Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Hilangnya Esensi Program Deradikalisasi

2 Desember 2019   17:21 Diperbarui: 4 Desember 2019   09:38 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: jalandamai.org

Kamis, 21 November 2019, penulis mendapatkan informasi bahwa Ismarwan kembali ditangkap oleh anggota Densus 88. Ismarwan merupakan seorang rekan kami yang pernah terlibat kasus terorisme di Aceh pada tahun 2010.

Dalam penangkapan kali ini, Ismarwan diduga terlibat melakukan latihan militer bersama jaringan kelompok JAD di Gunung Salak, Aceh Utara.

Sebenarnya, keterlibatan Ismarwan untuk kedua kalinya di dalam kasus terorisme setelah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan pada tahun 2015 bukanlah suatu fenomena yang mengejutkan. 

Karena ismarwan hanyalah bagian dari kontinuitas residivis kasus terorisme yang selama ini memang telah menjadi sorotan.

Sebelum ini ada nama Juhanda, yang pernah terlibat dalam kasus bom buku dan bebas pada Juli 2014, kembali melakukan aksi bom di Gereja Oikumene, Samarinda, pada tahun 2016.

Ada pula Sunakim, yang pernah terlibat kasus pelatihan militer di Aceh dan bebas pada September 2015, kembali melakukan aksi Bom Sarinah pada Desember 2016. 

Lalu ada lagi Yayat Cahdiyat alias Abu Salam, yang bebas pada tahun 2014 dan kembali melakukan aksi Bom Panci di Cicendo, Bandung, pada 27 Februari 2017.

Residivisme dan Deradikalisasi

Akibat dari terus berulangnya residivis kasus terorisme, efektifitas program Deradikalisasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dipertanyakan oleh sejumlah pihak.

Pengamat terorisme, Al-Chaidar (2016), menyatakan bahwa terus berulangnya aksi terorisme di Indonesia bukan semata karena lemahnya UU Terorisme, tapi juga harus dilihat sebagai gagalnya Deradikalisasi terhadap mantan narapidana teroris. 

Menurutnya, saat ini Deradikalisasi yang diusung oleh BNPT dan Lembaga Pemasyarakatan telah gagal.

Al Chaidar (2016) juga menjelaskan bahwa hingga saat ini program Deradikalisasi di Indonesia tidak memiliki konsep yang jelas. Adanya residivis kasus terorisme dan gelombang eksodus mantan narapidana terorisme ke Suriah dan Mindanao mencerminkan kegagalan program Deradikalisasi dalam upaya penanggulangan terorisme di Tanah Air. 

Seseorang yang kembali terlibat dalam kasus terorisme setelah ia keluar dari penjara dinilai sebagai kegagalan program Deradikalisasi yang dijalankan oleh pemerintah.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), yang menyatakan bahwa program rehabilitasi yang didanai pemerintah untuk menangani para pelaku terorisme yang dibebaskan dari penjara terbukti gagal.

Namun klaim kegagalan program Deradikalisasi ini dibantah oleh Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris. Menurut beliau, kasus-kasus terorisme yang melibatkan eks napi terorisme terjadi justru karena para pelaku tersebut tidak mengikuti program Deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT (metrotvnews.com, 2017).

Pernyataan Prof. Irfan Idris inilah yang membuat kasus Ismarwan menjadi sangat menarik. Karena selama menjalani masa tahanan hingga bebas dan kembali tertangkap, Ismarwan telah mengikuti seluruh program Deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT. 

Sehingga bisa dikatakan, kasus Ismarwan kini menjadi antitesis terhadap hipotesis Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris.

Memahami Deradikalisasi

Berdasarkan teori-teori yang berkembang seputar pembahasan counter-terrorism, cara terbaik dalam merehabilitasi para pelaku terorisme adalah melalui pendekatan lunak (soft approach). Pendekatan lunak dapat dilakukan dengan menjalankan program Deradikalisasi dan Disengagement.

Deradikalisasi adalah proses memoderasi ideologi radikal seseorang, sedangkan Disengagement adalah proses mengubah perilaku seseorang dengan menahan dirinya dari melakukan aksi kekerasan dan menariknya keluar dari organisasi radikal.

Menurut Aljunied (2011), penanggulangan terorisme melalui pendekatan lunak bertujuan untuk menurunkan ideologi radikal para teroris melalui wacana kontra-ideologi, yaitu upaya membangun narasi alternatif untuk memoderasi ideologi radikal para pelaku terorisme.

Narasi alternatif dibangun untuk memberikan perspektif lain dari faham sempit yang dimiliki oleh para pelaku terorisme. Inilah esensi dari program Deradikalisasi.

Bukanlah pekerjaan mudah untuk mengubah doktrin radikal yang sudah melekat pada diri seseorang. Program Deradikalisasi baru akan berjalan efektif jika mendapatkan penerimaan dari objek sasaran itu sendiri.

Oleh karena itu para pelaku terorisme yang menjadi sasaran dari program Deradikalisasi harus terlebih dahulu disentuh melalui pendekatan humanis, seperti memberikan perhatian atas masalah-masalah keseharian, atau mengalihkan perilaku melalui pemberian modal kewirausahaan. 

Dan inilah esensi dari program Disengagement.

Selama ini terjadi perdebatan di kalangan para ahli kajian terorisme mengenai program apa yang dianggap lebih efektif dalam upaya penanggulangan para pelaku terorisme. 

Horgan (2008) misalnya, dalam bukunya Leaving Terrorism Behind, menganggap Deradikalisasi tidak realistis untuk diandalkan dalam penanganan terorisme.

Menurutnya, strategi negara sebaiknya difokuskan pada upaya Disengagement atau pemutusan keterikatan anggota teroris dengan jaringannya, termasuk memutus segala aksesnya terhadap aksi kekerasan.

Namun Angel Rabasa dkk (2010) mengemukakan pendapat yang berbeda. Deradikalisasi dipandang tetap harus menjadi tujuan utama karena akan menghasilkan perubahan yang lebih permanen dan secara signifikan mengurangi kemungkinan terjadinya residivisme.

Akan tetapi, Disengagement juga tetap menjadi bagian penting dari strategi penanggulangan terorisme.

Menurut Rabasa dkk (2010), seseorang bisa saja keluar dari organisasi radikal dan meninggalkan cara-cara kekerasan akibat program pemberian bantuan keuangan atau kewirausahaan oleh pemerintah yang semakin efektif.

Walaupun para pelaku ini untuk sementara waktu dapat meninggalkan organisasi ataupun jaringannya, namun jika mereka masih tetap mendukung ideologi radikal, kedepannya sangat mungkin akan kembali ke dunia terorisme ketika kondisinya berubah. 

Karena perilaku dapat berubah, sementara tujuan tetap konstan.

Apa yang dikemukakan oleh Rabasa dkk memang telah terbukti dalam kasus gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Kartosoewirjo. 

Ketika pemerintah Indonesia berhasil menumpas gerakan NII dan memberikan amnesti serta bantuan modal usaha kepada para anggotanya, ternyata hal itu hanya bersifat sementara.

Sepuluh tahun kemudian, para anggota NII kembali melakukan konsolidasi untuk meneruskan perjuangannya dengan jalan kekerasan. Dan kini, kasus Ismarwan menjadi bukti baru atas akurasi teori ini.

Menyoroti Program Deradikalisasi BNPT

Sejak bebas dari Lembaga Pemasyarakatan awal Januari 2015, Ismarwan selalu mengikuti seluruh kegiatan yang diadakan oleh Direktorat Deradikalisasi BNPT. 

Tahun 2015, ia mengikuti kegiatan silaturrahmi bersama Direktorat Deradikalisasi di Banda Aceh. Kemudian pada tahun 2016, Ismarwan mendapatkan bantuan modal kewirausahaan sebesar Rp.10.000.000.

Dilanjutkan pada tahun 2017 dengan nominal yang sama. Lalu pada tahun 2018 Direktorat Deradikalisasi BNPT menggandeng Kementerian Sosial RI, dan Ismarwan kembali mendapatkan bantuan modal kewirausahaan sebesar Rp.15.000.000, yang dilanjutkan lagi pada tahun 2019 sebesar Rp.5.000.000.

Bahkan tidak hanya itu, Ismarwan juga selalu mengikuti berbagai kegiatan Deradikalisasi yang diadakan oleh BNPT di Jakarta. Pada bulan Desember 2017, Ismarwan ikut dalam acara "Gemar NKRI", sebuah kegiatan yang mengumpulkan 100-an orang mantan napi terorisme untuk diberikan ilmu kewirausahaan dan wawasan kebangsaan.

Kemudian pada bulan Februari 2018, Ismarwan juga mengikuti acara silaturrahmi antara pelaku dan korban terorisme, sekaligus pemberian materi wawasan kebangsaan, di Hotel Borobudur, Jakarta.

Lalu mengapa Ismarwan masih bisa kembali terlibat dalam kasus terorisme setelah mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Deradikalisasi dan secara kontinyu selalu mendapatkan bantuan kewirausahaan? 

Apakah ini murni karena tidak adanya itikad baik dari Ismarwan sendiri atau justru menjadi bukti ketidakefektifan program Deradikalisasi?

Kasus Ismarwan memang menjadi fakta baru yang sangat menarik untuk dikaji. Karena secara sekilas, program Deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT terlihat sudah cukup maksimal. 

Namun jika ditelaah secara seksama, fakta ini justru menunjukkan bahwa program yang dijalankan oleh Direktorat Deradikalisasi BNPT telah keluar dari esensi Deradikalisasi itu sendiri.

Dari seluruh rangkaian kegiatan Deradikalisasi, terlihat bahwa Direktorat Deradikalisasi BNPT justru lebih fokus pada menjalankan program Disengagement. 

Padahal sebagaimana yang telah kita fahami, bahwa esensi dari Deradikalisasi adalah upaya membangun narasi alternatif untuk memoderasi ideologi radikal para pelaku terorisme. Deradikalisasi tidak sesederhana pemberian bantuan kewirausahaan yang dibarengi dengan penanaman wawasan kebangsaan.

Program Disengagement (seperti pemberian bantuan keuangan dan kewirausahaan) tidak boleh dijalankan secara asal-asalan, karena fungsinya sebagai penopang dari program Deradikalisasi.

Setiap bantuan kewirausahaan yang diberikan harus memiliki relevansi dengan proses moderasi ideologi radikal para pelaku terorisme. Deradikalisasi dan Disengagement ibarat dua sisi mata uang yang saling bersinergi dan terus berjalan secara simultan.

Direktorat Deradikalisasi BNPT memang akan terlihat seperti tidak memiliki konsep yang jelas jika program yang dijalankan hanya sebatas memberikan bantuan kewirausahaan secara konstan, sambil berharap para pelaku terorisme bisa menerima wawasan kebangsaan yang ditanamkan. 

Hal ini memang akan sangat efektif dari sisi publikasi, namun tidak memiliki nilai secara substansi.

Program Deradikalisasi seperti ini hanya akan menumbuhkan sikap pragmatis dari para pelaku terorisme. Berbagai bantuan keuangan dan acara Deradikalisasi yang diadakan hanya akan dianggap sebagai solusi finansial sementara atas masalah-masalah keseharian. 

Wawasan kebangsaan yang ditanamkan hanya akan dianggap sebagai dongeng yang harus didengarkan sebelum mendapatkan bantuan keuangan.

Program yang dijalankan oleh Direktorat Deradikalisasi BNPT seharusnya didasarkan pada pemetaan terhadap objek sasaran, memilah dan memilih, siapa yang sudah layak untuk diberikan bantuan kewirausahaan, siapa yang hanya sekedar diberikan bantuan keuangan. 

Demi menjaga efektifitas dan efisiensi anggaran, seharusnya dalam pemberian bantuan tidak berlaku prinsip pemerataan.

Narasi alternatif yang diberikan juga harus disesuaikan pada level ideologi radikal dari objek sasaran. Setiap level ideologi radikal membutuhkan narasi alternatif yang berbeda-beda. 

Ideologi radikal tidak akan mungkin bisa dimoderasi jika hanya bersandar pada wawasan kebangsaan. Karena ideologi radikal tumbuh dari sebuah proses indoktrinasi yang terstruktur dan berjenjang.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Saran

Kinerja BNPT secara keseluruhan sebenarnya cukup mengesankan. Banyak terobosan-terobosan baru yang sudah dilakukan, seperti sinergitas dengan berbagai Kementerian dan Lembaga.

Kerjasama dengan berbagai sekolah dan universitas di seluruh Indonesia untuk mengadakan program-program pencegahan radikalisme, atau pembangunan Pusat Media Damai yang terlihat sangat kreatif, inovatif, dan sesuai dengan selera generasi milenial sebagai kelompok rentan.

Namun sayangnya, seluruh capaian dan terobosan yang sudah dilakukan oleh BNPT ini belum mampu meyakinkan publik akibat masih berulangnya residivis kasus terorisme. Program Deradikalisasi masih terus menjadi sorotan, hingga menyebabkan grafik keberhasilan BNPT menjadi timpang.

BNPT sebagai leading sector dalam penanggulangan terorisme di Indonesia harus membuat konsep yang jelas dan terarah bagi program Deradikalisasi dan Disengagement, agar kedua program tersebut dapat saling bersinergi dan saling melengkapi. 

Dalam hal ini, pelibatan civil society, terutama lembaga dan yayasan yang didirikan oleh para mantan pelaku terorisme, sangat diperlukan. Mulai dari penyusunan konsep, sampai kepada pelaksanaan program.

Hilangnya esensi dari program Deradikalisasi tidak hanya berpengaruh pada efektifitas, namun juga bisa menimbulkan rasa frustasi dan kekecewaan dari para pelaku terorisme yang sudah memiliki kesadaran akibat dari prinsip pemerataan, karena merasa tidak adanya reward and punishment dari proses moderasi ideologi yang sudah mereka jalani. 

Jika permasalahan ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin akan muncul kembali kasus-kasus Ismarwan yang lainnya di masa mendatang.

*Penulis adalah Yudi Zulfahri  S.STP, M.Si. 

Direktur Yayasan Jalin Perdamaian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun