Di mana cicit murai, Â dahan ceria dedaunan
Di sini, katamu dahulu keindahan menyatu
Merasuki pribadi dan tata krama budaya itu
Kelembutan dan desau bayu
Daunan kering yang jatuh melayang
Dihamparan ilalang tak henti bergoyang
Luas cakrawala di ujung kaki
Sejuknya menyerap dupa dan doa
Â
Dari sini, adalah perbukitan tersisa
Belum sempat di garis dan di petaki
Sebentar lagi dikalungi kawat berduri
Ambisi manusia tiada henti
Jauh hampar pandang kelembah, dahulunya jurang
Atap gedung dan rumah mewah. Berkilau bias matahari
Tak ada ruang tersisa, tak ada jeda kembara
Â
Tanah-tanah kita, bukan lagi milik kita
Tanah menjadi rumah, rumah digusur jadi losmen
Menjelma hotel dan cottage.
Kita tak sempat jadi tamunya,
Apalagi pemiliknya
Inilah dendang sunyi anak negeri
Menatap megah dari bawah
Inilah  deru pembangunan
Membagun dan menghapuskan
Membangkitkan dan menghilangkan
Â
Kita dihiasai pernik modernisasi,
Dengan standar operasi
Masuk ketanah leluhur  sendiri
Harus lapor sana sani,
Bukankah  di tanah ini  darah tumpah
Darah pahlawan dan leluhur
Kita sudah terbiasa mengukur
Tak lagi tafakur
**
Â
Bandung, Â 8 Januari 2019