"Buk, kalau aku ambil jurusan non IPA boleh?" itu pertanyaan anak saya ketika dia duduk di kelas 10 menjelang naik ke kelas 11.Â
Saya tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Yang sekolah 'kan kamu Le? Pilih saja jurusan yang kamu suka, temukan passionmu dan belajar yang baik," jawab saya.
Anak saya tersenyum lega. "Baik, saya pilih bahasa," katanya kemudian. Rupanya dia memiliki kekhawatiran kalau saya menginginkan dia masuk IPA seperti saya.
Pertanyaan itu muncul sekitar tahun 2012, ketika anak saya duduk di kelas sepuluh SMA.Â
Saat itu penjurusan dilakukan di ke kelas sebelas. Jadi sejak di semester dua kelas sepuluh, siswa sudah diberi arahan tentang jurusan yang bisa mereka ambil nantinya, jurusan kuliah ketika mereka lulus, juga peluang kerja mereka ke depannya.Â
Dalam hal ini peran wali kelas dan BK sangat besar. Mereka memberikan pandangan dan arahan agar siswa bisa mengambil jurusan sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka.
Di masa itu ada tiga jurusan yang bisa dipilih siswa yaitu  IPA, IPS dan bahasa. Berbeda dengan masa saya sekolah dulu dimana  penjurusan SMA menggunakan istilah A1 (Fisika), A2 (Biologi), A3( ilmu sosial) dan A4 ( Ilmu Bahasa).
Tidak bisa dipungkiri, dari dulu ketika ada penjurusan, jurusan IPA selalu menjadi primadona.
Sebagian besar siswa memilih IPA sebagai pilihan pertama sesudah itu baru IPS atau bahasa.Â
Besarnya minat untuk masuk IPA bisa dilihat dari banyaknya kelas. Â Di SMA biasanya kelas IPA selalu lebih banyak daripada IPS atau bahasa. Di masa saya sekolah, kelas IPA Â (A1 dan A2) ada lima kelas, IPS dua kelas, dan bahasa satu kelas.