Novel Larasati ini saya temukan di perpustakaan beberapa hari yang lalu. Berbeda dengan tetralogi Pulau Buru yang bukunya tebal-tebal, novel Larasati ini agak tipis, kira- kira terdiri atas 177 halaman.
Buku ini diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 2003, dan pada tahun 2018, buku ini sudah sampai pada cetakan ke-11.
Covernya menarik. Â Perempuan cantik dengan riasan "tempo dulu" , tersenyum pada orang sekitarnya.Â
Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis besar yang dimiliki Indonesia memiliki daya tarik tersendiri dalam karya-karyanya.
Karya Pram seringkali membahas tema-tema yang kuat dan relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia, seperti perjuangan kemerdekaan, kesetaraan sosial juga hak asasi manusia.
Daya tarik lain dari tulisan Pram adalah bahasanya yang sederhana namun sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang kompleks.
Seperti halnya novel Larasati ini, meski tidak begitu tebal tapi banyak memberikan pesan tentang kesetaraan sosial, hak asasi manusia juga perang kemerdekaan.
Diceritakan bahwa Larasati atau terkenal dengan nama Ara adalah artis film populer yang pro republik.
Setelah setahun tinggal di Yogyakarta, ia kembali ke Jakarta naik kereta api untuk mengembangkan karier sekaligus menemui Lasmidjah ibunya.
Perjalanan Ara berakhir dengan penggeledahan oleh pasukan NICA di bawah pimpinan kolonel sekaligus produser film, Surjo Sentono.Â