Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Spirit Menjaga Keutuhan Bangsa dari Kunjungan ke Bosnia dan Herzegovina

4 Agustus 2019   11:52 Diperbarui: 4 Agustus 2019   15:15 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Puji syukur kepada Allah SWT, tahun ini mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Bosnia & Herzegovina. Dari Bosnia & Herzegovina kita bisa menggali berbagai informasi otentik dan belajar dari konflik berdarah yang pernah dialami oleh negara ini. 

Mengingat kondisi sosio-politik di Indonesia pada saat ini sedang mengalami fase yang bisa dikatakan rentan, maka harus ada upaya dari berbagai pihak sebagai bentuk antisipasi agar Indonesia tidak mengalami konflik yang serupa.

Karena sebagaimana yang sama-sama bisa kita rasakan, aroma kebencian dan permusuhan antar sesama anak bangsa masih terus merebak akibat berkembangnya praktik politik identitas dan maraknya penyebaran berita hoax.

Bosnia & Herzegovina pernah mengalami konflik berdarah yang berlandaskan pada sentimen etnis sekaligus agama. Pada abad pertengahan, Bosnia & Herzegovina merupakan sebuah wilayah perbatasan antara Kebudayaan Barat dan Timur. 

Wilayah ini menjadi ajang pertikaian dan perebutan pengaruh antara Romawi Barat yang Katolik dan Romawi Timur yang Ortodoks. Di tengah-tengah pergulatan tersebut, ikut pula sebuah kelompok sempalan Kristen yang disebut Bogomil. Sekte ini terutama beranggotakan masyarakat kelas atas Bosnia.

Pada akhir abad ke-13 muncul kekuatan ketiga yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah Bosnia & Herzegovina, yaitu ketika wilayah tersebut ditaklukkan oleh Turki Usmani yang beragama Islam. Pada saat itu para pengikut sekte Bogomil berbondong-bondong pindah ke agama Islam karena tertarik dengan persamaan derajat yang ditawarkan oleh Islam sehingga sekte ini menjadi lenyap.

Perpindahan para pengikut sekte Bogomil ke Islam kebanyakan terjadi karena persamaan derajat yang ditawarkan oleh Islam. Jika mereka masuk Islam, maka mereka akan mendapatkan kedudukan yang sama tingginya dengan orang Islam lainnya. Akan tetapi jika mereka tetap pada agama leluhurnya, maka mereka akan berstatus sebagai orang -orang yang kalah dalam peperangan dan tunduk di bawah aturan Islam.

Dalam perkembangannya, kaum Muslim Bosnia mendapatkan status sama dengan orang Turki asli. Mereka menjadi tangan kanan orang Turki untuk memerintah penduduk Bosnia yang tetap memeluk agama leluhurnya.

Namun masuknya pemikiran nasionalisme kemudian hari membawa perubahan besar dan tajam pada situasi Bosnia & Herzegovina. Apabila sebelumnya secara umum penduduk wilayah itu disebut orang Bosnia, dan hanya dibedakan menurut agamanya, kini mereka mengidentifikasikan diri dengan negara-negara tetangganya. Orang Bosnia yang menganut Kristen Ortodoks mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Serbia, sementara penganut Katolik menjadi orang Kroasia.

Terbentuknya Negara Yugoslavia

Ketika kekuatan Turki Utsmani melemah, negara-negara yang berada dibawah kekuasaannya di Balkan mulai memerdekakan diri. Salah satu di antaranya adalah Serbia. Negara yang baru merdeka ini berusaha menggabungkan Bosnia ke dalam wilayah mereka, namun ambisi ini digagalkan oleh Kekaisaran Austria-Hongaria, yang mencaplok wilayah tersebut pada tahun 1908.

 Hal tersebut mendorong kaum nasionalis Serbia untuk melakukan pembunuhan terhadap putera mahkota Kekaisaran Austria-Hongaria di Sarajevo pada tahun 1914, yang kemudian menyebabkan pecahnya Perang Dunia I.

Setelah PD I usai, pada tahun 1918 Kekaisaran Austria-Hongaria dibubarkan. Dampaknya, Bosnia & Herzegovina bersama-sama dengan Kroasia, Slovenia, dan Vojvodina, diserahkan oleh Kekaisaran Austria-Hongaria kepada Kerajaan Serbia-Montenegro. Dari penggabungan ini muncullah Kerajaan Yugoslavia.

Akan tetapi perpecahan segera melanda negeri itu akibat pertentangan dua etnis utamanya. Orang Serbia berusaha membangun negara kesatuan, sedangkan orang Kroasia menginginkan federasi yang longgar. Sementara itu kaum Muslim Bosnia terjebak dalam pertikaian tersebut. Beberapa kaum Muslim mendukung klaim Serbia, dan menyebut dirinya sebagai Muslim Serbia. 

Namun lebih banyak lagi yang pro Kroasia, dan menyebut dirinya sebagai orang Muslim Kroasia. Pertentangan tersebut kemudian meledak menjadi kekerasan setelah Jerman di bawah pemerintahan Nazi menguasai Yugoslavia pada tahun 1941.

Wali Raja Yugoslavia, Pangeran Paul, terpaksa menandatangani persetujuan kerja sama dengan Poros Jerman-Italia-Jepang. Akan tetapi para perwira Serbia yang anti-Jerman berontak dan menggulingkan pemerintahannya. Hitler marah dan menyerang Kerajaan Yugoslavia. Negara Balkan tersebut jatuh dengan cepat, terutama karena etnis-etnik non Serbia banyak yang bergabung dengan pasukan poros.

Setelah menaklukkan Yugoslavia, Hitler memecah-belah negeri tersebut di bawah pendudukan Poros dan rezim boneka lokal. Atas perintah Hitler, bekas provinsi Kroasia, Bosnia, dan Hercegovina digabungkan ke dalam negara boneka Kroasia. Sementara wilayah sebagian besar Kosovo, Montenegro Selatan dan Makedonia Barat digabungkan ke dalam Negara Albania Raya.

Penduduk Yugoslavia kemudian bangkit melawan pasukan pendudukan dan bergabung dengan dua kekuatan gerilya utama, yaitu kaum Chetnik yang didominasi oleh orang Serbia pendukung raja, dan kaum partisan komunis dibawah pimpinan Josip Broz Tito. Yugoslavia pada masa ini menjadi medan pertempuran berdarah, di mana penduduknya bukan hanya memerangi pasukan pendudukan Poros saja, namun juga saling membantai antara sesama warga.

Pada tahun 1944, para partisan komunis dibawah pimpinan Tito berhasil membebaskan Belgrado dengan bantuan tentara Uni Soviet. Setahun kemudian diadakan pemilu dengan hanya melibatkan satu partai saja. 

Pada tahun 1946, kerajaan dihapuskan dan Republik Rakyat Federal Yugoslavia diproklamasikan untuk mematahkan dominasi politik orang Serbia sebelumnya. Negara ini terdiri dari Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia & Herzegovina, Montenegro, Republik Makedonia, serta dua daerah otonom yaitu Kosovo dan Vojvodina.

Yugoslavia Dibawah Josip Broz Tito

Pada saat berkuasa, kepemimpinan Tito yang kharismatik menjalankan program "Unity and Brotherhood" untuk mempersatukan berbagai etnik dan penganut agama yang ada di Yugoslavia, termasuk di dalamnya Bosnia & Herzegovina. Program ini berhasil dijalankan oleh Tito dengan cukup baik, sehingga dengan persatuan itu Yugoslavia menjadi salah satu negara komunis yang cukup disegani di dunia.

Bosnia & Herzegovina, yang karena memiliki penduduk yang plural, merupakan ujian berat bagi Tito. Orang Serbia menuntut penggabungan wilayah Bosnia ke Serbia karena penduduk Serbia yang hampir mencapai setengah dari total penduduk Bosnia pada masa itu. Akan tetapi Tito menolaknya. Dia tidak ingin membuat Serbia menjadi kuat seperti sebelumnya. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk memecah belah orang Serbia.

Wilayah Serbia diperkecil dengan membentuk dua republik federal (yaitu Montenegro, dan Makedonia) serta dua provinsi otonom (Vojvodina dan Kosovo). Tito, sebagai seorang Kroasia-Bosnia, memutuskan bahwa wilayah Bosnia & Herzegovina harus menjadi sebuah republik federal. Dengan demikian, orang Serbia dapat diimbangi oleh gabungan Muslim-Kroasia di wilayah tersebut.

Dalam menghadapi ketidakpuasan etnis Serbia atas keputusan tersebut, rezim Tito memakai tangan besi untuk menghadapinya. Cara tersebut memang efektif tetapi hanya untuk sementara waktu. Karena ketika Tito meninggal dunia pada tahun 1980, pertikaian antar etnik dan agama kembali meletus.

Konflik Bosnia & Herzegovina

Setelah runtuhnya Uni Soviet, pada tahun 1991 Yugoslavia mulai terpecah belah. Pada bulan Juni Slovenia dan Kroasia memproklamasikan kemerdekaan. Menghadapi situasi ini, tentara Federal Yugoslavia (terutama beranggotakan orang Serbia) melakukan intervensi. Akan tetapi perang di Slovenia hanya berlangsung 7 hari karena penduduk di sana nyaris homogen sehingga tidak ada kepentingan warga Serbia yang terancam. 

Dibandingkan dengan Slovenia yang memiliki penduduk homogen, perang di Kroasia berlangsung sengit dan lama serta kejam karena ingatan sejarah Perang Dunia II maupun besarnya komunitas Serbia di wilayah tersebut. Sedangkan ketika Republik Makedonia, negara bagian termiskin, memerdekakan diri, tentara Federal diam saja.

Menyusul kemerdekaan yang diraih oleh Kroasia dan Slovenia, pada bulan Maret 1992 Bosnia & Herzegovina menyatakan kemerdekaannya melalui referendum yang diikuti oleh masyarakat Muslim Bosnia dan Kroasia Bosnia. Namun hal ini ditentang oleh penduduk Serbia yang ingin menguasai seluruh wilayah Bosnia & Herzegovina.

Di bawah pimpinan Radovan Karadzic, orang Serbia Bosnia memproklamasikan berdirinya Republik Srpska. Dengan bantuan pasukan federal dibawah pimpinan Jenderal Ratko Mladic, orang Serbia Bosnia berhasil menguasai 70 persen wilayah negeri tersebut. Dalam konflik ini, etnis Serbia yang mayoritas berusaha melenyapkan etnis Muslim Bosnia dan Kroasia Bosnia. Pada saat itu terjadilah pembantaian terbesar dalam sejarah yang jumlah korbannya hanya kalah oleh Perang Dunia melalui tragedi Genosida Srebrenica.

Genosida Srebrenica adalah kejadian pembantaian sekitar 8372 lelaki dan remaja etnis Muslim Bosnia selama 5 hari pada Juli 1995 di daerah Srebrenica, Bosnia & Herzegovina. Tragedi ini merupakan kejadian pertama yang ditetapkan sebagai genosida secara hukum, dan dianggap sebagai kejadian paling menakutkan dan kontroversial dalam sejarah Eropa modern pasca Perang Dunia II. Pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan yang dilakukan oleh etnis Serbia terhadap Muslim Bosnia kemudian menyebabkan pemimpin-pemimpin Serbia ditetapkan sebagai penjahat perang oleh PBB.

Konflik di Bosnia & Herzegovina baru berakhir setelah NATO berhasil memaksakan perdamaian di antara ketiga kelompok yang bertikai melalui Perjanjian Dayton pada tahun 1995. Kini masyarakat Bosnia & Herzegovina telah menghirup perdamaian, dan pihak-pihak yang berselisih berusaha untuk membangun rasa saling percaya. Walaupun tidak bisa dipungkiri, menumbuhkan kepercayaan setelah konflik panjang selama puluhan tahun bukanlah pekerjaan mudah, dan itulah yang terjadi pada pemerintahan Bosnia & Herzegovina sekarang.

Potensi Perpecahan dan Konflik di Indonesia

Berdasarkan sejarah panjang konflik yang terjadi di Yugoslavia dan Bosnia, jika melihat kepada kondisi demografi Indonesia yang terdiri dari ratusan etnis dan enam agama, juga kondisi geografi Indonesia yang memiliki bentangan ribuan pulau yang tersebar luas, potensi negara Indonesia untuk terpecah dan timbul konflik kekerasan antar etnis dan pemeluk agama tentu jauh lebih besar.

Perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri telah menunjukkan bukti akan hal ini. Pada awal masa kemerdekaan, Indonesia pernah disibukkan oleh banyaknya pemberontakan yang muncul di berbagai daerah yang ingin memisahkan diri. Namun bukti terkuat tentu saja lepasnya propinsi Timor-Timur pasca era reformasi yang kini telah berhasil mendirikan negara sendiri.

Sementara itu, konflik antar etnis dan agama juga pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Sebut saja misalnya konflik antara penduduk pribumi dan etnis Tionghoa pada tahun 1998, konflik antara pemeluk agama Islam dan Kristen di Ambon pada tahun 1999 dan di Poso pada tahun 2004, serta konflik antara suku Dayak dan Madura di Sampit pada tahun 2001. Bahkan gerakan separatis yang ada di Aceh dan Papua juga sebenarnya tidak terlepas dari sentimen antar etnis.  

Beruntungnya, konflik antar etnis dan pemeluk agama yang terjadi di Indonesia hanya bersifat kedaerahan sehingga tidak meluas dalam skala nasional. 

Padahal dalam tragedi konflik antar pemeluk agama Islam dan Kristen yang terjadi di Ambon dan Poso, ada pihak yang berupaya untuk memperluas konflik ini dalam skala nasional seperti yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah dengan melakukan aksi pengeboman gereja di berbagai daerah pada tahun 2000 yang lalu.

Bahkan konspirasi untuk memecah belah NKRI tidak hanya muncul dari dalam saja. Pada tahun 2009 yang lalu, tabloid Intelijen pernah mengangkat isu tentang adanya upaya Balkanisasi yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap Indonesia, yang diawali dari Aceh dan Papua. 

Wawan Purwanto, staf ahli Wakil Presiden pada waktu itu, ikut memberikan konfirmasi terkait isu ini. Situs berita Republika Online juga pernah mengangkat isu ini dalam sebuah laporan yang dirilis pada tanggal 23 Mei 2013 dengan judul "Intelijen Asing Bidik Aceh dan Papua". 

Namun dari seluruh catatan sejarah di Indonesia mengenai berbagai konflik yang terjadi dan adanya upaya-upaya untuk memisahkan diri dari NKRI, situasi genting yang dialami oleh Indonesia justru terjadi pada saat ini. 

Sebabnya adalah karena sejak tahun 2016 muncul praktik politik identitas yang dibarengi dengan berbagai perhelatan kontestasi politik. Situasi ini telah membelah masyarakat Indonesia ke dalam dua kelompok identitas besar yang saling bermusuhan dalam skala nasional.

Situasi genting ini bisa kita rasakan dalam kontestasi pemilu 2019 yang baru saja dilangsungkan. Contohnya ketika terjadi demonstrasi untuk menolak hasil pemilu pada tanggal 21-22 Mei 2019 yang lalu, Kepolisian Republik Indonesia merilis adanya berbagai upaya makar dan rencana pembunuhan terhadap beberapa pejabat negara untuk mengambil alih pemerintahan. Demonstrasi itu sendiri berakhir ricuh dan mengakibatkan jatuhnya beberapa korban meninggal dunia serta ratusan lainnya luka-luka.

Contoh lainnya yaitu ketika mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka, Muzakkir Manaf, melontarkan wacana referendum bagi propinsi Aceh akibat kekecewaan atas proses dan hasil Pemilu 2019. Meskipun hanya sebatas tataran wacana, ide referendum Aceh ini tidak hanya disambut oleh sebagian besar masyarakat Aceh semata, namun juga didukung oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia yang juga merasa kecewa terhadap proses dan hasil pemilu 2019.

Politik identitas telah menyebabkan spirit menjaga keutuhan NKRI sudah begitu melemah dalam pikiran sebagian masyarakat Indonesia. Situasi ini tentu saja sangat berbahaya. Masyarakat Indonesia tidak boleh terus-menerus dibiarkan larut dalam praktik politik identitas. Karena disamping akan membahayakan keutuhan negara, juga bisa merusak harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.

Belajar dari Konflik Yugoslavia dan Bosnia

Pelajaran penting yang dapat dipetik dari konflik panjang yang terjadi di Balkan, Yugoslavia secara umum dan Bosnia secara khusus, perpecahan maupun konflik antar etnis dan agama dapat dihindarkan jika pada negara multi etnis dan multi agama terdapat suatu wadah yang dapat dijadikan sebagai alat pemersatu.

Yugoslavia pernah menjadi negara besar dibawah kepemimpinan Josip Broz Tito yang berhasil mempersatukan berbagai etnis dan agama melalui program "Unity and Brotherhood". Namun seiring dengan meninggalnya Tito, unity and brotherhood di Yugoslavia pun ikut hancur, dimana dampak yang dirasakan begitu besar. Yugoslavia hilang dari peta dunia, sementara itu Bosnia & Herzegovina mengalami konflik antar etnis berbalut agama, hingga terjadinya tragedi genosida.

Meskipun Bosnia & Herzegovina hari ini telah damai dan berdiri sendiri sebagai sebuah negara, namun sisa-sisa dari kepedihan konflik hingga saat ini masih terasa. Sebagaimana yang terungkap dalam pertemuan antara delegasi tim studi banding Indonesia dengan Interreligious Council Bosnia, sampai hari ini pemerintah Bosnia & Herzegovina yang berjalan dengan pembagian kekuasaan antar etnis yang dulu bertikai, kondisinya tidak terlalu harmonis akibat sisa trauma konflik di masa lalu.

Indonesia sendiri sebagai negara multi etnis dan multi agama juga memiliki wadah pemersatu, yaitu Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan Pancasila jauh lebih hebat jika dibandingkan dengan program "Unity and Brotherhood" di Yugoslavia, karena Pancasila merupakan buah kesepakatan dari para pendiri bangsa yang dituangkan dalam konstitusi negara. Berbeda halnya dengan "Unity and Brotherhood" yang berupa sebuah program atas inisiatif seorang tokoh yang ikut tenggelam seiring dengan hilangnya tokoh pencetusnya.

Pancasila dan NKRI ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa adanya NKRI, maka tidak akan lahir Pancasila. Sebaliknya, tanpa adanya Pancasila maka NKRI yang terdiri dari ratusan etnis dan berbagai pemeluk agama mungkan sudah lama bubar akibat pertikaian antar sesama sebagaimana yang dialami oleh negara Yugoslavia.

Untuk mempertahankan keutuhan dan keberlangsungan NKRI, tidak ada jalan lain yang bisa dilakukan kecuali dengan cara terus mempertahankan eksistensi Pancasila dan menanamkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pada setiap individu dan ke seluruh penjuru nusantara.

Menjaga eksistensi dan mengoptimalkan peran Pancasila sebagai dasar negara dan wadah pemersatu bagi kebhinekaan di Indonesia dapat dilakukan dengan memahami intisari dari seluruh butir yang terkandung di dalam Pancasila. 

Ketika berpidato di dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menjelaskan bahwa jika kelima butir Pancasila diperas menjadi satu, maka satu sila tersebut adalah Gotong Royong.

Praktik politik identitas di Indonesia yang berjalan dengan spirit kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa sangat berpotensi untuk memecah belah persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Situasi ini harus dihadapi dengan spirit gotong royong yang menjadi intisari dari Pancasila. Artinya, setiap kelompok yang berselisih dan terjebak ke dalam praktik politik identitas harus dirangkul dan diberikan kesadaran untuk kemudian bersama-sama membangun bangsa demi kemajuan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun