Lebaran kurang dua hari lagi. Â Seperti biasanya rumah bersolek demikian cantik. Â Kelambu baru, Â taplak baru, Â toples baru, Â kaca yang dilap, aroma cat tembok.. Hemm, Â betapa indah terasa. Â
Aku sedang menata uang baru yang baru saja kutukarkan di tempat penukaran uang di pinggir jalan. Â Jika di tahun sebelumnya aku selalu titip teman untuk menukarkan uang di bank, Â tahun ini tidak lagi. Â Mungkin takut kerumunan, temanku tahun ini lebih suka menukar uang di pinggir jalan juga.
Dalam amplop-amplop mungil uang baru dengan baunya yang khas kumasukkan. Â Untuk keponakan usia SD kuisi dua lembar lima ribuan, Â yang lebih besar lima lembar limaribuan. Â Sedangkan untuk anak- anak kampung sudah kusiapkan lembaran dua ribuan sebanyak lima puluh lembar. Di kampungku banyak anak kecil. Â Bahkan tidak menutup kemungkinan anak kampung sebelah bersilaturahmi juga ke rumah meskipun tidak kenal. Â Yang penting pulangnya dapat salam tempel. Â Silaturahminyapun tidak hanya di hari pertama. Â Bisa di hari kedua atau ketiga.
"Perlu dibantu Buk? " tanya anakku sambil mendekat.
"Boleh, Â masukkan ke dalam amplop ini, Â " kataku sambil menyerahkan amplop amplop lucu bergambar warna-warni.Â
"Hmm, Â banyak sekali, " kata anakku lagi.
"Ya iyalah, Â ibuk hitung keponakan kecil ada 7 keponakan besar 4, total 11 orang, " jawabku.
Anakku memasukkan uang-uang itu ke dalamamplop. "Oh ya, Â ibuk tadi dicari Buk Jajan, "katanya.
"Oh ya? Â " aku agak terkejut. Â Buk Jajan adalah langganan jajan yang setiap pagi datang ke rumah. Orangnya sudah sepuh, tapi masih bersemangat keliling kampung dengan membawa keranjang besar berisi macam-macam jajan. Sudah lama Buk Jajan tak datang ke rumah.
"Buk Jajan bilang apa? " tanyaku.
"Tidak ngomong apa-apa, Â cuma titip salam ke Ibuk. Lama tidak bisa ke sini karena asam uratnya kambuh, " jawab anakku lagi.