Rizal De Loesie
Andaikan, diriku penyair yang mampu memajaskan betapa banyak bentangan benang yang harus kutenun menjad puisi. Melelapkan sari jiwaku dan mungkin mengetuk jendelamu seiiring derik malam yang dimainkan angan.Â
Membawa buayan kata, menidurkannya. Dengan rima menina bobokan kerdipan bintang yang kau ramu menjadi rindu.
Tetapi, bulan menjadi sabit. Sesipit matamu menjamu kunang-kunang yang beterbangan di teras surga. Cahaya kerlip itu dari kejauhan, kilauan sisa ombak yang pecah di dadaku. Bukankah itu suar-suar rindu yang menjelma menjadi butiran pasir.Â
Maka dari itu, izinkanlah kukecupkan air mata di tiap jemari kakimu. Bukan untuk menangisi buritan pecah. Bukan melempar sauh di tengah doa
Seperti sangga tiang dermaga yang berabab menahan empasan ombak. Perihal rindu adalah tiang kasih. Bersebab jarak dan lorong waktu maka dari rahim masa terjerat raut wajahmu di dinding, di bias embun. Namun kutemuan hanya diriku, Â
Mungkin di gulungan ombak aku bertaruh basah. Di tengah badai aku menuai renyai.
Tetapi dahan maaf bernapas ikhlas, karena kasih tak pernah salah. Bila nanti seujung lautan itu engkau terdampar, maka dadaku seluas samudra tempatmu bersandar.
Bandung, 2020