Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ibu, Madrasah Anak yang Pertama

4 April 2021   21:32 Diperbarui: 9 April 2021   04:31 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ibu dan anak. (sumber: pixabay.com/ArmyAmber)

Buktinya saat menunggu anaknya belajar mereka bisa bergurau akrab di halaman sekolah. Barangkali bernostalgia semasa mereka sekolah di madrasah putri dulu. 

Secara garis besar respon siswa madrasah terhadap mata pelajaran matematika dan IPA yang saya ajarkan ada dua macam. Ada yang acuh, menganggap itu kurang perlu karena 'bukan ilmu akherat', tapi ada juga yang sangat antusias. Untuk golongan kedua ini biasanya yang punya keinginan untuk melanjutkan ke SMP umum.

Mereka merasa bahwa pelajaran umum yang mereka terima masih kalah dibandingkan SD, sehingga mereka harus berusaha lebih keras memahami mata pelajaran umum. Bahkan beberapa minta tambahan belajar/les. 

Saat itu saya masih bisa memberikan les privat dari rumah ke rumah. Nah, melalui les ini saya bisa tahu lebih dekat keseharian siswa di rumah dan latar belakang keluarganya.

Banyak di antara siswa saya yang orang tuanya terutama ibunya tidak bersekolah tinggi. Ini menurut cerita ibu mereka sendiri saat kami ngobrol sesudah les. Ibu-ibu ini mayoritas menikah sesudah SD atauSMP. Biasanya perjodohan sudah diatur orang tua dan mereka tinggal menjalani.

Bagaimana jika punya anak? Pembantu harus punya. Bayangkan seusia lulusan SMP sudah punya anak. Pasti ribet sekali. Solusinya satu anak satu pembantu, jadi tiap punya anak tambah satu pembantu. Itu bagi yang mapan secara ekonomi. Jika dari keluarga biasa-biasa saja, orang tua (nenek) yang ikut membantu.

Kepada anak perempuan biasanya mereka tidak begitu menuntut prestasi yang bagus di sekolah. Bagus syukur, tidak bagus tak apalah. Tugas perempuan nanti kan 'hanya' membesarkan anak-anak dan melayani suami.

Pernah saya memberi les pada anak laki-laki dari pemilik yayasan. Setiap kali saya datang ke rumah, yang menyiapkan dan meladeni kepentingan anak ini adalah kakak perempuannya yang nota bene tidak sekolah karena sudah lulus SMP. 

Hal tersebut seperti biasa saja.Tugas anak perempuan di belakang dan laki laki harus sekolah karena nantinya mengurus usaha keluarga.

Akhir tahun pelajaran adalah saat yang sering membuat saya 'patah hati'. Betapa tidak, selalu saja ada siswa saya yang tidak bisa meneruskan sekolah karena tidak boleh.

Dengan alasan jodohnya sudah menunggu, lamaran sudah diterima orang tuanya atau dalam keluarga mereka anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Apalagi yang bukan ilmu agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun