan pemerintah dalam menindaklanjuti program ini khawatir dilupakan atau sebelum semuanya ‘terlambat’. Meski penulis yakin hal ini sudah dilakukan tidak ada salahnya hanya sekedarmengingatkan.

Pada saat ini harus diakui lemahnya ‘kemandirian’ teknologi bangsa kita. Hal ini boleh jadi akibat kurangnya peran serta ‘anak-anak cerdas’ bangsa ini dalam pengembangan teknologi. Anak-anak cerdas bangsa ini justru direkrut asing dan diberdayakan oleh bangsa lain. Hal ini terjadi karena memang pendidikan itu ‘mahal’ dan buat Negara maju mereka memiliki ‘strategi’ merekrut ‘anak cerdas’ yang yang bisa jadi probabilitasnya 1/1000 bahkan 1/1juta per tahun. Kita didik 1 jt orang setiap tahun dan 1(satu) yang super pintar direkrut negara maju dengan beasiswa. Apakah nantinya megeka kembali? Wallahu a’lam. Apakah ini menjadi pemikiran bagi pemangku kebijakan pendidikan? Saya nggak yakin. Konsekuensi ‘pilihan strategis’ dalam kebijakan pendidikan dan IPTEK pemerintah pasca ‘ berhentinya’ Pak Habibi dari jabatan Menristek dan Presiden sebenarnya dapat dirasakan. Arah pembangunan bidag IPTEK kita ‘tidak lagi menggeliat’. Indikasinya dapat dilihat dari tidak ada lagi gairah pemerintah ‘melanjutkan’ proyek-proyek industri strategis yang merupakan ‘mimpi Habibi’. Dalam perkembangan dunia dan ‘bisnis dunia’, bukan menjadi rahasia lagi bahwa ternyata kecanggihan teknologi yang awalnya digunakan untuk kepentingan militer pada akhirnya juga mewarnai perkembangan industri di berbagai bidang. Entah kenapa di negeri kitaitu tidak menjadi pemikiran. Apakah ini akhibat ‘trauma’ ekonom terhadap strategi IPTEK pada masa Orde Baru dibawah kendali pak Habibi atau memang para pemikir kita tidak tertarik. Sepertinya strategi Negara kita lebih memilih ‘pasif’ dalam perkembangan teknologi karena dinilai tidak efesien sehingga makin hari makin terasa posisi sebagai ‘bangsa penikmat’ produk teknologi sudah menjadi tren masyarakat.

Negeri kita menjelma menjadi ‘pasar’ segala produk asing nyaris di semua sisi kehidupan bahkan dari apa yang kita kenakan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ketergantungan terhadap teknologi Negara maju makin kuat. Dalam satu sisi pemikiran efektivitas dan efesiensi pemikiran ini dapat diterima karena riset itu mahal. Namun dalam pemikiran strategis tentunya akan menjadi lain saat kita mendapatkan kenyataan bahwa ‘Bangsa asing lebih tahu apa yang ada di perut kita dan diperut bumi kita’ seyognyanya kita sadar bahwa dalam kontek ini bahwa ‘ilmu dan teknologi itu tidak lagi bebas nilai dan misi’ dan kalau sudah begini berapapun nilai nominal rupiahnya yang akan dikeluarkan tidak lagi menjadi penting karena bermakna strategis dalam mebelola negeri ini. Kritikan yang menyakitkan tentunya bagi kalangan yang berkecimpung dalam pengembangan IPTEK akhir tahun 90 an. Saat Habibi menukar pesawat dengan bahan pangan. Para politikus dan pengamat ekonomi mem bully pemerintah atas kebijakan ‘teknologi’ ini.Ini mencerminkan tidak bijaksananya para pengamat baik ekonomi maupun politik. Lihat sekarang apa yang dilakukan oleh politikus dan ekonom terhadap perekonomian pasca tahun 90 an di negeri ini? APBN habis dirampok. Nyaris tidak ada satupun potensi ekonomi negeri ini yang diberdayakan. Potensi alam kita dijual murah kita tukar dengan produk-produk asing yang memiliki sentuhan teknologi ‘tinggi’.Menyedihkankan lagi adalah kecanggihan teknologi produk asing yang mahal teknologinya itu hanya untuk ‘gaya hidup’ digunakan sebagian besar bukan untuk hal produktif justru efek negative dari dampak teknologi itulah yang mengkhawatirkan. Teknologi canggih hanya digunakan untuk main game dan akses situs porno oleh generasi muda. Pengguna terbesar kecanggihan teknologi terutama teknologi informatika adalah anak muda yang masih labil, kaum ibu-ibu dan pembantu, bukankah yang tua-tua umumnya ‘gatek’ ada baiknya ini menjadi ‘perhatian’. Kita baru bereaksi setelah efek negative menyeruak di depan mata. Seks bebas, kekerasan anak SD membunuh teman, kenakalan remaja bukankah ini yang dinamakan ‘telmi’. Para pemangku kepentingan di negeri ini sibuk mengurus kepentingan pribadi ketimbang rakyatnya. Tidakkah ini menjadi pemikiran bagi pemimpin bangsa ini?. Dimana nilai manfaatnya, setelah kita tukar per produk itu dengan ber ton-ton hasil bumi kita untuk membayarnya dalam perdagangan dengan Negara yang meng eksport ke negeri ini.

Beberapa bulan yang lalu kita ingat issue penyadapan marak. Kalangan istana disadap, gubernur disadap jadi ternyata di negeri ini bukan karet saja yang ’disadap’. Kegiatan pemerintah itu tentunya tidak lagi menjadi sedap saat disadap. Jika pesawat kepresidenan kita dibeli dari Negara asing, sekarang yakinkah kita pesawat kepresidenan itu ‘bersih’. Saya tidak perlu cerita tentang kepentingan asing di negeri ini. Jika sebuah negeri memiliki kekuatan ekonomi dan teknologi maka segala kekuatan akan dilakukan untuk menjaring sebanyak-banyaknya ‘informasi rahasia’ untuk berbagai kepentingan strategis dalam ‘percaturan’ baik politik maupun ekonomi dunia. Terlalu banyak pihak yang lebih berkopenten yang seharusnya menjelaskan dan memikirkan ini. Sayangnya para petinggi negeri ini terlalu banyak yang lugu. Jika saya yang jadi Presiden dalam kondisi seperti ini akan sangat mungkin pesawat itu hanya akan sayagunakan untuk liburan ketimbang mendampingi urusan kenegaraan apalagi membawa belasan atau puluhan pejabat negara menyertai. Bukan hanya pembicaraan strategis yang akan bocor bisa jadi di saat tertentu dimana kondisi dunia genting dan Negeri ini memegang kendali strategis terhadap keputusan ‘politik dunia’ pesawat kita dan isinya nyasar entah kemana…berikutnya yang kasihan ‘teroris’ karena negeri kita kan memang di gandang-gandang sebagai negeri teroris. Bukankah teroris di negeri kita ‘mengesankan’ begitu canggihnya untuk melumpuhkan satu orang saja dibutuhkan sepeleton pasukan.

Saya tuliskan kegelisahan ini karena khawatir para pimpinan negeri ini lupa karena sibuk mengurusi ‘politik dalam negeri’. Para pejabat terkait lupa, maklum di negeri kita semua orang ahli di semua bidang dan dalam kondisi tertentu semua perhatian fokus pada satu titik. Pada tahun politik semua menjadi ‘politikus’ lupa pada tugas-tugas pokoknya. Ahli hukum mendadak jadi politikus lupa tugasnya menegakkan hukum, ekonom menjadi politikus, dokter, insinyur, guru, kiyai, tukang urut, pedangdut pokoknya semua deh jadi ‘politikus’ dan semua lupa fungsi masing-masing. Mereka menjadi ‘pemikir hebat’ dalam berpolitik dan tidak segan-segan membohongi rakyat yang ‘bodoh’ demi kursi ‘kekuasaan’. Sementara kita lupa bahwa kita juga ‘dibodohi’ oleh bangsa-bangsa ‘penjajah’ yang unggul di bidang di segala bidang dan tentunya IPTEK. Dengan demikian tercipta ketergantungan terhadap Negara ‘penjajah’. Inilah kepentingan Negara maju terhadap Negara lain ‘bagaimana menciptakan ketergantungan’ caranya ya sangat jelas buat mereka ‘bodoh dan miskin’. Hebatnya lagi negeri ku ini setelah semua bertarung di arena ‘politik’ sebagai cara pembodohan dan pemiskinan melalui ‘demokrasi’ dan negera kita dipuji sebagai ‘Negara demokrasi’ itu membuat kita bangga.Setelah itu apa yang terjadi? Yang menang maunya berkuasa sendiri.Jangankan dengan lawan politik, teman saja jadi musuh dan yang kalah mendendam seolah mereka berdiri ‘di Negara lain’ tidak ada lagi kerjasama antara tokoh yang berpengalaman dangan yang baru untuk membangun negeri ini. Yang ada perseteruan untuk saling menjatuhkan bukan saling mendukung. Semua larut dengan ego masing-masing. Korupsi makin marak, hutang Negara makin membengkak. Kalau paradigma berpikir tidak dirubah saya punya keyakinan,pelan tapi pasti perahu negeri ini benar-benar akan karam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun