Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengakhiri Konflik Aswaja dan Salafi

19 Juni 2019   11:03 Diperbarui: 19 Juni 2019   11:24 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Paradoks Kelompok Salafi Terhadap Wahabi

Menurut Al-Kattani, gerakan Wahabi sejak awal kemunculannya sampai dengan hari ini telah melahirkan tiga generasi. Generasi pertama yaitu masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang penuh dengan kontroversi. Generasi kedua yaitu masa anak cucu beliau yang memiliki faham pengkafiran yang sangat ekstrem karena terlibat perang dengan khilafah Turki Utsmani. Adapun generasi ketiga adalah kerajaan Saudi Arabia pada hari ini, yang dalam penyebaran dakwahnya berwujud kelompok Salafi.  

Kelompok Salafi yang merupakan generasi ketiga dari gerakan Wahabi telah berubah menjadi lebih moderat akibat adanya revisi pemahaman yang dilakukan oleh para ulama di kerajaan Saudi Arabia, terutama yang paling berjasa adalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Oleh karena itu kelompok Salafi lebih berhati-hati dalam masalah pengkafiran, tidak seperti generasi awalnya, walaupun secara umum pemahaman dan sikap keagamaan yang mereka miliki masih tetap sama.

Ada satu catatan penting yang perlu kita perhatikan, bahwa kelompok Salafi, walaupun mereka secara terbuka menyebarkan ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, namun mereka menolak dengan keras jika disebut sebagai Wahabi. Biasanya kelompok Salafi akan mendoktrin para pengikutnya dengan mengatakan bahwa istilah Wahabi dicetuskan oleh Syiah untuk memecah belah umat Islam. Terkadang mereka juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Wahabi adalah para pengikut Abdul Wahhab bin Rustum yang hidup pada abad ke-2 Hijriyah.

Doktrin ini merupakan paradoks sekaligus pengkaburan sejarah. Istilah Wahabi telah disebutkan oleh para ulama ahlus sunnah sejak awal kemunculan gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab. Disamping itu, Abdul Wahhab bin Rustum bukanlah seorang ulama atau pemikir yang kitab-kitabnya menjadi rujukan bagi umat Islam pada masa sekarang. Bagaimana mungkin istilah Wahabi dinisbatkan kepadanya, sedangkan kita tidak bisa menemukan jejak pemikirannya?

Paradoks Salafi terhadap istilah Wahabi ini memang terlihat aneh. Karena istilah Wahabi tidak memiliki konotasi yang buruk. Bahkan mantan mufti Kerajaan Saudi Arabia, Abdul Aziz bin Baaz, justru memuji istilah Wahabi ini dengan mengatakan : "Nama itu (Wahabiyah) adalah panggilan yang sangat mulia dan sangat agung".

Sesuatu itu harus ditempatkan pada tempat yang semestinya. Fakta bahwa kelompok Salafi merupakan penganut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dapat terbantahkan. Seharusnya kelompok Salafi secara jujur menerima penisbatan istilah Wahabi, sebagaimana kelompok Aswaja secara jujur menerima penisbatan istilah Asy'ari. Siapa saja yang meneruskan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab, maka sudah sepantasnya disebut Wahabi.

Intoleransi Kelompok Salafi

Penolakan kelompok Salafi atas penisbatan Wahabi dibarengi dengan jargon bahwasanya mereka adalah para pengusung dakwah Tauhid dan Sunnah. Jargon ini telah membuat mereka merasa bahwa pemahaman yang mereka miliki merupakan representasi dari Islam yang sesungguhnya. Akibatnya, kelompok Salafi menganggap umat Islam yang berbeda pendapat dengan mereka sebagai orang-orang yang belum memiliki kemurnian tauhid dan beramal tidak sesuai dengan sunnah. Dari sini muncullah sikap intoleransi dalam beragama pada diri mereka.

Intoleransi dalam beragama membuat Kelompok Salafi menjadi begitu mudah memberikan vonis syirik, bid'ah, ataupun sesat kepada setiap kelompok Islam lain yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka tidak segan memvonis ziarah kubur yang dilakukan oleh umat Islam sebagai perbuatan syirik. Demikian pula mereka tidak segan memvonis amalan-amalan umat Islam seperti perayaan maulid Nabi SAW, tahlilan, atau dzikir berjamaah sebagai perbuatan bid'ah yang sesat.

Mereka sama sekali tidak mau peduli bahwa umat Islam lain di luar mereka juga memiliki landasan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan dalam setiap amalnya. Bagi mereka, kebenaran hanyalah apa yang sesuai dengan pemahaman mereka. Sikap intoleransi dalam beragama seperti inilah yang pada akhirnya menyebabkan lahirnya gejolak sosial di dalam masyarakat yang sangat berpotensi menciptakan konflik horizontal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun