Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Radio Antik

18 Maret 2018   19:35 Diperbarui: 18 Maret 2018   21:20 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah ! Je bingung nih, mau main sama Teddy Bear yang coklat atau yang putih.

Coba dengarkan kata hati kamu, Jema.

Mendengarkan kata hati itu bagaimana sih caranya, Ayah ?

Begini. Pejamkan mata kamu, tenangkan pikiran, tarik napas beberapa kali, lalu dengarkan suara yang pertama kali muncul dalam kepalamu. Santai saja, jangan terburu-buru.

Hmm ……. hmm ……. hmmm ………. Mana Yah ? Kok nggak kedengaran apa-apa ?

Sabar, tunggu sebentar lagi. Sampai terdengar jawaban dari kata hati Jema yang paling dalam.

Hmmm ….. hmmmm …. hmmmm ….hmmmm … Ooooh ! Putih ! Putih, Ayah !

Naah, bisa kan ? Pintar anak Ayah. Pokoknya, setiap Jema lagi bingung, ingat apa yang Ayah ajarkan tadi ya.

Tapi Yah, kalau hati Je lagi bandel, terus kasih jawaban yang salah, gimana ?

Hahaha ! Kamu lucu sekali sih. Ya sudah, kapan-kapan kalau hati Jema sedang bandel, Jema bilang aja sama Ayah, biar Ayah bantu.

Tapi kalau Ayah lagi kerja di kantor gimana ? Je kan di rumah.

Tenang saja Sayang, Ayah pasti dengar kok suara hati kamu, dimanapun Ayah berada.

***

Jema mendesah lirih menatap dinding kamar yang bertempelkan deretan foto kenangan duabelas tahun kebersamaan yang dijalaninya bersama Ayah tercinta sebelum beliau meninggal.

“Je,” Ibu memanggil melalui celah pintu yang sedikit terbuka, “Ibu sudah selesai masak nih. Makan dulu yuk.”

“Iya Bu,” Je bangkit dari tempat tidur ibunya dan meraih sebuah radio kecil dari atas buffet ; radio kesayangan Ayah dulu, “Bu, radio ini masih nyala nggak ?”

“Mm … sepertinya sih masih. Ibu sudah lama sekali nggak mendengarkan radio itu. Selama ini hanya Ibu bersihkan saja. Coba aja kamu nyalakan tombol powernya.”

“Oh,” Jema mengutak-atik sisi samping radio itu, mencari tombol powernya.

“Ayuk, kita makan dulu. Kamu bawa saja nanti radio itu ke rumah baru. Kalau sudah nggak bisa dipakai, ya dipajang saja sebagai kenang-kenangan. Radio itu dulu hadiah dari orangtuanya Kakek yang dihadiahkan lagi untuk Ayah kamu lho, semasa sekolah dulu.”

“Wow, berarti radio antik nih Bu.”

“Iya. Makanya, kamu simpan baik-baik ya. O ya. Baju pengantin kamu sudah selesai ya ?”

“Iya, Bu. Kata penjahitnya besok bisa kita ambil. Baju seragam ibu dan keluarga besar juga sudah selesai.”

“Pembayarannya bagaimana ?”

“Mas Yudha mau lunasin besok Bu. Sekalian sama cateringnya.”

***

“KRRSRRRSSSR …. KRRRSSKKKKSSS …”

Jema buru-buru meraih tombol volume dan memutarnya ke kiri. Khawatir Ibu yang berada di kamar sebelah jadi terbangun karena berisik.

Setelah mencari-cari gelombang yang pas tapi tidak berhasil juga, akhirnya Jema mematikannya.

***

“Bagus ya Bu, baju pengantinnya ?”

“Iya, bagus banget. Baju seragam Ibu juga bagus ya.”

“Iya Bu. Je suka banget !”

“Pembayarannya sudah dilunasi kan tadi, sama Yudha ?”

“Mm … belum Bu. Katanya Mas Yudha lupa bawa kartu kreditnya. ATM juga nggak bawa. Jadi tadi Je bayarin dulu.”

“Oh …. kalau .... cateringnya ?”

“Nah itu dia Bu. Tadi Mas Yudha juga minta Je bayarin dulu, tapi Je kan nggak ada uang lagi. Jadi katanya besok mau dilunasin sekalian.”

“Hmm … gitu.”

***

“Kkrrssskkkrrsskk ….krrrsskkrr …”

Jema masih saja sibuk memutar-mutar tombol tuning kecil itu. Penasaran ingin merasakan bagaimana rasanya mendengarkan siaran radio dari sebuah radio antik. Sayang, sepertinya radio itu memang sudah benar-benar tidak bisa dipakai. Akhirnya Jema menyerah dan mematikan tombol powernya.

Tring !

Jema melirik layar smartphonenya. Whatsapp dari Mas Yudha.

Je, besok tolong lunasin dulu ya uang cateringnya. Soalnya aku kayaknya besok bakal sibuk banget deh seharian di kantor.

Yah, aku nggak ada uang lagi Mas. Kemarin kan udah bayar baju pengantin dan baju seragam keluarga.

Coba pinjam aja dulu ke Ibu.

Nggak bisa juga Mas. Kemarin waktu ngelunasin uang gedung kan udah pakai uang Ibu. Dan kamu juga belum ganti uangnya sampai sekarang.

Iya nanti pasti aku ganti semua kok.

Tapi kapan Mas ?

Ya pokoknya aku ganti lah. Tenang aja.

Trus, jadi besok gimana soal cateringnya ?

Coba deh kamu cari cara supaya bisa dibayar dulu. Oke ?

Mmm … ya udah deh …

Huft, Jema merebahkan diri di tempat tidur. Menikah itu ternyata memang repot. Dan menghabiskan banyak dana.

Mudah-mudahan semua ini cepat selesai dan aku bisa memulai rumah tangga yang bahagia dengan Mas Yudha, harap Jema.

“KKrrRSSskKKKk……”

Jema menoleh heran. Radio itu tiba-tiba berbunyi sendiri. Ia segera meraih dan mengecek tombol powernya. Tombolnya dalam posisi menyala. Padahal Jema yakin sekali tadi sudah mematikannya.

“KrrkkkaaAAsssRraaaAA …..!”

“ZzrrRRSSssaaakkRRriiiiiiiiiii …..!"

Dengan penuh keheranan Jema mematikan tombol powernya. Menekan dengan keras untuk meyakinkan radio itu benar-benar mati. Dan meletakkannya di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya.

***

Jema berbaring telungkup di atas tempat tidur menatap layar smartphonenya. Menunggu Mas Yudha membalas chat yang tak juga dibaca sejak pagi.

“ZzJjjjrreeeaaAAaasssSSSrrrkkk ….!”

Lagi-lagi radio itu menyala sendiri.

“Zzjjreeemmmzzzzssrr …!”

“ZzeeezzzzSSrrrraaAAaaaa … !”

Jema terduduk di atas tempat tidurnya. Mencermati.

Suara kresek-kreseknya terdengar berbeda. Sepertinya sedikit menangkap siaran berita tetapi tertutup oleh suara gangguan gelombang yang tidak pas.

Jema membesarkan volumenya.

Tring !

Jema terlonjak oleh bunyi notifikasi dari smartphonenya sendiri.

Je, aku masih di kantor nih. Gimana tadi cateringnya ? Sudah kamu bayar kan ?

Belum Mas. Makanya dari tadi aku whatsapp kamu. Orang cateringnya udah nelponin aku terus.

Kamu nggak bisa pinjam dulu ke siapa gitu ?

Nggak ada yang bisa dipinjam Mas.

Duuh, trus gimana dong ?

Ya aku nggak tahu Mas. Aku juga bingung.

Kamu harusnya bantu aku dong. Aku kan lagi sibuk.

Ya aku sih maunya bantu Mas. Tapi nggak tau gimana caranya. Lagipula Mas kan yang bilang sejak awal kalau mau biayain semuanya. Kan dulu aku udah bilang kita bikin acaranya yang sederhana aja. Tapi kamu kan, yang pingin bikin pesta meriah.

Lho kok kamu jadi nyalahin aku sih.

Bukan nyalahin Mas. Aku cuma membela diri karena tadi kamu bilang aku nggak mau bantu.

Ahh, ya sudahlah. Males ribut aku. Aku mau lanjut kerja dulu.

Jema meletakkan smartphonenya di meja dengan kasar.

Rasa kesalnya mulai memuncak.

“ZZzzjjjeeMMmmaaaa ….!”

Jema menatap radio itu dengan tegang. Suara dari radio itu seperti memanggilnya.

“JjjjeeeemMMmmAaaAAaa …. !”

Jema ternganga.

Itu …

Itu seperti ….

Suara ….

Suara … Ayah …?

“JzzjjeeMMmaaaaAAa …!”

Suara itu terdengar semakin jelas.

Dengan tangan gemetar Jema meraih radio itu. Dan merapatkan ke telinganya.

“A … ay … ayah …?” bisik Jema sambil merasa heran sendiri dengan apa yang dilakukannya.

“JjeeemMmmaaAAaa …..!”

Suara itu terdengar sangat jauh.

Hilang timbul.

Dan sangat lambat.

Seperti suara orang bicara yang diedit menggunakan efek slow motion.

Jema membesarkan volume sampai batas maksimal dan kembali merapatkan telinganya.

“Ayah ….?”

“JjjeeEEEEemMMmAAAaa AAaa … ttTTiiii ….”

“Ayah ? Ini Ayah ?”

Jema merasa dadanya sesak.

Ini benar-benar suara Ayah.

Suara Ayah yang sangat dikenalnya.

Yang selalu memanggilnya dengan Jema. Bukan hanya Je seperti Ibu.

“AyaAhh …. Ayah di … di … mana ..?” Jema berbisik sambil terisak.

“JeEEEeeEmMMmmaaaaaa aAaatTttiiii ….”

“Apa ….? Ayah bilang apa ? Jema nggak ngerti …”

Jema mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir.

“DdeEeengaAaaarRRrrr kaaaAaaaa …. ttiiiiiii …..JeeEEEmmMMmmmaAAa…”

Air mata Jema mengalir semakin deras.

“Ayah …. Ayah … Jema kangen Ayah … Ayah dimana …?”

“AadDDdaaAAA .... AayyYYYyaAAAaahHHhh aaddDDDdaaaAASSaa …. DiiSSssinnNNNiiiissSSSSslllaaAASSallluUUUUu …”

Jema memeluk radio itu erat-erat di dadanya dan menangis tersedu.

“DeeEennNNggGaaAArrrrRrrkKKkaattaAAatttaa hHHaaATttiiii JjeeEEmmMMmaaaaa …..!!”

“Iya Ayah, iya. Je mengerti. Je mengerti, Ayah …”

***

“Je, kamu … benar-benar yakin dengan keputusan kamu ini ?”

“Yakin Bu,” jawab Jema tegas. Ibu mendesah.

“Maafin Je ya, Bu. Sudah mengecewakan dan bikin malu Ibu.”

Ibu menggeleng dan membelai kepala Jema, “Ibu nggak kecewa kok. Nggak juga marah atau malu. Ibu cuma kasihan sama kamu karena harus mengalami hal seperti ini.”

“Nggak apa-apa Bu. Lebih baik Je membatalkan pernikahan ini sejak awal. Daripada Je harus hidup seterusnya bersama orang yang kurang bertanggung jawab dan egois seperti Mas Yudha.”

“Tapi … Ibu kira kamu benar-benar cinta sama Yudha ?”

“Ya memang Bu. Tadinya memang cinta. Tapi … semakin kesini, semakin terlihat kalau sebenarnya kami berdua nggak cocok. Sifat kurang baiknya semakin terlihat.”

“Ya sudah. Ibu sih bersyukur kamu bisa mengambil keputusan sebijaksana dan seberani ini. Mau menyadari dan mengakui bahwa keputusan yang kamu ambil itu kurang tepat.”

“Iya Bu. Je sudah mendengarkan kata hati Je sendiri. Seperti pesan Ayah tadi.”

“Ha ...? Tadi ?” Ibu mengernyit bingung.

“Eh, maksud Je, seperti yang selalu Ayah bilang ke Je sejak dulu. Supaya Je selalu mengikuti kata hati. Kata hati Je yang paling dalam.”

“Oh, begitu.”

“Ya sudah Bu, Je berkemas lagi ya, mau kembali ke tempat kost. Radionya Je bawa ya Bu.”

“Iya Je. Disimpan dan dirawat baik-baik ya.”

“Pasti Bu.”

END.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun