Disusun oleh : Yulia Kartika
Dosen Pengampu: Dr. Heny Hendrayati, S.IP., M.M, Anisa Ciptagustia, S.E., M.M, dan Yoga Perdana, S.E., M.SM
Program Studi Manajemen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
Di tengah polemik pencarian berbagai cara untuk mencegah penyebaran COVID-19 dan pemulihan perekonomian negara, pemerintah Indonesia menggemparkan masyarakatnya dengan munculnya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Apakah itu Omnibus Law UU Cipta Kerja? Mengapa masyarakat sangat menolah Omnibus Law UU Cipta Kerja?Masih Adakah Etika dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja?
Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah suatu undang-undang yang disusun dengan mengangkat isu besar dengan mengubah atau mencabut beberapa undang-undang menjadi lebih sedehana. Omnibus Law UU Cipta Kerja sendiri bukan hanya diterapkan oleh Indonesia saja, sebelumnya Kanada, Filipina, Turki, Selandia Baru, dan Australia sudah menerapkannya.Â
Negara-negara tersebut menerapkan Omnibus Law UU Cipta Kerja untuk konteks yang mengarah pada keuangan makro, seperti perdagangan internasional, investasi, dan perpajakan. Lalu, bagaimana penerapannya pada Indonesia?
Penerapan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Indonesia mirip dengan Filipina, yaitu dalam konteks investasi. Bukankah itu hal yang bagus? Bukankah itu dapat membantu pemulihan ekonomi negara? Namun, bukan hal itu yang disorot oleh masyarakat, melainkan isu ketenagakerjaan yang dinilai merugikan buruh/pekerja. Kenapa? Omnibus Law UU Cipta Kerja Omnibus Law UU Cipta Kerja dinilai mengabaikan kompetensi sumber daya manusia dengan lebih memfokuskan pada peningkatan ekonomi.
Beberapa hal yang disorot terkait ketenagakerjaan, yaitu: adanya perubahan ketentuan upah minimum. Dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa diantara Pasal 88 dan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan akan disisipkan tujuh pasal tambahan.
Salah satunya adalah Pasal 88C yang berbunyi: (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jarring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimasud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Hal ini menimbulkan kontra karena Upah Minimum Provisnis lebih rendah dibandingkan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Sektoral. Tidak ada alasan yang mendasar terkait penghapusan UMK dan Updah Minimum Sektoral ini. Penerapan ini memperpanjang alur pengaturan upah minimum ke ketentuan yang lain dan berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum.
Selanjutnya perubahan konsep untuk pemutusan kerja. Dalam Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan berbunyi," Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja."Â
Berubah dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja menjadi "Pemutusan hubungan kerja dilasanakan berdasarkan keputusan antara pengusaha dengan pekerja/buruh."Â