Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aisha Weddings dan Kebiasaan Segelintir Masyarakat di Sekitar Kita

15 Februari 2021   14:14 Diperbarui: 15 Februari 2021   14:30 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : pontianak.tribunnews 

Membaca berita  tentang Wedding Organizer Aisha Weddings dan kampanyenya untuk menikah di usia dini membuat saya ingat pengalaman saat mengajar madrasah putri (setingkat SD) di kota saya.  Madrasah tempat saya mengajar dikelola oleh sebuah yayasan yang mempunyai peraturan siswa putra dan siswa putri harus dipisah.  

Siswa putra diajar guru putra,  siswa putri diajar guru putri.  Siswa saya lumayan banyak.  Dalam satu kelas ada sekitar 25-30 anak dengan kelas paralel masing-masing dua sehingga total ada dua belas kelas. 

Mengajarkan ilmu umum di madrasah sangat menyenangkan. Siswa saya begitu antusias terutama dengan matematika dan IPA. Bahkan beberapa anak sampai minta les tambahan di luar jam sekolah. Karena saat itu saya masih baru lulus, dan ini adalah tahun pertama saya mengajar, semangat masih 45. Saya melayani les, ada yang privat, ada pula yang berkelompok. 

Dalam pemberian les ini ada satu kelompok yang sangat berbeda.  Dibandingkan dengan kelompok yang lain. kelompok yang beranggotakan empat anak  ini paling bersemangat,  banyak bertanya dan rajin. Memang kebetulan anggotanya anak-anak yang pintar dan kritis di kelas, baik dalam mapel umum atau agama. Senang sekali rasanya berhadapan dengan para generasi penerus yang cerdas.

Seiring bergulirnya waktu tibalah pada saat siswa harus menghadapi ujian.  Saya semakin sibuk.  Baik mengejar materi di sekolah maupun les.

Saya bertanya pada siswa saya satu persatu, nanti sesudah lulus mau masuk ke mana?  Jawaban mereka  hampir sama,  masuk MTsN.  Di kota saya ada sebuah  MTsN bagus yang merupakan favorit dari siswa dalam maupun luar kota.

Ketika ujian kurang tiga hari lagi.  Tiba-tiba satu dari empat anak ini katakanlah A berhenti les. Lho kenapa? Setelah saya tanyakan pada temannya satu kelompok ternyata dengan senyum-senyum mereka menjawab, " Si A masa depannya sudah jelas enak,  Bu.., "

Saya masih belum mengerti.  Saya pikir dia punya channel untuk bisa masuk ke MTsN. 

"Ibu, ini rahasia ya.. Si A tadi malam dilamar,  dan lulus SD ini dia akan menikah dan langsung diboyong ke luar negeri, " bisik B.

"Jadi, dia tidak melanjutkan sekolah? " tanya saya lagi.

"Yah,  Ibu,  sudah kaya untuk apa sekolah? " jawab anak-anak.  Oalah..  Jadi ini definisi masa depan yang enak menurut mereka.  Saya baru menyadari lingkungan tempat saya mengajar.  Menikah sesudah lulus SD adalah hal biasa.  Apalagi jika suaminya kaya, itu adalah sebuah kesuksesan tersendiri. Teman-teman saya yang sudah lama mengajar memahami keterkejutan saya.  Mereka menambahkan bahkan saat bertemu alumni mereka tidak berani bertanya meneruskan kemana?  Atau kuliah dimana?  Pertanyaan yang selalu muncul adalah sekarang anaknya berapa?

Mungkin karena praktik menikahkan anak di bawah umur masih  dilakukan segelintir masyarakat sekitar kita maka  AW begitu percaya diri melakukan kampanye untuk menikah di usia yang teramat muda. Dibalut dengan sentuhan agama pula. Di Negara ini sesuatu yang dibalut dengan isu agama pasti akan laris manis.

Tapi apakah benar Islam mengajarkan seperti itu? Memang menikah,berbakti pada suami adalah ibadah yang tinggi nilainya bagi wanita.  Namun itu bukan satu-satunya jalan bagi  wanita untuk beribadah. Islam sangat menghargai wanita, mereka mempunyai hak yang sama dengan kaum pria untuk menuntut ilmu.

Banyak  wanita-wanita pintar di zaman nabi.  Aisyah adalah wanita cerdas yang meriwayatkan banyak hadis.  Khadijah adalah pebisnis yang handal yang dengan kekayaannya mendukung perjuangan nabi. Juga saat Nabi di Madinah, ada seorang perempuan bernama Rufaidah yang ditunjuk Nabi untuk mengelola sebuah rumah sakit lapangan di sekitar Masjid an-Nabawi di Madinah. Rumah sakit lapangan itu melayani mereka yang membutuhkan perawatan medis, serta sebagai tempat penampungan. (at Thabari dalam kitab Tarikh al Rusul wa-al Muluk)  

Menikahkan perempuan di kala masih terlalu muda sungguh menyimpan banyak masalah seperti angka perceraian yang tinggi,  kualitas kesehatan ibu dan anak yang rendah. 

Bayangkan saja jika ibunya yang kemarin baru main anak-anakan kini harus menggendong anak sungguhan, bisakah mereka mendidik atau mengasuh anak dengan baik?

Pernikahan bukan hanya masalah pemenuhan kebutuhan fisik saja tapi kematangan mental spiritual sangat diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul di dalamnya. 

Jangan lupa pada akhirnya pernikahan akan menghasilkan generasi yang kualitasnya amat ditentukan oleh kedua orang tuanya terutama ibunya. Karena ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak.

 "Al-Ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq".

Artinya: Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun