Mohon tunggu...
Yudo Mahendro
Yudo Mahendro Mohon Tunggu... Ilmuwan - sosiologi, budaya, dan sejarah

Alumni UNJ, belajar bersama Masyarakat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sang Kiayi: Sederhana Hidupnya, Sederhana Ajarannya

20 Juli 2011   08:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:32 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bersyukur kepada Allah, sekali lagi saya diberikan kesempatan untuk mengunjungi Wonosobo. Diantara kesibukan aktivitas dalam mendampingi adik-adik Sosiologi UNJ dalam menjalankan pelatihan penelitian, saya bersama dosen-dosen berkunjung ke salah satu pesantren tertua di daerah ini. Sesungguhnya, sejarah Wonosobo tidak bisa dilepaskan dari kehidupan pesantren, sehingga wajar kalau kabupaten yang terdapat Gunung Sindoro dan Sumbing ini terkenal juga sebagai kota santri. Salah satu pesantren bersejarahlah yang kami kunjungi, yaitu pesantren Al Musrif Bendosari kecamatan Sepuran. Pesantren ini didirikan oleh Kiyai Asmoro Sufi, salah satu dari tiga orang pendiri daerah Wonosobo.

Kiayi Asmoro Sufi hidup se-zaman dengan Pangeran Diponegoro, yang masih memiliki keturunan dari Raja Brawijaya V. Dia merupakan salah satu pejuang yang bersama-sama dengan Pangeran Diponogoro melawan pemerintah kolonial dengan panji-panji jihad fisabilillah. Namun, karena kegagalan peperangan itu, Kiayi Asmoro Shufi akhirnya membuat pesantren itu sebagai suatu media perjuangan lewat jalur pendidikan. Semangat itu pun telah membuahkan hasil, pesantren ini pun telah banyak melahirkan tokoh-tokoh pendidikan Islam, khususnya di Wonosobo. Salah satunya, pendidiri UNSIQ Wonosobo di Kali Anget adalah juga keturunan Kiayai Asmoro Shufi.

Pimpinan pesantren Al Musrif Bendosari Sepuran adalah kiayi Nur Sidik generasi ke-6 dari Kiyai Asmoro Shufi. Pertemuan kami yang begitu singkat itu begitu berkesan. Di awali dengan ziarah kubur ke makam Kiyai Asmoro Sufi, kami akhirnya berkunjung ke rumah sang kiyai yang berada dalam kompleks pesantren ini. Di dalam Rumahnya begitu sederhana, kami ber-10 duduk bersila dalam ruang tamu yang cukup luas ditemani suguhan-suguhan yang juga sangat sederhana. Teh manis, serta makanan-makanan kecil khas lokal disajikan di tengah-tengah kami. Cukup lama sekali kami menunggu kedatangan pak kiyai, kalau saya hitung hampir 45 menit kami menunggu. Celotehan-celotehan kecil pun saling bersambut, tentunya obrolan yang muncul pun terkait dengan kehidupan kiyai, santri dan pesantren.

Tiba-tiba, wajah yang kelihatan berumur degan badan yang tegap dan kekar muncul hadir disela-sela obrolan kami. Undeng-undeng yang dipakainya sudah menjadi tanda yang jelas, bahwa orang inilah yang kami tunggu-tunggu. Suara berat yang keluar dimulutnya mengesankan begitu panjang pengalaman yang dilaluinya. Dari awal pembicaraanya, kita pun tau bahwa ada kesalahpahaman yang terjadi antara kita dan pak Kiyai. Karena Pak Kiyai ternyata tidak pernah merasa membuat janji dengan kita, namun dengan sigap para dosen-dosen saya yang begitu lihai berkata-kata pun dapat memecah kebuntuan. Sesungguhnya, kehadiran kita ke Pesantren ini adalah untuk memenuhi undangan adik pak Kiyai yang kami temui di acara pembukaan KKL di Kecamatan Sepuran untuk ziarah ke makam kiayi Asmoro Shufi, akan tetapi akibat mis komunikasi kita malah mengunjungi pak kiyai. Kesalahpahaman itupun dapat dengan cepat diluruskan dan suasana cair kembali untuk melanjutkan perbincangan lebih jauh.

Mempertahankan Substansi Ditengah Modernisasi

Mengetahui kita dari dari perguruan tinggi, sang kiyai pun merasa tertarik untuk membahas tentang pendidikan. Ia bercerita tentang pesantrennya yang kini membuka seklolah setingkat SMP. Usahanya itu tak lain adalah upaya agar para santri tidak hanya menguasai ilmu agama namun juga supaya mereka dapat melanjutkan jenjang pendidikan formal pasca mondok di pesantren ini. Mungkin bagi kita, mendengar ini sebagai suatu usaha yang biasa saja. namun, percaya tak percaya, bagi masyarakat di pedesaan khususnya yang berada dilingkup pesantren klasik, masih banyak yang mendikotomikan antara pendidikan formal dan agama. Bahkan beberapa kiyai ada yang melarang santrinya untuk bersekolah formal karena alasan pelajaran yang diberikan bersumber dari Barat (negeri non muslim).

Mungkin ini salah satu dampak dari usaha modernisasi pesantren yang dilakukan oleh Gus Dur pasca reformasi. Sehingga banyak pesantren-pesantren kini peduli dengan masa depan santri mereka dalam menjalani kehidupan yang semakin kompleks dan kompetitif ini. walaupun begitu, ternyata modernisasi pesantren juga banyak melahirkan masalah baru. Masalah yang mencolok adalah hilangnya peran kiyai dan santri sebagai guru dan problem solver bagi masyarakat lokal. Modernisasi ini telah membawa pesantren menjadi esklusif dan elit, tembok dan pagar tinggi telah menjadi pembatas fisik sekaligus sosial kehidupan masyarakat dengan pesantren. Oleh sebab itu, dibanyak tempat kini kiyai (pimpinan ponpes) tidak lagi menjadi idola di masyarakat, mereka merasa telah kehilangan tempat berkeluh kesah dan meminta petuah. Kiyai, ustad, dan santri, telah mengalami kesibukan yang amat sangat dalam proses belajar mengajar di pondok, mereka secara sadar ataupun tidak sudah mengurangi atau malah tidak sama sekali berinteraksi informal dengan warga sekitar yang mulai merasa kering dari nilai-nilai moral keislaman.

Kiayi Nur Sidik sebagai pimpinan Pesantren Al Musrif ini, merupakan tokoh dominan di kampung Bendosari. Walaupun mendapatkan otoritas besar dari darahnya, ia tetap menjalankan peran-peran sosial secara wajar yang umum dilakoni oleh warga desa. Dalam kesibukannya sebagai pengasuh para santri, ia masih menyibukan dirinya untuk mencari kayu di alas (hutan) dan mengurus tegalnya dengan tangannya sendiri. Hal ini dapat terlihat jelas dari kekar dan sehatnya badan sang kiayi dalam usianya sudah cukup tua karena aktifitas-aktifitas pertanian yang banyak menguras fisik. Sikap pak Kiyai yang merakyat ini, disokong dengan kesederhanaan bangunan fisik pesantren sekaligus rumahnya yang tidak berpagar. Oleh karena itu, siapapun, dari kelas sosial apapun orang yang ingin bersilaturahmi bertemu dengannya tidak merasa segan dan takut untuk berkunjung.

Kalau tidak salah menurut Cak Nur, ada empat elemen utama dari pesantren yaitu, kiyai, santri, masjid, dan warga sekitar. Walaupun kalau kita lihat dalam konteks ke kinian, rasanya sangat kurang sekali kalau hanya menjadikan 4 elemen itu sebagai suatu sandaran bagi pesantren. Namun, pada masa silam, penginapan (pondokan) dan kantin/tempat makan yang kini merupakan bangunan permanen, cukup diselanggarakan di rumah warga sekitar masjid dan rumah kiyai. Dengan demikian, santri itu bukan hanya warga pendatang yang berniat mencari ilmu agama kepada sang kiyai dari daerah luar, namun warga sekitar secara sadar telah menjadi bagian pencari ilmu (santri) tersebut. Rasa-rasanya kiyai Nur Sidik sangat memegang prinsip ini, sehingga ia memperbolehkan dan memfasilitasi pesantrennya digunakan untuk short course bagi siapa pun yang ingin belajar berdampingan dengan santri reguler yang telah terikat dengan kurikulum pesantren dan SMP. Short course inilah yang dapat menjembatani warga lokal yang telah memiliki aktivitas profesi untuk menimba ilmu di pesantren ini dalam upayanya memperdalam ilmu-ilmu agama dalam waktu yang tidak begitu lama.

Pesan yang Berkesan dari Sang Kiyai

Secara pribadi, saya berharap akan mendapatkan banyak siraman rohani dari sang kiyai. Berhubung memang dalam aktifitas perkotaan, sulit sekali menjalin hubungan mesra dengan sang Khalik. Dalam hati saya pun mengira rombongan ini pun menginginkan hal yang sama. Namun, Sang Kiyai dalam pembicaraannya tidak memuaskan hati saya yang sedang kering ini. Ia tidak serta merta memberikan wejangan, nasihat, ataupun petuah. Pak Kiyai menurut saya berusaha menahan diri untuk memberikan wasiat yang saya tunggu-tunggu itu, dalam dialog yang berkembang ia hanya memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari beberapa orang diantara kita yang bertanya. Pengetahuan yang kami dapat berkisar sejarah, kegiatan di pesantren dan nostalgia kehidupan sang kiayi dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun