Mohon tunggu...
Yudo Mahendro
Yudo Mahendro Mohon Tunggu... Ilmuwan - sosiologi, budaya, dan sejarah

Alumni UNJ, belajar bersama Masyarakat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melacak Jejak Pangeran Jayakarta

24 April 2020   20:20 Diperbarui: 24 April 2020   20:42 4490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membahas mengenai Pangeran Jayakarta membutuhkan ketelitian yang dalam. Hal ini terkait dengan jarak waktu yang begitu jauh dan terbatasnya sumber sejarah. Setidaknya ada beberapa versi yang mengemuka. Salah satunya ialah pangeran Jayakarta merupakan nama lain dari Fadilah Khan atau Faletehan. Soekirno (1995), dalam bukunya Pangeran Jayakarta: Perintis Jakarta melalui Sunda Kelapa mengonfirmasi versi tersebut. Menurut Soekirno, Fadilah Khan merupakan ulama muda asa Samudra Pasai yang dipersulit oleh oleh pemerintah Portugis untuk Kembali ke kampung halamanya di Aceh. Olehkarenanya, ia memutuskan untuk hijrah ke Jawa dan melakukan perjuangan bersama kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Fatahillah menikahi anak Sultan Tenggrana, yang merupakan adik dari Raden Patah yang bernama Puteri Wulung Ayu. Puteri Wulung Ayu merupakan janda Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus. Dengan demikian, Fatahillah memiliki ikatan kekerabatan dengan Demak maupun Cirebon. 

 Menurut Windoro Adi (2013) dengan bukunya yang berjudul "Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi" mengutip cerita yang berkembang di Jatinegara Kaum. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Jatinegara Kaum, yang terletak di Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, terdapat makam Pangeran Jayakarta. Menurut mereka, Pangeran Jayakarta merupakan 'gelar; yang turun temurun diberikan untuk penguasa Jakarta yang juga keturunan langsung dari Faletehan sebagai Pangeran Jayakarta I. Achmad Jaketra yang dimakamkan di sebelah masjid As Salafiah merupakan Pangeran Jayakarta ke IV yang merupakan anak dari Jayawikarta (Pangerang Jayakarta III). Jayawikarta merupakan anak dari Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II). Menurut versi ini ada ikatan yang kuat antara Pangeran Jayakarta dengan Kesultanan Banten karena Tubagus Angke menikah dengan putri pembayun anak dari Syeh Maulana Hasanudin.

Windoro menjelaskan bahwa di era, Jayawikarta (Pangeran Jayakarta III) wilayah ini menjadi Makmur karena dapat melaksanakan perdagangan terbuka dengan pihak luar sepeti VOC dan Inggris. Namun, akhirnya Jean Peterzoon Coen pada tahun 1619 dan menghancurkan kekuasaan Jayawikarta. Achmad Jaketra melanjutkan untuk memimpin dan memindahkan pusat pemukimannya ke daerah Jatinegara Kaum dan melakukan perlawanan terhadap belanda dengan taktik grilya. Semenjak itulah Jatinegara Kaum menjadi pusat perjuangan Pangeran Jayakarta ke IV, setelah itu tidak ada lagi penggunaan gelar Pangerang Jayakarta (V), karena anak dari Achad Jaketra yang bernama Pangeran Lahut karena terjadi perebutan kekuasaan. Selanjutnya para keturunan Pangeran Jayakarta tidak lagi menggunakan gelar pangeran, namun menggunakan gelar "ateng'. Saat ini, para keturunan Achmad Jaketra di Jatinegara kaum menggunakan gelar 'raden'. Sampai saat ini mereka menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun dan juga akibat adanya isolasi kampung ini terhadap dunia luar, karena menurut masyarakat di sana diamanatkan untuk menyembunyikan makam Pangeran Jayakarta IV.

Bukan hanya Jatinegara Kaum yang memiliki ikatan historis dengan Pangeran Jayakarta. Di Jalan Pangeran Jayakarta, Kecamatan Sawah Besar juga terdapat petilasan dan sumur tua yang dianggap menjadi saksi sejarah dari perjuangan Pangeran Jayakarta. Sumur tersebut merupakan tempat dibuangnya jubah Pangeran Jayakarta untuk mengelabui pasukan Peterzoon Coen yang menyerbu wilayah tersebut tahun 1619 (Kompas, 2016). Lokasi ini juga sering ditatangi peziarah yang ingin menyampaikan do'a untuk pendiri kota Jakarta ini.

Bagi beberapa sejarawan tidak setuju dengan versi yang sudah kita jelaskan sebelumnya. Tirto.id pernah pengangkat tema ini pada tahun 2019 dengan tajuk "Sejarah HUT Jakarta & Benarkah Fatahillah membantai rakyat Betawi?". Iswara N Raditya reporter yang menulis artikel tersebut sebenarnya merespon komentar dari Ridwan Saidi yang juga dikenal cukup intens mengkaji sejarah dan Budaya Betawi. Menurut Ridwan Saidi Istilah Jayakarta itu sudah ada jauh sebelum Islam dan bangsa-bangsa Eropa datang. Menurutnya, masyarakat Betawi memiliki akar yang kuat dengan sejarah kerajaan Padjajaran sejak masa Siliwangi. Ridwan Saidi juga mengaitkan situs Candi Blandongan sebagai bukti eksistenis masyarakat Betawi yang ada jauh sebelum Islam datang. Pernyataan kontroversial Ridwan Saidi ialah, pasukan Faletehan tidak hanya menghancurkan kekuatan Portugis, namun juga masyarakat asli Betawi yang belum memeluk Islam. Dalam sebuah unggahan di youtube.com, Ridwan Saidi lebih jauh juga mengeritisi peran dari Fatahillah, Tubagus Angke, dan keturunan lainnya. Selain dianggap tidak punya peran signifikan terhadap masyarakat Jakarta ia juga menyampaikan bahwa tidak ada bukti sejarah yang objektif yang menjelaskan tentang peranan mereka.

Dengan demikian permasalahan mendasar muncul terkait dengan sudah tepatkah tahun 1527 dianggap sebagai hari lahirnya kota Jakarta dengan ditaklukannya Sunda Kelapa oleh Fatahillah? Apakah mungkin Fatahillah sesorang yang memiliki ikatan erat dengan dunia Islam menamakan kota yang baru dengan istilah dari bahasa Sansekerta? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menyimpan tabir misteri yang perlu untuk terus digali.

    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun