Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pembunuh dan Koruptor: Siapa yang Lebih Sadis?

7 Maret 2013   08:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:11 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1362645432315001286

Tiap kali kasus pembunuhan yang tergolong sadis mencuat, biasanya istilah psikopat ikut populer. Mulai dari kasus Robot Gedhek, kasus Ryan, beberapa penembakan brutal di AS, dan yang terbaru kasus mutilasi wanita yang dilakukan oleh suaminya. Beberapa hari ini, kasus penemuan potongan tubuh wanita di pinggir jalan tol menghiasi pemberitaan di media massa. Tersangka pembunuhan ternyata adalah suami korban sendiri. Ia tega membunuh istrinya dan kemudian memutilasi tubuh korban sebelum dibuang di tepi jalan tol. Beberapa komentar di media daring (online) melabel pelaku dengan sebutan psikopat. Tepatkah pelabelan tersebut?

[caption id="attachment_240570" align="alignright" width="300" caption="sumber gambar: http://mizan.com/news_det/psikopat-tak-pernah-dilahirkan.html"][/caption]

Persoalan label terkait dengan bahasa. Lazimnya, istilah psikopat diasosiasikan dengan perbuatan kriminal yang sadis dan cenderung di luar akal sehat manusia. Misalnya saja pelaku pembunuhan dengan mutilasi atau penembak brutal. Padahal, istilah psikopat sebenarnya merujuk pada sifat psikopati. Menurut KBBI, psikopati adalah penyakit jiwa yg dicirikan oleh tindakan yg bersifat egosentris dan antisosial. Dalam dunia psikologi klinis dan abnormal, sifat psikopati didefinisikan sebagai kategori yang serupa dengan gangguan kepribadian antisosial tetapi dengan penekanan pada ciri kepribadian. Beberapa indikatornya seperti pesona palsu (pencitraan semu) dan tidak memiliki rasa penyesalan.

Sifat psikopati memang hampir mirip dengan gangguan kepribadian antisosial. Bedanya, ciri psikopati berdasarkan kepribadian sementara gangguan kepribadian antisosial berdasarkan perilaku yang dapat diamati. Beberapa gejala gangguan kepribadian antisosial antara lain:

  1. Tidak mematuhi norma sosial yang dibuktikan dengan tindakan melanggar hukum (baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat).
  2. Suka menipu orang lain untuk memperoleh kesenangan dan keuntungan
  3. Cenderung tidak mampu membuat rencana masa depan
  4. Tidak peduli keselamatan orang lain
  5. Secara konsisten tidak bertanggungjawab terhadap pekerjaan
  6. Tidak menyesal karena telah menyakiti orang lain
  7. Ada tanda-tanda gangguan tingkah laku yang muncul sebelum usia 15 tahun
  8. Berumur minimal 18 tahun dan konsisten menunjukkan pelanggaran hak orang lain sejak usia 15 tahun.

Seorang pakar psikologi bernama Robert Hare, bersama rekannya, meneliti sifat psikopati dan mengembangkan enam kriteria untuk mengukur sifat psikopati (terdiri dari 20 item) bernama Revised Psychopathy Checklist. Kriteria tersebut adalah:

  1. Superficial charm (pesona palsu)
  2. Grandiose sense of self-worth (rasa harga diri yang terlalu tinggi)
  3. Proneness to boredom (rentan terhadap kebosanan)
  4. Pathological lying (kebohongan patologis)
  5. Manipulative/conning (menipu)
  6. Lack of remorse (kurang/tidak ada penyesalan)

Tidak semua orang dengan sifat psikopati memiliki catatan kriminal. Bahkan dalam buku Intisari Psikologi Abnormal, disebutkan bahwa cukup banyak orang dengan sifat psikopati yang sukses dalam kehidupan sosial. Mereka ada yang berkarier di dunia hiburan, bisnis, dan politik. Orang-orang dengan sifat psikopati umumnya memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tidak memiliki masalah interpersonal, dan mampu menarik perhatian orang lain. Terkait dengan kebohongan patologis, ini adalah istilah untuk orang-orang yang menjadikan kebohongan sebagai kebutuhan. Pernyataan yang dibuat biasanya sering kontradiktif. Meski ketahuan berbohong, mereka tetap saja mengulanginya.

Jadi, sifat psikopati sebenarnya merupakan ciri kepribadian yang dimiliki tidak hanya oleh pelaku kriminal sadis. Bahkan bisa jadi pelaku pembunuhan ada yang menyesali perbuatannya dan sikap ini jelas tidak termasuk dalam ciri psikopati. Lalu bisakah pelaku korupsi dikatakan memiliki sifat psikopati? Bisa saja, meski untuk memastikannya harus dilakukan beberapa tes psikologis terlebih dahulu. Kenapa saya membandingkan antara pelaku pembunuhan dan koruptor? Ini terkait persepsi dalam masyarakat. Pelaku pembunuhan (utamanya mutilasi dan sejenisnya) cenderung dianggap lebih sadis dan gila daripada koruptor. Padahal kalau kita berbicara mengenai dampak sosialnya, jelas lebih merusak perilaku para koruptor.

Penampilan pelaku kasus korupsi memang sering menipu masyarakat. Umumnya koruptor adalah orang terpelajar dan berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Mereka punya ego dan harga diri yang tinggi. Ketika tampil di depan umum, mereka biasanya memesona. Seringkali, koruptor berkelit ketika disangka melakukan korupsi. Bahkan kalaupun sudah terbukti bersalah, ada juga yang masih mengajukan banding karena merasa hukumannya tak adil. Dibandingkan pembunuh, masa hukuman koruptor umumnya lebih singkat. Padahal kerugian yang mereka ciptakan lebih massif dibandingkan pelaku mutilasi, misalnya. Lalu adalah koruptor yang menyesali perbuatannya? Entahlah, semoga saja ada. Lagipula, siapa yang menyesal kalau bisa meraup uang miliaran rupiah tapi hanya dipenjara 1-2 tahun?

Jadi, kita jangan terjebak pada stereotip bahwa pembunuh itu adalah orang yang berwajah bengis dan selalu membawa senjata tajam. Banyak juga ‘pembunuh’ yang berwajah lugu, bekerja di gedung mewah, tak punya senjata tajam, tapi bisa menyengsarakan nasib jutaan masyarakat Indonesia. Merekalah yang selama ini kita sebut sebagai koruptor dan mereka bisa jauh lebih kejam daripada pelaku mutilasi mana pun.

Salam semangat!

Referensi bacaan: Durand, V.Mark dan David H. Barlow. 2007. Intisari Psikologi Abnormal (diterjemahkan oleh Drs. Helly Prajitno Soetjipto, M.A dan Dra. Sri Mulyantini Soetjipto). Pustaka Pelajar: Yogyakarta

@yudikurniawan27

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun